“. . .Indonesia, the largest country in the world with a Chinese problem”[1]
Pendahuluan: Love and Hate Relations
Pertama-tama saya mohon maaf, karena tidak banyak waktu untuk melakukan persiapan penulisan makalah ini. Waktu penelitian kepustakaan di Belanda yang hanya dua bulan sama sekali tidak menyisakan banyak waktu untuk hal-hal lainnya. Jadi kebanyakan bahan yang disajikan disini adalah yang masih terekam dalam benak saya, sehingga pemaparannya jauh dari lengkap dan bersifat fragmentaris. Walaupun judul ceramah ini sangat luas, namun saya akan membatasi diri pada peran atau kontribusi Tionghoa dan juga hubungan Tionghoa dengan pribumi. Saya akan mengajak Bapak Ibu serta hadirin sekalian secara sersan—serius tapi santai—untuk berkelana sejenak ke masa lampau.
|
Di Indonesia dijumpai adanya hubungan –mengutip istilah Dr Mely G.Tan–“love and hate relations” (hubungan cinta-benci) antara orang Tionghoa dan Indonesia.[2] Sebagai contoh yang paling mudah, saat pertandingan olahraga (khususnya badminton), orang akan memuji-muji para atlet Tionghoa apabila mereka memenangkan suatu kejuaraan internasional. Namun saat media massa mengungkapkan penyelewengan dalam bidang ekonomi dan moneter yang dilakukan pengusaha Tionghoa (lengkap dengan nama Cinanya!), orang akan memaki-maki mereka.
Baru-baru ini saya mendapatkan di KITLV satu tabloid bernafaskan Islam yang cukup radikal bernama “Jurnal Islam” (selanjutnya disingkat JI) yang terbit setelah lengsernya Soeharto. Isi tabloid ini penuh dengan makian dan kekhawatiran (phobia) terhadap Yahudi-Zionis Israel–Barat–Nasrani dan Cina (Perantauan). Bahkan selalu dituduhkan adanya konspirasi mereka berempat untuk melawan Islam (sic!). Yang menarik, walaupun memaki-maki Cina, namun tabloid ini juga menyajikan satu atau lebih laporan yang simpatik tentang aktivitas Tionghoa Muslim maupun organisasi mereka, yakni PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia). Muncullah judul2 berita yang provokatif tentang Cina sbg berikut:
·“Awas, Cina Perantauan Ancam Umat Islam” (JI, 2-8/2 2001: 8-9);
·“Konglomerat Cina Mau Makar” (JI, 9-15/2 2001: cover);
·“Siluman Cina Ingin Jadi Presiden” (JI, 16-22/2 2001);
·“Ekonomi Umat Islam Dicengkeram Yahudi dan Cina Kafir” (JI, 8-14/12 2000: 14-15).
Namun nada dan pandangan yang berbeda muncul saat berbicara tentang Tionghoa Muslim:
·“PITI: Berpotensi Besar untuk Membesarkan Islam” (JI, 29/9-5/10 2000: 14);
·“Persaudaraan Muslim Tionghoa Indonesia: Embrio Baru dalam Syiar Islam” (JI, 3-9/11 2000: 14).
· “PITI: Menyiapkan Pemimpin yang Solid” (JI, 22-28/9 2000: 23)
Disini tampak bahwa love and hate relations sudah menjadi “us” (kita) and “them” (mereka). Ini sekedar contoh saja dan tentunya rekan-rekan dari IAIN bisa berbicara lebih dalam soal ini.
Tabu di Jaman Rezim Orde Baru
Rezim Orde Baru (1966-1998) dikenal menabukan segala sesuatu yang berhubungan dengan Tionghoa, bahkan disebut “mempunyai masalah Tionghoa terbesar di dunia” (lihat kutipan di atas). Rezim ini menciptakan konglomerat2 Tionghoa (mayoritas Tionghoa totok).[3] ,sehingga kesan Tionghoa sebagai economic animal yg amat serakah menjadi sangat kuat. Akan tetapi orang sering lupa, bahwa konglomerat bisa bebas beraksi karena mendapatkan dukungan dari penguasa, birokrasi dan militer (dengan kompensasi pembagian keuntungan, tentunya!).
Rezim Orba juga memarjinalkan fakta bahwa golongan Tionghoa ikut berperan dalam pembentukan nasion Indonesia, khususnya dalam bidang bahasa, pers dan sastra. Pers Tionghoa dalam bahasa Melayu ikut menyebarluaskan bahasa Melayu sebagai lingua franca di Indonesia sejak 1890-an. Dari penelitian Claudine Salmon (sejarawan Perancis) dalam periode 1870-an hingga 1960an, sastrawan Tionghoa peranakan telah menerbitkan lebih dari 3,000 judul karya sastra dalam bahasaa Melayu dari berbagai bentuk: sandiwara, syair, terjemahan karya-karya Barat atau Tiongkok, novel dan cerpen.[4] Ternyata hasil sastra inipun dinikmati oleh publik non-Tionghoa.[5] Hasil penelitian Claudine ini berhasil memperkenalkan genre sastra ini ke hadapan publik internasional. Ironisnya, hingga kini Sastra Melayu Tionghoa masih belum sepenuhnya diakui sebagai kesusasteraan Indonesia modern. Buku pelajaran Sejarah Nasional Indonesia (SNI) pun sama sekali tidak menyinggung berbagai sumbangan tersebut.[6] Pada periode Orba juga tidak banyak literatur yang tersedia tentang golongan Tionghoa, jadi keberadaan mereka kurang banyak dipahami masyarakat umum.
Kejatuhan Orde Baru ternyata diiringi dengan kemunculan kembali minat yg besar ttg soal-soal “ketionghoaan”, dengan bermunculannya berbagai kegiatan ilmiah dan publikasi bermacam bahan tentang sejarah, adat istiadat dan budaya Tionghoa, yang sebelumnya ditabukan, seperti yang sudah kita saksikan dalam film tentang Imlek di Semarang tadi.[7] Di pihak lain, kita disadarkan pula bahwa tidak banyak akademisi dari kalangan generasi muda –baik Tionghoa maupun non-Tionghoa–yg memfokuskan diri dalam bidang ini.[8] Dengan demikian kajian tentang Tionghoa tidak banyak tersedia di toko-toko buku. Oleh karena memang para akademisi belum banyak melakukan riset tentang komunitas Tionghoa di luar Jawa,[9] maka kajian yang ada masih bersifat “Jawa sentris” dan hanya ada satu dua studi tentang Sumatra[10] dan beberapa mengenai Kalimantan Barat.[11] Dari segi jender, kajian atau sumber-sumber tentang perempuan Tionghoa Indonesia masih sangat sedikit.[12] Namun hal yang menggembirakan, ternyata di kalangan Tionghoa (non-akademisi) juga terdapat beberapa peneliti dan pengamat yang cukup handal.[13]
Siapakah orang Tionghoa itu?
Siapakah orang Tionghoa itu? Banyak jawaban yang bisa diberikan, namun menurut penulis orang Tionghoa adalah mereka yang mengidentifikasi dirinya sebagai orang Tionghoa, mempunyai darah Tionghoa (walaupun sudah banyak bercampur) dan mempunyai nama Tionghoa (namun banyak Tionghoa Indonesia yang lahir dimasa Orba tidak lagi mempunyai nama Tionghoa). Satu hal yang khas dari Tionghoa peranakan dari Indonesia (khususnya Jawa), bahwa mereka sudah tidak bisa lagi berbahasa Mandarin. Banyak cerita tentang peranakan dari Jawa, saat mereka melakukan perjalanan ke Singapura, Hongkong, RRT ataupun di Barat, selalu ditanya: “anda orang Chinese, mengapa tidak mampu berbahasa Mandarin?“[14]
Bagi generasi pra-Orba, istilah “Cina” jelas berkonotasi merendahkan, oleh karena itu mereka lebih suka disebut “Tionghoa”. Sejarah pemakaian kata “Tionghoa” berawal di kalangan perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) Batavia pada tahun 1900. Pada saat itu istilah “Tjina” atau “Tjienna” –yang dipakai sejak lama– mulai dianggap merendahkan. Pada tahun 1928 Gubernur Jendral Hindia Belanda secara formal mengakui penggunaan istilah “Tionghoa” dan “Tiongkok” untuk berbagai keperluan resmi.[15] Penggunaan istilah “Tionghoa” ini hanya bertahan selama 38 tahun saja, karena di tahun 1966 Orde Baru kembali menggunakan istilah “Cina”. Menarik sekali bahwa istilah “Tionghoa” ini sangat khas Indonesia, karena di Malaysia dan Singapura istilah “Cina” masih lazim digunakan.