Photo Credit : Padma Kumala
Budaya-Tionghoa.Net| Dari berbagai sumber yang kami gali,belum ditemukan adanya catatan resmi yang menyebutkan tahun pendirian Kelenteng Hok Tek Tong Parakan, namun ditemukan beberapa tulisan yang menceritakan secara singkat asal usul dari Toapekong yang dipuja sebagai tuan rumah ditempat tersebut, yaitu Kongco Hok Tek Ceng Sin.
|
Semua ini diawali setelah pergerakan revolusi Raden Ontowiryo, yang dalam sejarah tanah air dikenal sebagai Perang Diponegoro (1825-1830) yang sangat dikenal oleh semua lapisan masyarakat. Perang ini menimbulkan kepanikan yang sangat hebat bagi masyarakat Semarang, Yogya, hingga seluruh wilayah Kedu hingga Banyumas. Hampir seluruh penduduk kota diliputi kecemasan dan ketakutan, mereka berebut untuk mengungsi ke desa-desa yang dirasa jauh dan keadaannya lebih aman.
Pada waktu itu ada seorang tionghoa totok yang tinggal di daerah Semawung, daerah Kutoarjo, yang telah bermimpi mendapat wangsit dari Thouw Tee Kong yang ada dalam kelenteng Semawung, supaya dibawa ke kota Parakan yang dikatakan ada lebih “jodoh” baginya. Selanjutnya, Sinbing itu berjanji akan menjaga keselamatan tionghoa totok tersebut di sepanjang perjalanan yang penuh dengan mara bahaya. Didorong oleh kuat dan teguhnya rasa percaya, tionghoa totok tadi segera mempersiapkan barang bawaan yang dianggapnya penting dan pada tengah malam itu juga ia segera pergi ke kelenteng Semawung. Thouw Tee Kong segera dipondongnya keluar, ia kemudian mengambil jalan pedusunan kecil supaya tidak berpapasan dengan tentara revolusi. Pada saat lelah ia berhenti beristirahat dalam hutan, kemudian menyeberang sungai, melewati padang belantara yang saling sambung menyambung dan waktu malam menginap di desa yang sunyi.
Kelenteng ini dinamakan Hok Tek Tong sedangkan Toapekong yang dipujanya adalah Hok Tek Tjeng Sin atau Dewa Bumi |
Pada suatu pagi waktu hari masih gelap,ia lewat di depan kelenteng Magelang (pada waktu itu masih berada di daerah Ngarakan) yang pada saat itu masih sunyi senyap. Ia kemudian melepas dan mengambil “Tokwie” meja depan untuk digunakan membungkus Sinbing itu agar lebih aman dibawa, dikarenakan perjalanan yang masih jauh. Ia kemudian kembali melanjutkan perjalanan melewati jalan desa yang kecil menembus dusun yang sunyi, sehingga kesulitan yang dihadapinya pastilah amat banyak.
Setelah sampai di Parakan, ia merasa cemas karena jalan raya sunyi senyap, bagaikan kota mati. Semua rumah penduduk kosong terkunci, sebab pemiliknya masih tersebar mengungsi pada pedusunan di sekitarnya. Setelah ia berjalan masuk ke desa Banjarsari (sekarang menjadi kampung Banjarsari), di luar dugaan ia melihat ada seorang babah peranakan sedang keluar dari tempat persembunyian dari balik pohon-pohon besar yang lebat.
Mereka segera berkenalan satu sama lain dibawah suasana sunyi yang mencekam. Kemudian tionghoa totok itu dipersilahkan untuk tinggal menumpang disebelah rumahnya, yaitu dipinggir sebuah dapur bambu di pojokan desa Ngemplak (kampung Ngemplak / Kali Leri).
Beberapa tahun kemudian, atas kesepakatan 36 kepala keluarga, dibangunlah sebuah kelenteng kecil dipojok sebelah timur desa Banjarsari yang berdekatan dengan Kawedanan (sesuai lokasi kelenteng saat ini), kemudian diboyonglah Thouw Tee Kong dari Kali Leri untuk kemudian dipuja dalam rumah ibadah yang baru ini sebagai pepunden yang mengayomi kota. Sementara Tionghoa totok yang membawanya dari desa Semawung itu menjadi biokong (juru kunci) pertama (disayangkan tidak ada data mengenai siapa nama biokong pertama ini).
Kelenteng ini kemudian dinamakan Hok Tek Tong, sedangkan Toapekong yang dipujanya adalah Hok Tek Tjeng Sin yang juga dikenal sebagai Dewa Bumi atau dalam bahasa setempat disebut sebagai Pepunden Baureksa Dharma Selamat.
Menurut cerita dari mulut ke mulut, pada suatu malam dibawah hujan yang lebat, dengan kuasa ajaibnya, Thouw Tee Kong telah menyelamatkan kota Parakan terlebas dari bahaya banjir besar. Lengkapnya, berdasar cerita pada waktu itu di dusun beji terdapat sebuah sendang yang cukup luas, yang menurut cerita dihuni oleh suatu siluman pethek, pada suatu malam siluman pethek itu berulah membuat kekacauan sehingga air sendang bertambah makin banyak hingga menyerupai lautan, dikhawatirkan kota Parakan akan banjir besar bila sendang itu meluap. Hingga pada suatu malam hujan turun dengan derasnya disertai petir yang menyambar nyambar, suasana gelap gulita disertai angin kencang sangat mengerikan. Membuat penduduk takut keluar rumah, mereka was was bila sendang Beji betul-betul meluap.
Tapi secara samar, penduduk yang tinggal disekitar Klenteng Parakan mendengar suara pertempuran di udara, terdengar dentingan pedang beradu secara lamat-lamat, karena terbaur dengan suara petir dan hujan. Penduduk yang penasaran berusaha mengintip keluar, namun tidak melihat suatu apapun dikarenakan gelapnya suasana. Taklama suara pertempuran itu menghilang, kemudian secara samar terlihat tubuh tinggi besar dengan pakaian seorang ksatria, turun dari langit sambil membawa pedang, memasuki klenteng. Dipercaya bahwa ksatria tersebut adalah Thouw Tee Kong, setelah itu hujan reda, petir taklagi menyambar dan suasana kembali hening tenang.
Keesokan harinya berita itu telah menggemparkan kota Parakan, warga yang penasaran segera menuju ke sendang Beji untuk melihat keadaan disana. Ternyata air yang ada di sendang Beji telah kembali normal, seperti semula. Penduduk semakin yakin bahwa siluman pethek telah dikalahkan oleh Touw Tee Kong.
Besarnya rasa syukur dan terimakasih telah mendorong penduduk Tionghoa baik laki-laki maupun perempuan untuk bersama-sama bekerja bakti untuk membangun kelenteng secara besar-besaran. Sementara di lain pihak penduduk lokal juga tidak ketinggalan turut menyumbangkan tenaganya bersama-sama membangun kelenteng kita tercinta. Pekerjaan pembangunan ini dipimpin oleh Letnan Hoo Tik Hien. Hasil pembangunan ini berupa pembuatan bangunan kelenteng yang lebih besar, lebih indah dan lebih berwibawa ditambah dengan adanya pekarangan yang luas dihalaman mukanya.
Pada saat upacara peresmian kelenteng yang pertama kalinya, diadakan kirab keliling kota Parakan. Hampir segenap penduduk kota Parakan menyediakan altar sembahyangan di depan pintu rumah masing-masing untuk memohon sawab berkah.
Pada jaman itu pula pada keempat penjuru halaman kelenteng yang sekarang telah difungsikan sebagai lapangan basket terdapat 4 buah pohon beringin dengan daun yang rindang. Ini merupakan simbol pengayoman, bahwa yang bersemayam didalam kelenteng dengan sawab berkahnya telah memberikan penaungan secara tidak kelihatan.
Pada tahun 1844 selama Lie Tiauw Pek menjabat sebagai Letnan di kota Parakan, kembali Kelenteng Hok Tek Tong dipugar dan diperbaharui, sehingga tampak lebih indah. Baru pada akhir tahun 1940 oleh Tan Liang Hoo yang pada saat itu menjabat sebagai ketua kelenteng berkejasama dengan Tjhan Khing Tju selaku ketua THHK, kembali mengadakan perbaikan rumah ibadah ini, karena bisa dikata sejak jaman penjajahan Jepang kondisinya kurang terawat.
Pada tahun 1902 di kota Parakan telah berjangkit wabah kolera yang sangat dahsyat. Didasari atas kepercayaan, untuk memusnahkan wabah tersebut , dilakukan pengarakan Kongco Hok Tek Tjeng Sin untuk kedua kalinya.
Kemudian pada tahun 1918, telah berjangkit wabah influenza yang mematikan yang telah memakan banyak korban jiwa. Sekali lagi penduduk mengarak kimsin Kongco Hok Tek Tjeng Sin untuk ketiga kalinya dengan maksud untuk memusnahkan wabah influensa tersebut.
Pada awal Juli tahun 1966, atas prakarsa dari Sdr. The A Thauw, kembali diadakan renovasi serta pembaruan Kelenteng Hok Tek Tong Parakan. Pekerjaan ini dilakukan dalam waktu cukup lama. Hampir setiap harinya Sdr. The A Thauw datang untuk memberikan perintah dan pengawasan kepada anak buahnya mulai dari pagi hingga sore hari, bahkan beliau kadang turun tangan sendiri untuk melakukan pemeriksaan yang lebih teliti. Harus diakui Sdr. The A Thauw telah mencurahkan segenap pikiran dan tenaganya, tanpa menghitung biaya yang dikeluarkan, tanpa mengenal lelah. Disamping itu kita juga tidak boleh melupakan jasa dari Sdr. Siek Tiang Kiet yang setiap hari datang membantu sebagai penasehat.
Setelah itu selalu diadakan renovasi secara kecil-kecilan untuk memperbaiki bagian-bagian kelenteng yang rusak. Baru pada tahun 2009, kembali diadakan renovasi secara besar, tanpa mengubah bentuk aslinya, hingga menjadi sebuah bangunan kelenteng yang sangat indah seperti saat ini.
Peribahasa mengatakan “Djien Yu Sian Gwan, Thian Pit Tjion Tjie” (Dimana manusia senantiasa mempunyai itikad baik, Thian pasti selalu memberikan dorongan). Sungguh diluar dugaan, mengalirnya bantuan dari para dermawan baik dari dalam maupun luar kota telah banyak membantu setiap pembangunan sehingga bisa berjalan dengan baik hingga saat ini. Nama-nama dari para pemrakarsa pembangunan kelenteng yang pertama masih tercantum pada sebuah papan yang ditempatkan didinding ruang dalam kelenteng, sebagai tanda pengenang dan pengingat jasa para pendahulu kita.
Bagi kita generasi muda sudah sebagai pewaris kebudayaan yang tak ternilai harganya, sudah sewajarnya kita wajib terus menjaga dan merawatnya. Sungguh bukan pada tempatnya bila kita tak peduli akan warisan ini, menyia-nyiakan jasa leluhur terdahulu yang telah berjuang dengan keras untuk mempertahankan, menjaga dan membangunnya.
Sumber : Artikel Tjioe Khing Ien – Parakan
Budaya-Tionghoa.Net | Facebook Group Angkatan Muda Tridharma Jawa Tengah