Budaya-Tionghoa.Net | Sebenarnya kalau pikirkan secara seksama maka disetiap banjir akan membuat para politikus dan pejabat daerah bereaksi dengan membuat teori-teori untuk solusi ,yang mana perkiraan solusi umumnya seperti anjuran agar masyarakat jangan membuang sampah sembarangan .
|
Bukan itu saja . Masyarakatpun dihimbau jangan mendirikan rumah hunian di bantaran kali ataupun sungai dengan dalih-dalih baku mengenai kurangnya daerah resapan , bahwa banjir pun dikirim dari daerah lain , bahwa pembangunan mal tidak terkendali , bahwa penyedotan air tanah juga tidak terkendali dan karenanya kali harus dikeruk seraya mendirikan waduk di Selatan dan Deep Tunnel.
Nah, kalo dipikir lebih teliti lagi, Menurut otak saya yang kecil ini, semua teori tersebut beberapa diantaranya jikalau dibuat skala relevansinya akan menghasilkan tingkat relevansi yang sangat rendah dengan inti permasalahan.
Misalnya untuk sampah . Segiat-giatnya dan segila-gilanya masyarakat membuang sampah (disungai), atau anggaplah sampah mengendap menyebabkan pendangkalan , mana mungkin dalam 5 tahun bisa membuat dangkal semua sungai. Ini kan pasti sudah puluhan tahun (atau seabad?).
Tetapi kenapa tidak pernah dikeruk walau terjadi tiga kali banjir besar di era abad 21 (3×5 = 15taon, bahkan katanya dari 1996 pun sudah pernah banjir besar). Jadi kalaupun ini penyebab banjir, sepertinya faktornya yang tidak signifikan atau karena tidak ada yang merasa sebagai sesuatu yang penting selama 15 tahun setelah kejadian.
Nah ini lebih aneh lagi kalau mengaitkan masyarakat yang bertempat tinggal dibantaran sebagai penyebab banjir. Toh di Eropa orang berumah di samping kali atau kanal seperti di Amsterdam. Apalagi di Venice yang jelas-jelas berumah diatas kali . Jadi ini faktornya pasti 0.0001% alias konyol. Masyarakat yang berumah di pinggir kali pada umumnya minim edukasi dan fasilitas pribadi . Karenanya mereka jadi gemar melakukan aktivitas buang sampah .
Tapi jika strata sosial dianggap sebagai penyebab maka di Jakarta jugalah orang-orang kaya yang bermobil mewah pun dengan gampang membuka jendela dan lempar sampah keluar. Barangkali memang kaya tapi kurang pendidikan juga.
Jika dikatakan kurang daerah resapan, Apakah anda yakin dengan banyak daerah resapan maka banjir tidak akan terjadi? Di pulau Manhattan,New York terdapat taman raksasa seluas 3.5 kilometer persegi bernama Central Park . Pada bulan Oktober ketika Topan Sandy (Hurricane Sandy) menerjang dan cukup membuat kawasan itu mengalami banjir besar di Lower Manhattan . Daerah atas yang memiliki taman sesuai hukum fisika jelas tetap kering.
Fakta ilmiah menunjukkan bahwa tanahpun memiliki batas serapan air. Kalau datangnya air melebihi kapasitas maka tanah pun sulit untuk mencengkramnya. Jadi ini faktor paling 20% lah kalau disebut penyebab banjir adalah kurang daerah resapan.
Banjir Kiriman merupakan istilah aneh yang akan diributin oleh para bupati dan walikota daerah tetangga yang sering “dituduh” mengirimkan banjir. Lantas bagaimana mengirimkannya? Apakah dengan menggunakan perangko atau stempel kilat khusus? Jelas letak Jakarta dikawasan hilir sungai yang tanpa dijelaskan dengan teori apapun , air akan bergerak sendiri ke hilir. Jadi ini faktor sepersekian persen alias KONYOL.
Pembangunan Mal memang tak terkendali dan ini sepertinya alasan yang dipakai kaum proletar bekerjasama dengan grup anti kemapanan . Lagi-lagi hanya faktor sepersekian persen . Justru berbagai Mal dan bangunan tinggi bisa menciptakan drainase yang modern dan anti banjir (untuk skala lingkungan gedung)
Penyedotan air tanah membuat permukaan tanah menurun. Ini masuk akal tetapi tetap tidak akan bisa dicari solusinya dalam waktu cepat, satu-satunya cara adalah memberi sambungan air bersih sebanyak-banyaknya dengan harga terjangkau. Atau, membangun hunian vertikal keatas yang tentunya akan memberikan daya tampung lebih besar daripada hunian horizontal. Faktor ini tidak begitu berpengaruh bila hendak dituding sebagai faktor utama, karena tidak akan memberikan solusi dalam waktu 5 tahun atau 10tahun mendatang.
Nah ini yang penting, faktornya bisa berpengaruh cukup besar kalau sungai-sungai dan kali selalu di rawat kedalamannya. Negara-negara Eropa , seperti Belanda yang masyarakatnya sudah sadar kebersihan dan juga kanalnya melebihi jumlah sungai di Jakarta . Tetapi tetap saja Belanda harus selalu maintenance mengeruk sampah dengan kapal khususnya (bisa di liat di youtube). Kita dibangunkan Kanal Barat oleh Belanda sudah hampir 100an tahun , bebas maintenance!.
Kalau tahun ini masih belum juga memulai membangun Dam Raksasa, sepertinya nya 5 tahun lagi akan ada pembahasan serupa . Menurut saya dam raksasa ini kalau dibangun pada posisi yang tepat akan berpengaruh besar dalam menampung air berlebih dari hulu sungai yang selama ini dituding “banjir kiriman” atau bahasa kerennya Flash Flood.
Sedangkan Deep Tunnel agak meragukan kalau hanya satu saja , karena fungsinya hanya mengalirkan air secepatnya ke muara. Tetapi bila dimuarakan ke Pluit lagi yah banjir satu bulan tak kunjung menyurut . Sekarang saja tanpa tunnel sudah empat hari belum juga surut. Tetapi ini solusi bagus untuk mengatasi flash flood.
Kalau kita telusuri mengenai Flood Control, sebenarnya teknologi penanggulangan banjir yang paling berkembang adalah di Eropa. Negara-negara dibawah permukaan laut seperti Belanda dan Belgia, memiliki teknologi terdepan dalam urusan banjir. Bahkan Amerika Serikat saja belajar dari Belanda.
Lagipula negara-negara subtropis memiliki penyebab banjir yang lebih besar dibanding negara tropis seperti kita yang sudah terukur dan telah lama kita tahu penyebabnya, karena hujan dan rob. Negara Subtropis harus menghadapi lebih banyak faktor yang kita tidak mengalaminya yaitu, tropical storm, hurricane, snowmelt.
Belanda bahkan sedang menguji penyimpanan air (reservoir) bawah tanah. Kita sebenarnya sudah uji coba juga kemaren di UOB . Hanya saja barangkali masih belum sadar dan anggota DPR harus studi banding ke negri Belanda terlebih dahulu.
Ada yang menarik dari salah satu teknologi Flood Control, yang harusnya untuk melindungi objek vital seperti pembangkit listrik di Muara Karang atau parkiran basement seperti UOB. Namanya SCFB (Self Closing Flood Barrier), sudah diterapkan dimana-mana (termasuk di Thailand dan Vietnam herannya di Indonesia ga ada, cmiiw). Saya rasa untuk solusi jangka pendek ini sangat mungkin diterapkan di Jakarta. Bisa dibangun di PLTU Muara Karang atau di depan rumah-rumah orang kaya agar mobil Maserati-nya tidak terendam.
Sedemikian canggihnya London untuk melindungi banjir dari lautan dengan membangun barrier di Laut. Namanya Thames Barrier.
Jadi jangan salahkan saja keadaan yang sudah terjadi seperti kerusakan hutan , langkanya daerah resapan , langkanya hutan bakau etc.
Hanya khawatir dengan kompetensi pemerintah dalam menangani permasalahan ini. Dahulu pernah terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing hanya untuk menyadari bahwa sumber daya manusia yang ada belum bisa mengatasi sedemikian banyak permasalahan dan akhirnya kembali memanggil pakar-pakar asing.
Nah di masa sekarang tidak jauh berbeda. Kita bertindak seperti seekor Labrador yang sedang mengejar ekornya sendiri selama 15 tahun atau seperti hamster yang berputar-putar dalam kandangnya. Apakah masih harus berlanjut 5 tahun lagi?
Gunawan
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Tionghoa Bersatu
Photo Credit : Kompas.com