Kompas, Pustakaloka, 2006/3/18
Kedua buku ini (Victor M.Fic : “Kudeta 1 Oktober 1965–sebuah studi tentang konspirasi” dan Antonie C.A. Dake ; “Sukarno File- Kronologi Suatu Keruntuhan” ) tampak seperti karya nonfiksi.
John Roosa
Kedua buku ini tampak seperti karya nonfiksi. Keduanya bermaksud menyingkap kebenaran mengenai sebuah peristiwa dan mendasarkan klaim mereka akan kebenaran pada pengamatan saksama dan ketat terhadap bukti-bukti. Padahal, bukti-bukti tersebut tidak dapat diandalkan kebenarannya.
Kedua buku ini memiliki banyak catatan kaki, lampiran, dan salinan dari sumber-sumber primer yang digunakan. Fic, misalnya, menyertakan 20 dokumen lengkap dalam bukunya, sementara Dake menyertakan delapan lampiran, yang salah satunya adalah dokumen asli sepanjang 100 halaman. Kedua buku ini sangat tebal: masing-masing sekitar 500 halaman. Para penulisnya membuat buku-buku ini saat sudah berusia lanjut, dengan pengalaman berdekade lamanya. Fic lahir 1922 (dan meninggal dunia tahun lalu) dan Dake lahir 1928. Karena itu, jika dilihat sepintas, kedua buku ini tampak seperti karya sejarah yang serius, disusun oleh penulis senior yang merumuskan klaim mereka akan kebenaran berdasarkan penggunaan sumber primer dengan teliti.
Akan tetapi penampilan, dalam kasus ini, sungguh menyesatkan. Di balik tampilan ilmiah ini terdapat rangkaian argumen yang disusun tanpa penghargaan terhadap prosedur ilmiah sama sekali. Kedua pengarang melanggar prinsip-prinsip paling dasar dari penelitian sejarah; mereka menggunakan bukti palsu lalu membuat spekulasi yang luar biasa bahwa bukti-bukti itu memang nyata ada. Walau mereka membuat kesimpulan yang sedikit berbeda satu sama lain, mereka mengikuti metode tidak kritis yang sama dalam menangani sumber-sumber dan menyusun cerita. Kemiripan keduanya memang mengesankan, dan karena itulah keduanya pantas ditinjau bersama-sama. Fic dan Dake sama-sama menulis dongeng sesuai asumsi dogmatik mereka sendiri lalu membuatnya terlihat seperti hasil penelitian ilmiah.
Sejarah sebuah peristiwa, seperti G30S, dapat ditulis dengan berbagai cara yang sama absahnya. Setiap sejarawan memiliki gaya, titik tekan dan tafsir berbeda-beda. Dan wajar saja jika sejarawan berdebat tentang cara menuturkan sebuah peristiwa. Kita tentu saja harus menyambut baik perbedaan pendapat tapi kita tidak boleh hilang kemampuan untuk menilai apa yang benar dan apa yang salah. Jika seseorang menciptakan ”fakta” tanpa dukungan bukti, misalnya, kita tidak dapat mengatakan, ”yah, itulah versi dia mengenai sejarah.” Jika seseorang tanpa bukti mengatakan bahwa Presiden Soekarno pernah menjadi astronot, bergabung dengan misi ruang angkasa NASA, dan berjalan-jalan di bulan, kita harus tegas mengatakan bahwa orang itu salah. Sama halnya jika seorang sejarawan menulis buku berdasarkan bukti-bukti palsu, seperti buku harian palsu ”milik” Hitler yang diterbitkan 1983, atau kesaksian terdakwa dalam pengadilan buatan di masa Stalin, kita tak perlu menganggap versi sejarahnya itu absah. Fic dan Dake menulis buku yang tidak bisa diterima sebagai sumbangan terhadap perdebatan mengenai Gerakan 30 September. Satu-satunya hal yang dapat dipelajari dari kedua buku ini adalah cara menulis sejarah yang tidak benar.
Masalah sumber
Masalah dasar untuk menulis tentang Gerakan 30 September adalah bahwa begitu banyak sumber primernya tidak dapat diandalkan. Dalam beberapa hari setelah kejadian, Soeharto dan para perwira Angkatan Darat sekutunya menguasai media massa. Surat kabar-surat kabar yang mereka anggap akan menentang mereka pun ditutup, seperti Warta Bhakti, salah satu surat kabar terpenting yang sangat pro-Soekarno. Mereka juga memberlakukan sensor ketat terhadap surat kabar yang tetap terbit. Pasukan Soeharto juga menguasai RRI. Sejak hari-hari pertama Oktober 1965, Angkatan Darat menggunakan kontrol terhadap media ini untuk membuat cerita-cerita yang sekarang kita ketahui tidak benar adanya. Para ahli perang psikologis Angkatan Darat melancarkan propaganda guna mendapat dukungan publik untuk menghancurkan PKI. Sebagai contoh, Angkatan Darat menyiarkan cerita bahwa tujuh korban Gerakan 30 September di Lubang Buaya tubuhnya dimutilasi. Menurut surat kabar, keenam jenderal dan seorang letnan disayat tubuhnya oleh ratusan silet, kelaminnya dipotong, dan matanya dicungkil. Sekarang kita tahu bahwa cerita yang meragukan ini ternyata memang tidak benar karena laporan forensik dokter yang memeriksa jenazah para jenderal itu tidak menemukan tanda-tanda adanya mutilasi; mereka hanya menemukan luka tembak dan beberapa tusukan bayonet.
Untuk menyalahkan PKI sebagai dalang Gerakan 30 September, para ahli propaganda Angkatan Darat memalsu sejumlah dokumen pada akhir 1965. Contohnya adalah ”pengakuan” DN Aidit, ketua PKI; dan Njono, anggota Politbiro PKI; sepenuhnya adalah palsu. Tak seorang pun sarjana yang serius menggunakan bahan-bahan ini sebagai sumber primer. Bahkan, Fic dan Dake, yang standar penggunaan sumbernya begitu rendah, tidak menggunakan pengakuan Aidit dan Njono ini.
Soeharto dan perwira-perwira sekutunya memang bermaksud menghancurkan PKI, bukan mengungkap kebenaran mengenai Gerakan 30 September. Seandainya mereka ingin menegakkan kebenaran, maka mereka tentu tidak akan diam-diam menghabisi empat dari lima pemimpin tertinggi partai yang mereka tuding sebagai dalang gerakan tersebut. Aidit, Lukman, Njoto, dan Sakirman hilang setelah diciduk oleh militer akhir 1965.
Penjelasan setengah resmi dari rezim Soeharto mengenai peristiwa ini, yakni buku The Coup Attempt of the September 30th Movement (1968), karya Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, sebagian didasarkan pada laporan interogasi terhadap para pemimpin gerakan (seperti Untung, Latief, dan Supardjo). Tentu saja dokumen seperti ini tidak dapat diandalkan, terutama karena para interogator Indonesia saat itu tidak dilarang menggunakan kekerasan fisik atau mengancam untuk menggunakannya dalam mengorek keterangan. Laporan interogasi itu sama tidak bergunanya seperti catatan Inkuisisi Katolik di Abad Pertengahan. Saat para terdakwa dihadapkan ke pengadilan, mereka umumnya menolak keabsahan laporan interogasi terhadap mereka dan memberikan versi yang berbeda di ruang sidang.
Buku Notosusanto dan Saleh juga menggunakan kesaksian para terdakwa dan saksi di Mahmilub sebagai bukti. Siapa pun yang pernah membaca rekaman Mahmilub ini tahu bahwa kesaksian-kesaksian itu tidak ada gunanya karena sangat tidak konsisten dan penuh dengan pernyataan tanpa dasar. Lihat saja pengadilan Untung. Di pengadilan, Untung mengatakan bahwa ia adalah pemimpin gerakan tersebut. Tapi pengacaranya mengklaim bahwa Brigjen Supardjo-lah pemimpinnya dan bahwa Untung hanya mengikuti perintah seorang perwira yang lebih tinggi. Saksi pertama, Gathut Soekrisno, mengaku bahwa ia menerima perintah dari Mayor Suyono untuk membunuh keenam jenderal, dan tidak menyebut soal Untung. Mayor Suyono, yang tampil sebagai saksi pada hari yang sama dan juga hari berikutnya, memberi kesaksian yang berputar-putar dan membingungkan, tapi pada dasarnya mengarah pada pernyataan bahwa Untung dan Latief adalah pemimpin gerakan. Rezim Soeharto, tentu saja, mengklaim bahwa PKI-lah pemimpinnya. Lalu, siapa yang harus kita percaya?
Para pemimpin PKI yang tersisa tidak meninggalkan keterangan yang rinci dan dapat diandalkan mengenai gerakan itu. Satu-satunya orang inti dari Politbiro PKI, Sudisman, ditangkap Desember 1966, setelah 14 bulan hidup ”di bawah tanah” di Jakarta, dan diadili di hadapan Mahmilub pada 1967. Dalam pengadilannya ia menyangkal bahwa PKI adalah dalang Gerakan 30 September. Mungkin saja ia memang jujur. Tapi pernyataan itu tidak dapat diandalkan karena kita tahu bahwa ia jelas bermaksud melindungi reputasi partai. Di bawah serangan dan tuduhan melancarkan kudeta, semua pemimpin dan anggota PKI, bahkan sejumlah kecil di antaranya yang memang terlibat langsung dalam Gerakan 30 September (seperti Njono), cuci tangan. Garis standar partai adalah bahwa aksi itu dilancarkan sejumlah perwira Angkatan Darat yang tidak puas dengan mengundang beberapa pemimpin PKI, sebagai individu, untuk mendukung mereka.
Pernyataan Angkatan Darat mengenai gerakan itu, laporan interogasi, kesaksian di Mahmilub, dan pernyataan PKI mengenai gerakan itu, semua sumber ini tidak dapat dipercaya. Semuanya dibuat saat sedang berlangsungnya perburuan massal. Gerakan itu tetap menjadi misteri bagi banyak sejarawan selama 41 tahun terakhir, justru karena sumber-sumber primernya sangat tidak bisa diandalkan. Sejarawan yang menulis tentang peristiwa ini memang harus hati-hati menangani sumber yang ada. Ia harus mulai dengan moto dari serial TV The X-Files: ”jangan percaya pada siapa pun”.
Fic yang penuh trik
Mari kita mulai dengan bukunya Fic. Ia mengatakan bahwa inspirasi awal bagi Gerakan 30 September berasal dari pemimpin China, Mao Tse-tung. Fic mengklaim bahwa saat Aidit bertemu Mao di Beijing pada 5 Agustus 1965, Mao menyuruhnya merebut kekuasaan negara di Indonesia dengan menyingkirkan para jenderal reaksioner lalu membuat Soekarno menjadi presiden boneka. Fic menyertakan kutipan dari sebuah transkrip dialog itu. Para pembaca bagian ini, ”Mao Mendesak Aidit Memukul Lebih Dulu” (hal 76-82), harus bertanya: bagaimana Fic tahu apa yang dibicarakan oleh Mao dan Aidit? Keterangannya mengenai pertemuan itu didasarkan pada satu dokumen saja: artikel surat kabar di The Straits Times yang terbit di Singapura pada 1966. Artikel ini sendiri berasal dari sebuah artikel tanpa penulis yang terbit di surat kabar Angkatan Bersenjata. Lalu dari mana Angkatan Darat memperoleh transkripsi pembicaraan antara Aidit dan Mao? Dan bagaimana Fic tahu bahwa artikel di Angkatan Bersenjata itu memang benar dan bukan hanya propaganda belaka? Tampaknya Fic tidak tahu apakah artikel itu memang dapat diandalkan. Ia menerima sumber itu semata-mata karena ia percaya akan ketepatan laporan TNI AD pada 1966 (catatan kaki 36, hal 308). Jadi, cerita Fic mengenai Mao yang memberi instruksi pada Aidit sama sekali tidak meyakinkan.
Fic lebih lanjut mengklaim bahwa Aidit kembali ke Jakarta lalu berbicara dengan Soekarno di Istana Bogor pada 8 Agustus, lalu mendapat persetujuan Soekarno untuk menjalankan rencana Mao. Soekarno setuju bahwa PKI harus mengambil alih kekuasaan negara dan bahwa ia akan secara sukarela pergi ke China, di mana ia akan mendapat pensiun yang nyaman dan sebuah vila besar. Bagaimana Fic tahu apa yang dikatakan Aidit kepada Soekarno? Ternyata ia sama sekali tidak punya bukti, bahkan dokumen palsu sekalipun tidak. Ia mengarang sendiri cerita itu. Ia membela cerita yang spekulatif mengenai pertemuan Aidit dan Soekarno dengan mengatakan bahwa cerita itu dapat menjelaskan tiga fakta dengan dasar kuat.
Akan tetapi, ketiga ”fakta” yang ia sebutkan bukanlah fakta. Pertama, ia mengatakan bahwa Soekarno pada 8 Agustus memerintah Brigjen Sabur dan Letkol Untung dari pasukan Cakrabirawa untuk mengambil tindakan terhadap para jenderal pembangkang. Dasar dari klaim ini adalah berita acara pemeriksaan (BAP) yang sangat tidak dapat diandalkan dari Kolonel Bambang Widjanarko, yang akan saya bahas lebih lanjut di bawah. Kedua, menurut Fic, Menteri Luar Negeri China Chen Yi mengatakan kepada Soebandrio pada 1965, saat keduanya berada dalam mobil, bahwa China telah menyiapkan tempat tinggal bagi Soekarno. ”Fakta” ini diperoleh dari pernyataan yang ditulis setelah 1989 oleh seseorang yang mengaku berada dalam mobil bersama kedua menteri luar negeri itu. Orang ini, Marsma Tranggono, adalah oditur Mahmilub dalam kasus Omar Dhani. Ia membuat pernyataan tertulis itu kepada Bakorstanas. Lalu kenapa kita harus memercayai orang ini? Bahkan, jika kita percaya Tranggono dalam urusan ini, keterangan mengenai rumah untuk Soekarno di China ini bisa membuktikan apa?
Mungkin saja Chen Yi berbicara tentang tempat di mana Soekarno bisa beristirahat dan mendapat perawatan medis untuk sementara waktu. Fic di sini terlalu dalam membaca pernyataan yang singkat dan meragukan ini. Ketiga, Aidit kemudian disebut berbicara dalam pertemuan Politbiro PKI akhir Agustus 1965, bahwa Soekarno setuju mengganti sejumlah menteri kanan dalam kabinetnya dengan orang yang lebih progresif. Sumber Fic di sini adalah sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh sekelompok anggota PKI di pengasingan pada 1967. Lalu kenapa kita harus memercayai mereka? Apakah mereka hadir dalam pertemuan tersebut? Tapi lagi-lagi, seandainya saja kita menganggap bahwa orang PKI di pengasingan ini memang benar, klaim itu tidak dengan sendirinya berarti bahwa Soekarno dan Aidit bekerja sama melancarkan Gerakan 30 September.
Argumen utama Fic adalah bahwa Mao, Aidit, dan Soekarno membuat kesepakatan pada Agustus 1965. Argumen ini didasarkan pada dua dokumen Angkatan Darat yang tidak dapat dipercaya (artikel dalam Angkatan Bersenjata dan kesaksian Widjanarko), spekulasi tanpa dasar dari cerita tangan kedua dan ketiga, serta khayalan liar Pak Fic sendiri. Argumen yang begitu tidak meyakinkan semestinya didukung bukti-bukti lebih kuat jika ingin dipercaya. Coba bayangkan: Soekarno, dengan ego begitu besar dan kecintaan mendalam terhadap nasionalisme Indonesia, mau menyerahkan kekuasaan dan diam-diam pindah ke China! Sungguh tidak masuk akal.
Sisa buku Fic terus mengikuti cara-cara serampangan yang sama. Fic begitu saja memilih dan memungut keterangan dari laporan interogasi dan kesaksian Mahmilub yang mendukung argumennya. Ia mengunyah kembali versi yang sama seperti buku Notosusanto dan Saleh. Satu-satunya dokumen baru yang dipunyainya adalah analisis post-mortem dari Supardjo mengenai gerakan itu. Tapi ia menggunakan dokumen ini tanpa menilai klaim-klaim Supardjo secara kritis dan tanpa memikirkan kesulitan membaca dokumen itu.
Para pembaca perlu tahu bahwa buku Fic ini sebelumnya diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh sebuah penerbit kecil dan non-akademik di India. Ini adalah jilid ketiga dari satu set bukunya mengenai sejarah Indonesia, yang semuanya diterbitkan oleh penerbit yang sama. Jilid pertama adalah buku mengenai sejarah tantra di Asia. Pikiran Fic (dan juga standar penerbit di India) yang aneh terlihat dari caranya merangkai buku mengenai praktik paranormal di zaman kuno dengan buku tentang kejadian politik di zaman modern, dalam satu set. Boleh jadi Fic percaya bahwa ia punya kekuatan supranatural untuk melihat ke masa lalu dan karena itu tidak perlu mengikuti prosedur yang lazim digunakan untuk membuktikan sebuah argumen.
Tipuan Dake
Seperti Fic, Dake tidak pernah menyelidiki sumber-sumber primer yang digunakannya lebih jauh. Ia sebaliknya penuh keyakinan melangkah maju, seolah-olah semua sumbernya itu transparan, konsisten, dan dapat dipercaya. Ia memulai rangkaian ceritanya di bab pertama, lalu secara kronologis menceritakan rangkaian kejadian antara 1 Januari 1965 sampai 12 Maret 1967, tanpa beristirahat apalagi merenung sejenak mengenai sumber-sumber yang digunakannya. Ia secara serampangan memungut keterangan dari laporan interogasi dan transkripsi Mahmilub untuk mendukung alur cerita yang sudah ditetapkannya lebih dulu.
Dake mengklaim bahwa Soekarno adalah dalang G30S. Apa buktinya? Sumber keterangan utamanya adalah BAP dari Bambang Widjanarko, mantan ajudan Soekarno, yang dibuat oleh Kopkamtib. Tanpa dokumen ini, seluruh tuduhannya terhadap Soekarno akan runtuh karena bukti-bukti yang lain tidak langsung menunjukkan keterlibatan Soekarno. Ia terus-menerus mengutip BAP itu dan memperlakukannya seperti bukti tak terbantahkan, seolah setiap baris pernyataan di dalam BAP itu memang benar adanya. Ia menyebutnya ”laporan inteligen yang paling dapat diandalkan”, (hal 53), dan menggambarkan Widjanarko sebagai ”saksi yang paling konsisten… paling dapat dipercaya”, (hal 53). Dalam BAP itu Widjanarko mengatakan bahwa pada 4 Agustus 1965 Soekarno memerintah Brigjen Sabur dan Letkol Untung sebagai komandan Cakrabirawa untuk mengambil tindakan terhadap para jenderal pembangkang.
Kenapa kita harus percaya bahwa BAP itu memang secara tepat mencerminkan pikiran Widjanarko dan bukan pikiran para interogatornya? Tapi sekalipun BAP itu memang mencerminkan pikirannya, dari mana kita tahu bahwa ia memang menyaksikan pertemuan pada 4 Agustus itu? Dake tidak memberi keterangan apa pun bahwa BAP itu dapat diandalkan. Ia hanya menyatakan demikian dan merujuk pada ”pendapat seorang ahli mengenai keaslian laporan Widjanarko”, (hal 64). Sang ”ahli” ini ternyata adalah Rahadi Karni, yang menerjemahkan BAP itu ke dalam bahasa Inggris pada 1974 dan menerbitkannya untuk Dake dalam bentuk buku dengan judul The Devious Dalang. Karni adalah seorang pustakawan yang andal di KITLV, tetapi bukan ”ahli” tentang politik Indonesia, dan tidak dapat membuktikan bahwa BAP dari Widjanarko itu memang dapat diandalkan. Dan sekarang pun Dake tidak dapat melakukannya.
Sebaliknya Dake sudah berulang kali diberi tahu bahwa BAP itu tidak dapat diandalkan. Setiap sarjana yang menulis tinjauan terhadap The Devious Dalang mengatakan bahwa BAP itu tidak dapat digunakan sebagai sumber informasi yang valid. Ben Anderson menunjukkan bahwa teks itu mungkin dikarang oleh para interogator untuk keperluan intrik di tubuh militer pada 1970 (American Political Science Review, 1977). Harold Crouch menunjukkan dalam bukunya, The Army and Politics in Indonesia (1979), bahwa BAP itu tidak didukung oleh sumber lain dan tidak sama dengan kesaksian publik yang dibuat Widjanarko sebelumnya (hal 121). Bahkan penulis kanan, Justus van der Kroef, yang pikirannya sejalan dengan versi Dake, mengkritik Dake karena bersandar pada sumber yang begitu ”mencurigakan” (Pacific Affairs, 1975). Ernst Utrecht memberi judul tinjauannya ”Usaha Mengkorupsi Sejarah Indonesia” (Journal of Contemporary Asia, 1975). Kini, 30 tahun kemudian, Dake kembali memungut BAP dari Widjanarko yang sudah lama didiskreditkan dan bahkan tidak berusaha menyangkal kritik-kritik yang ada.
Dake tidak pernah merujuk pada keterangan Widjanarko yang diterbitkan mengenai hari-harinya sebagai pengawal presiden (Sewindu Dekat Bung Karno, 1988). Dalam buku ini Widjanarko tidak mengatakan bahwa Soekarno adalah dalang G30S. Dake tidak pernah menyebut kenyataan bahwa para perwira Kopkamtib antara 1969 dan 1970 sibuk membuat tuduhan terhadap Soekarno. Para perwira yang setia kepada Soekarno, seperti Jenderal Mursid dan Kolonel Maulwi Saelan, ditahan dan diinterogasi pada saat yang sama. Saelan mengaku dihukum lebih dari empat tahun penjara karena ia tidak mau memenuhi keinginan para interogator untuk menjebloskan Soekarno (Dari Revolusi ’45 Sampai Kudeta ’66, hal 190).
Untuk menyembunyikan kelemahan sumber-sumbernya, Dake menggunakan metode mengutip yang rumit. Ia memaksa pembacanya berputar-putar dalam naskahnya. Misalnya, pada halaman 61 ia mengatakan bahwa Mayjen Pranoto adalah penghubung kunci antara Soekarno dan Aidit. Catatan kaki untuk mendukung klaim ini merujuk pada keterangan di halaman 67, di mana klaim itu kembali diulang. Catatan kaki di halaman tersebut merujuk halaman 63, di mana lagi-lagi kita temukan klaim yang sama. Baru pada halaman inilah ia memberi tahu pembaca bahwa sumber keterangannya adalah pernyataan Sjam di sidang Mahmilub pada 1972. Setelah tiga catatan kaki baru pembaca bisa melihat bahwa Dake sebenarnya menggunakan sumber yang sama sekali tidak dapat diandalkan.
Tanpa bukti yang meyakinkan, klaim Dake bahwa Soekarno-lah yang memerintahkan G30S sama absurdnya seperti klaim dari Fic. Dan kedua klaim ini sama sekali tidak patut dianggap serius. Para penerbit kedua buku ini seharusnya menyadari kerusakan yang mereka timbulkan terhadap studi sejarah Indonesia dengan menerbitkan analisis yang begitu tidak bertanggung jawab dan penuh kebohongan mengenai peristiwa 1965. Jika para penerbit memang peduli pada reputasi mereka sendiri, mereka seharusnya meninjau setiap naskah yang masuk secara teliti sebelum diterbitkan.
John Roosa
Assistant Professor Bidang Sejarah di University of British Columbia, Vancouver, Kanada.
Bukunya Berjudul Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État (University of Wisconsin Press) akan Terbit September 2006