Budaya-Tionghoa.Net | Sewaktu masa kecil hidup di Jawa juga pernah mengenakan bakiak untuk berjalan kaki sebelum sandal karet Jepang masuk ditahun 1950’an. Pada zaman sekarang tidak banyak terlihat lagi dikalangan masyarakat tanah air.
|
Secara nostalgia mencari bahan cerita tentang bakiak. Dimulai dari referensi yang serba ada yaitu Wikipedia bahasa Indonesia. Ternyata disana tertulis sangat singkat, yang mana sebagai kutipan berikut:
“ Bakiak sebutan di Jawa Tengah untuk sejenis sandal yang telapaknya terbuat dari kayu yang ringan dengan pengikat kaki terbuat dari ban bekas yang dipaku dikedua sisinya. Di Jawa Timur dikenal dengan sebutan Bangkiak. Sangat populer karena murah terutama dimasa ekonomi susah sedangkan dengan bahan kayu dan ban bekas membuat bakiak tahan air serta suhu panas dan dingin. Diperkirakan bakiak diinspirasi oleh Jepang yang sudah memakai telapak kayu untuk Geisha-geisha (geta).” (Wikipedia Bahasa Indonesia)
Diskripsi tersebut diatas tidak semuanya tepat maupun benar, perlu penyuntingan sebagai berikut:
Bakiak adalah alas kaki terbuat dari bahan kayu yang pada zaman sekarang tidak lagi banyak dikenakan oleh kalangan rakyat pada umumnya di Jawa. Sering diperkirakan adalah asal Jepang.
Asal istilah bakiak itu bukan dari Jawa tetapi adalah Tionghoa, karena tempat kelahirannya di Tiongkok yang telah dipakai oleh bangsawan wanita sejak Dinasti Han atau sebelumnya pada abad 2 Sebelum Masehi, yang namanya mu-ju, dan bak-kia adalah dialek Hokkian-nya. Kemudian mu-ju atau bakiak ini tentunya bersama kebudayaan Tionghoa lainnya tersebar ke Korea, Jepang maupun Nusantara. Di Filipina juga disebut bakya.
Di Tiongkok pada umumnya bakiak telah musnah. Sebagai fosil hidup, bakiak terbawa oleh orang-orang Tiongkok Utara yang merantau keselatan dimasa Dinasti Tang yang merupakan orang Tang-lang di Hokkian pada abad 8 Setelah Masehi.
Dari perantauan orang Tang-lang tersebut ke Nan Yang atau Asia Tenggara, maka terbawalah bakiak yang pada umumnya sebagai alas kaki para wanita atau nyonya. Semula adalah bakiak yang dihiasi dengan gambar lukisan bunga-bunga yang cantik sebagaimana asal usulnya yang digunakan oleh bangsawan zaman Dinasti Han di Tiongkok dulu itu, kemudian menjadi alas kaki para kuli atau para buruh yang pembuatannya menjadi sangat sederhana dan murah.
Bakiak memang berasal dari Tiongkok. Dan sering dikaitkan dengan legenda Ji Zietui di masa Dinasti Zhou. Nama lain bakiak adalah ceklek, dan nama pengaruh Belanda adalah klompen.
KISAH BAKIAK DI MASA DINASTI HAN
Dinasti Qin berusia singkat dan digantikan oleh Dinasti Han pada abad 3 BC. Dalam dinasti ini berkembanglah adat istiadat dan budaya Tionghoa yang banyak masih kita maupun bangsa lain seperti Korea, Jepang dan Vietnam pertahankan dan taati sampai sekarang, antaranya bahasa dan huruf Han-zi atau Mandarin. Juga banyak penemuan-penemuan besar oleh bangsa Han pada kala itu, seperti kertas, tahu dan seismograf etc.
Dinasti Han yang berlangsung selama kurang lebih 400 tahun dari 206 BC sampai 220 AD terbagi dalam era Han Barat ( 206 BC – 9 AD ) dan era Han Timur ( 25 – 220 AD ). Ketika mendekati masa achir Han Barat tersebut ada seorang ibu ratu Wang Zheng-jun ( 71 BC – 13 AD) yang merupakan ratu yang paling panjang usia di semua 7 dinasti-dinasti sejarah Tiongkok.
Ibu ratu Wang sangat berbijaksana dan mendampingi masa 4 kaisar Han, dari mertua Kaisar Han Jing Di, suami Kaisar Han Yuan Di, anak Kaisar Han Cheng Di, dan cucu keponakan Kaisar Han Ai Di. Sebagai ibu yang selalu kuatir atas anaknya yang masih muda sebagai kaisar, mengangkat saudara dan sanak famili dan kepercayaannya berkuasa untuk membantu dipemerintahan anaknya, Kaisar Cheng Di. Pada suatu ketika kaisar telah dewasa, sering terjadi perselisihan antara tindakan kaisar yang merajalela dan nasehat ibu yang selalu memperingatkannya.
Pertengkaran achirnya pecahlah antara ibu ratu Wang dan Cheng Di seketika didalam Rumah Abu Keluarga Kekaisaran, dalam masalah pemecatan jenderal besar Wang kakaknya ibu ratu yang berselisih paham dengan kaisar. Namun Cheng Di tetap berkaku hati dan malah mengecam ibunya terlalu banyak turut campur dalam masalah pemerintahannya, dan berlututlah kaisar didepan ibunya sambil mengancam untuk segera hendak meninggalkan tahtanya bila mana ibu ratu tidak meletakkan wibawanya .
Menghadapi anaknya yang tidak lagi akan mendengarkan nasehat untuk memperbaiki kesalahannya, setelah keduanya berdiam sejenak, dengan rasa putus asa terhadap sikap anaknya, ibu ratu melepaskan landas kakinya sepasang bakiak merah didepan anaknya dan berkata: “Bakiak ini akan ditinggal disini saja, telah membawa ibumu menjelajahi seluruh permukaan istana, membawa ibumu naik tahta ratu, mengebumikan jenazah ayahmu, memperjuangkan kamu dari rebutan diantara pangeran lain dan mengantarmu naik tahta kaisar, namun sekarang, apa yang harus dilakukan sebagai menantu kerajaan ini telah dilaksanakan dan apa kewajiban sebagai ibu pun telah terlaksanakan, hatipun telah lelah”. Sambil meninggalkan anaknya dengan kaki telanjang, ibu ratu mengachiri: “Sekarang ibumu cuma ibu ratu”.
Kaisar Han Cheng Di tetap melalaikan pemerintahannya dan selalu terbenam dalam pelukan dayang-dayang siang dan malam, tanpa keturunan dan meninggal dunia masih muda usia setelah bertahta 26 tahun, dan diteruskan oleh keponakannya Ai Di. Dinasti Han telah mengalami kemerosotan, mengalami masa kalut dan timbulnya pemberontakan-pemberontakan. Setelah ibu ratu Wang Zheng-jun meninggal dunia dalam usia 84 tahun, juga tamatlah riwayat Han Barat.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa
Referensi:
- The Book of Han (edisi bahasa Tionghoa): Saga of Wang Zheng-jun.
- Wikipedia Bahasa Indonesia
Photo Credit :Berkh