Budaya-Tionghoa.Net| Bicara soal sejarah China, apabila dihitung dari masa Three Sovereigns (Tiga Penguasa Raja) and Five Emperors (Lima Dinasti), sampai dengan hari ini (2500 BC–2012) sudah berlangsung sekitar 4.500 tahun—paling tidak dimulai dari masa pemerintahan Dinasti Zhou. Masa pemerintahan Dinasti Zhou terbagi menjadi dua periode, yaitu periode pertama yang disebut Zhou Barat atau Western Zhou (1045 BC–771 BC) dan periode kedua disebut Eastern Zhou atau Zhou Timur (770 BC–256 BC). Menurut para sejarawan, masa Zhou Timur ini masih dibagi menjadi masa Spring and Autumn Period (722 BC–476 BC) dan masa Warring States Period (476 BC–221 BC).
|
Pada waktu itu Dinasti Zhou, yang awalnya berhasil menggulingkan Dinasti Shang, menjalankan sistem pemerintahan secara feodal—selain Raja Zhou yang masih berkuasa karena dipercaya sebagai Putra Langit yang mengemban mandat langsung dari Langit—untuk menjadi penguasa tunggal. Di samping itu wilayah daratan Negeri China masih terdapat ratusan bagian negara (state) yang masing-masing masih dikuasai atau diperintahkan oleh para bangsawan, adipati, panglima, ataupun penguasa setempat yang setiap tahunnya diwajibkan harus menyerahkan sejumlah upeti kepada Kerajaan Zhou.
Adipati Mu dari Negara Qin pada masa Spring and Autumn Period berhasil menjadikan Negara Qin sebagai salah satu dari The Five Hegemons. Kesuksesan sang Adipati ini tentu saja tidak terlepas dari peranan para cendekiawan seperti Baili Xi, Jian Shu, Pi Bao, dan Gong Sun yang telah banyak menyumbangkan pikiran mereka. Adipati Mu sangat menghargai mereka yang memiliki bakat tanpa mempertimbangkan asal–usulnya. Inilah yang kelak juga disarankan oleh Baili You kepada Adipati Xiao untuk mengundang para cendekiawan dari berbagai negara bagian lainnya untuk melakukan serangkaian pembaruan dalam Negara Qin—salah satu cendekiawan yang bergabung adalah Wei Yang atau lebih dikenal dengan nama Shang Yang.
Bicara soal Wei Yang tidak bisa terlepas dari pembahasan serangkaian kebijakan serta peraturan-peraturan yang dikemasnya dalam sebuah nama Reformasi. Jauh-jauh hari sebelum perhitungan tahun Masehi dimulai, Wei Yang sudah paham benar akan pentingnya sebuah tatanan hukum yang kukuh untuk dijadikan landasan dalam pengaturan sebuah pemerintahan. Menurutnya, hukum—selain harus adil—juga harus memiiki kekuatan sehingga setiap orang akan tunduk padanya.
Ketika pada masa pemerintahan Raja Ying Zheng, Li Si juga pernah menulis surat permohonan yang ditujukan kepada Raja supaya tidak mengusir para sarjana dari Negara Qin dikarenakan kelak hal ini akan menjadi sebuah ancaman bagi Negara Qin apabila para sarjana tersebut berbakti serta melayani negara bagian lainnya. Sebenarnya bakat tidak harus dibatasi oleh hal-hal seperti asal-usul, suku, golongan, domisili, dan kewarganegaraan. Yang penting adalah kontribusi yang bisa disumbangkan untuk Kerajaan; seperti ungkapan dari Deng Xiaoping, mantan Perdana Menteri China, ”Tidak peduli kucing dengan warna bulu hitam maupun warna bulu putih, asalkan bisa menangkap tikus, maka itulah kucing bagus.”
Kalau berbicara tentang silsilah keluarga para penguasa Qin (tepatnya 22 generasi terhitung dari Adipati Mu), cita-cita dari para leluhur keluarga Ying ini berhasil diwujudkan oleh Raja Ying Zheng yang kemudian berhasil mempersatukan kembali seluruh wilayah Negeri China lalu mendirikan dinasti baru yang diberi nama Dinasti Qin—sekaligus sebagai tanda berakhirnya masa Warring State Period. Raja Ying Zheng tidak lagi menggunakan kata ”Raja” (王, Wáng) untuk menyebut jati dirinya, melainkan telah menggunakan kata ”Kaisar” (皇帝, Huáng Dì ataupun 皇上, Huáng Shàng.)
Sesudah mempersatukan seluruh wilayah China maka untuk menghubungkan jarak antar negara bagian lainnya maka diperintahkan pembuatan jalan raya dengan ukuran yang panjang dan lebar sehingga memudahkan para rakyat bepergian (sehingga pada akhirnya mendorong terjadinya peningkatan perekonomian). Untuk mempermudah transaksi Kaisar juga memerintahkan supaya disamakan keseragaman dalam hal bahasa, tulisan, alat timbang, satuan ukuran luas, mata uang, peraturan, kebijakan, sampai dengan hal pembayaran pajak.
Biarpun dinasti ini hanya berumur 15 tahun (221 BC–206 BC) namun telah meninggalkan jejak serta kebanggaan bagi semua rakyat China, yakni dengan adanya proyek pembangunan dan penyatuan tembok pertahanan yang dikenal dengan nama Great Wall of China (万里长城, Wàn Lǐ Cháng Chéng) yang juga merupakan salah satu dari 7 ke ajaiban dunia. Selain itu, tak kalah ‘besar’, Makam Qin Shi Huang atau Qin Shi Huang Tomb (秦始皇陵, Qín Shǐ Huáng Líng) dan Pasukan Terracota atau Terracotta Army (兵馬俑, Bīng Mǎ Yǒng), serta pembangunan Istana e’Pang atau E’Pang Palace (阿房宫, Ā Fáng Gōng)—namun sayang sekali Istana ini dibakar atas perintah Xiang Yu ketika pasukan Chu pada tahun 206 BC memasuki Kota Xian’yang. Akibatnya, kemegahan Istana sudah tidak bisa disaksikan lagi. Terlepas dari semua hasil karyanya maka Qin Shi Huang juga dikenal sebagai penguasa yang lalim dan sadis. Dia sangat menentang ajaran Ru dari Konfusianisme sehingga pada tahun 213 BC terjadilah aksi pembakaran buku dan penguburan para pengikut ajaran Rujia (Konghucu) hidup-hidup atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai Burning Books and Burying Confucianists (焚书坑儒, Fén Shū Kēng Rú). Pada peristiwa itu ada 460 pengikut ajaran Ru yang dikubur hidup-hidup.
Photo Ilustrasi :
http://web.budaya-tionghoa.net/gallery-photoblog/777-fotografi-xian-changan
Semasa pemerintahannya Dinasti Qin menciptakan serangkaian penyiksaan yang tidak manusiawi, antara lain seperti the fi ve pains—anggota tubuh korban dipotong mulai dari hidung, tangan, kaki, kemudian korban dikebiri, dan yang terakhir tubuh korban dibelah menjadi dua bagian. Li Si-lah penemu cara hukuman yang tidak manusiawi ini. Namun pada akhirnya dirinya sendiri harus tewas mengenaskan dengan cara ini.
Umur Dinasti Qin yang pendek ini dikarenakan oleh pemerintah dinasti yang cenderung menjalankan serangkaian peraturan yang memberatkan rakyat serta hukuman yang tidak manusiawi. Ditambah lagi Kaisar Huhai, penerus Qin Shi Huang, bukanlah seorang kaisar yang bijak sehingga kekuasaan pemerintahan pun jatuh ke tangan Zhao Gao. Semangat berkobar dari pemberontak Chen Sheng dan Wu Guang membangkitkan jiwa para pahlawan untuk melawan Dinasti yang lalim ini. Di antara mereka tercatat antara lain Xiang Liang dan Xiang Yu yang masih merupakan keturunan dari Xiang Yan.
Menurut catatan sejarah, sosok Xiang Yu digambarkan sebagai seorang panglima yang benar-benar sangat tangguh. Suatu saat ketika sedang menyaksikan Qin Shi Huang beserta rombongannya lewat, Xiang Yu pun berkata kepada pamannya, ”彼可取而代之”yang dalam bahasa Indonesia artinya: ”Suatu saat aku pasti akan menggantikannya.” Tak disangka ucapan Xiang Yu ini bisa bertahan sampai 2.200 tahun kemudian. Ketika Liu Bang, Pendiri Dinasti Han, belum tampil sebagai pemenang dalam perseteruannya dengan Xiang Yu, dia pun pernah diingatkan kembali oleh pejabatnya yang bernama Shusun tentang tata cara menjalankan sebuah sistem pemerintahan, ”Baginda Raja bisa menaklukkan sebuah negara melalui perang, namun apakah Baginda Raja juga bisa memimpin sebuah negara dengan cara yang sama?”—intinya Shusun ingin mengungkapkan bahwa akan lebih mudah seorang penguasa berhasil menaklukkan sebuah negara tetapi apakah penguasa ini bisa memimpin negara tersebut? Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara kata menaklukkan dengan memimpin.
Liu Bang menyadari bahwa dirinya tidak setangguh Xiang Yu dalam hal perang namun dia juga menyadari akan kelebihan dirinya dalam mempekerjakan mereka yang berbakat dalam bidangnya. Inilah bedanya Liu Bang dan Xiang Yu. 4 tahun Pertempuran antara Negara Chu dan Han berlangsung, Xiang Yu yang dikenal sebagai Dewa Perang (God of War) hampir selalu menang dalam setiap pertempurannya; sedangkan Liu Bang yang justru hampir selalu kalah dalam setiap pertempurannya ini akhirnya dengan satu kali kemenangannya berhasil memaksa Xiang Yu bunuh diri di Sungai Wu.
Photo : Aktor Chang Chen memerankan figur Han Xin dalam “The Last Supper”
Courtesy : News.Cn
Tentu saja kemenangan Liu Bang yang akhirnya mengantarkan dirinya menjadi kaisar pertama dari Dinasti Han tidak terlepas dari peranan para pengikutnya, terutama dari Zhang Liang, Xiao He, dan Han Xin yang sering kali dikenal dengan sebutan ”Tiga Pahlawan Dinasti Han Awal” (漢初三傑, Hàn Chū Sān Jié). Bicara tentang Zhang Liang, setidaknya ada beberapa jejaknya yang tercatat dalam sejarah, yaitu: menyewa seorang pembunuh untuk membunuh Qin Shi Huang, tengah malam menunggu kedatangan Huang Shigong di tepi sungai, memilih untuk berbakti kepada Liu Bang, menyarankan Liu Bang untuk bergabung dengan Xiang Liang, dengan siasatnya berhasil menyelamatkan nyawa Liu Bang dalam perjamuan Hongmen, menyarankan Han Xin untuk bergabung dengan Liu Bang yang telah memasuki Hanzhong serta memberikan peta rahasia kepadanya, memperkenalkan Shusun dan Lu Gu kepada Liu Bang, meng ingatkan Liu Bang untuk membebaskan ayah serta istrinya yang masih ditahan oleh Xiang Yu di Pengcheng, melarang Liu Bang untuk mengatasnamakan diri sebagai Raja Han Yang Agung untuk menobatkan penggelaran kepada para panglima dan penguasa, menjalankan taktik sehingga akhirnya Ying Bu bersedia untuk bersekutu dengan Liu Bang untuk melawan Xiang Yu, bersama dengan Chen Ping menyarankan kepada Liu Bang mengangkat Han Xin menjadi Raja Qi yang sebenarnya, menyarankan kepada Liu Bang supaya Peng Yue diangkat menjadi raja dan Han Xin dihibahkan wilayah, memerintahkan supaya prajurit Han menyanyikan lagu Chu untuk menjatuhkan semangat juang dari pra jurit Chu, serta ikut menyarankan Liu Bang menobatkan diri menjadi kaisar. Namun setelah jasa besarnya itu akhirnya ia memilih untuk meninggalkan semua urusan kerajaan dan memilih untuk menyendiri dan mendalami ajaran Tao. Zhang Liang sangat memahami intrik-intrik dalam Kerajaan sehingga tidak lama sesudah berdirinya Dinasti Han dia pun memilih untuk mengundurkan diri. Tidak seperti temannya yang satu ini, Han Xin yang dikenal sebagai panglima utama pasukan Han, yang telah banyak memberikan kontribusi serta memainkan peranan yang sangat menentukan dalam Pertempuran Chu Han, akhirnya ia berhasil disingkirkan oleh Permaisuri Lu.
Ketika Liu Ying naik takhta menggantikan Kaisar Gaozu (Liu Bang) maka Ibu Suri Lu (Lu Zhi) berkeinginan untuk menjadikan klan Lu sebagai penguasa dalam kerajaan. Sesudah kematian Ibu Suri Lu maka atas jasa pengikut setia Mendiang Kaisar Gaozu maka Liu Heng yang merupakan putra ke-4 dari Pendiri Dinasti Han ini diangkat menjadi kaisar yang baru untuk menggantikan Kaisar Shao (Liu Hong) yang masih kecil.
oleh Halim Ivan
Sumber dari :
Buku Qin and Han Dynasty, Penerbit Gramedia Pustaka Utama