Budaya-Tionghoa.Net | Awal bulan ini saya mendapat kiriman dari anak saya di Yogyakarta 1 buah buku yang berjudul: “Orang Cina Khek dari Singkawang”, karangan Prof. Dr. Hari Poerwanto, Guru Besar Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada, cetakkan tahun 2005.
|
Buku ini memang belum sempat saya baca secara keseluruhan, tetapi membaca secara sepintas, diantaranya pengantar Penerbit Komunitas Bambu (Edi Sudrajat) pada halaman VI bagian bawah terdapat beberapa kalimat yang mengusik perhatian saya, seperti dikutip di bawah ini:
“Sedangkan masyarakat Singkawang kadang menyebut suku bangsa bumiputra dengan istilah Fan Nyin, artinya setengah manusia atau barbar”.
Sebagai putra daerah yang kebetulan dari suku Khek/Hakka, juga fasih, memahami betul dialeg Khek, saya merasa istilah ini sangat menyesatkan dan tidak etis karena dapat dikonotasikan memandang rendah terhadap martabat saudara kita bumiputra, serta menimbulkan kesalahpahaman yang berkelanjutan sampai ke generasi anak cucu kita.
Di zaman reformasi ini perlu adanya semangat keterbukaan dan saling mengenal serta memahami, maka saya merasa terpanggil dan berkewajiban berkomentar apa adanya berdasarkan fakta dan data yang kami ketahui. Karena tulisan Bapak Profesor Dr. Hari Poerwanto adalah buku yang “serius“ (dikerjakan selama 15 tahun ) yang tentu nantinya akan banyak dibaca dan dipakai sebagai referensi oleh generasi muda kita, jangan hanya karena ketidaktahuan/ketidakpahaman sesaat, akan merusak sendi-sendi persatuan kebangsaan kita di masa depan.
Penterjemahan kata “Fan Nyin” yang diterjemahkan artinya menjadi “Setengah Manusia” di editor buku tersebut, mengingatkan saya pada 1 dekade yang lalu, pernah seorang penulis lokal Kalbar menterjemahkan demikian juga. Pada waktu itu, saya tidak menanggapinya karena saya mendapat informasi bahwa penulis ini adalah “pendatang baru” di Kalbar, yang menulis berdasarkan pengamatan pribadinya.
Dan sekarang kembali saya membaca lagi istilah “Fan Nyin” = setengah manusia, dari buku ilmuwan yang Guru Besar Antropologi berpengalaman, sehingga membuat saya mau tidak mau memberanikan diri menginformasikan penterjemahan yang benar.
Untuk lebih jelasnya asal usul kata “Fan” ini, saya mengutip dari Kamus Mandarin
“Phiau Cun Kuok Ing Suek Sen Xi Tian” atau Kamus Standard Bahasa, Siswa Mandarin tahun 1952, dimana tulisan kata: “FAN” diartikan: di luar batas Negara Tiongkok, perbatasan. Sedangkan “NYIN“ diartikan sebagai manusia, komunitas orang, sehingga kata “Fan Nyin“ kalau diterjemahkan akan berarti: orang/komunitas asing, masyarakat yang berada di luar perbatasan Negara Tengah/Tiongkok.
Perlu diketahui zaman dahulu di Tiongkok (Negara Tengah), dinasti kekaisaran Cina saat itu menganggap Negaranya terletak di tengah, sebagai sentral, pusat semesta, sehingga menganngap suku bangsa yang di luar perbatasan negara tengah sebagai suku Fan.
Masa itu Kekaisaran di daratan Tiongkok menamai suku-suku di luar Tiongkok (Negara Tengah/China) berdasarkan letak geografis dari arah mata anginnya, sebagai berikut :
Di sebelah Timur Tiongkok disebut “Tung Ie”. Sebelah Barat Tiongkok disebut “Si Yung”. Sebelah Selatan Tiongkok disebut “Nan Man”. Dan, sebelah utara Tiongkok disebut “Pei Tik”. [1]
Saya masih ingat ,semasa Perang Dunia II tahun 1941, kami komunitas peranakan Tionghoa di Singkawang sendiri juga disebut “Fan Nyin” yang artinya Orang/asing, orang di luar perbatasan Tiongkok.
Sedangkan saya anak kecil disebut “ Fan Tse” artinya, anak orang asing (Fan = orang asing/orang diluar Tiongkok/orang di luar Negara Tengah; Tse = anak).
Kalau orang Tiongkok yang merantau ke Selatan/ASEAN, masih disebut dengan “Ko Fan “ (Ko= merantau/melewati; Fan = Perbatasan Tiongkok). Dan bahkan sekarang kalau kami menikah pun masih disebut Kau Fan Pho (Kau = memperistri; Fan Pho = gadis di luar negara Tiongkok). Sehingga biarpun lelaki suku Khek menikah dengan gadis Tionghoa di sini, tetap di sebut Kau Pan Pho. Artinya menikah dengan gadis yang di luar Tiongkok.
Jadi sebutan “Fan Nyin” sama sekali tidak ada konotasi negatif apalagi menghina. [2] Memang arti yang sebenarnya adalah orang luar/asing, orang di luar perbatasan, dan ini semua ada tercantum dalam kamus koleksi saya 1952 yang saya sebutkan tersebut di atas dan tentu saja di kamus kamus modern lainnya.
Dari pengalaman tumbuh dan bergaul bersama dengan teman-teman bumiputra saya semasa kecil, khususnya teman dari suku pesisir, terlihat ada yang sering melafalkan huruf F menjadi P. Jadi kemungkinan saja ada yang salah melafalkan kata Fan Nyin menjadi Pan Nyin. Padahal dalam dialeg Tionghoa beda intonasi saja beda arti. Apalagi salah melafalkan, ini sering saya alami dimana nama kecil saya A Fat tapi dipanggil A PAT. Hal ini kami anggap hanya salah pengucapan saja, tidak ada unsur kesengajaan.
Seperti masih juga sering kita temui orang orang tua Tionghoa yang susah membedakan untuk melafalkan huruf R dan huruf L.
Saya bukan seorang akademis, tetapi berprinsip belajar itu tidak ada batasnya, jadi kalau ingin memahami suatu hal/perkara, harus belajar/bertanya kepada sumber/literatur yang dapat dipertanggungjawabkan, paling tidak bisa kita perbandingkan dari beberapa sumber.
Saya hanyalah seorang pemerhati sosial dan budaya yang peduli dengan persatuan dan kerukunan anak bangsa, dan sadar tak ada gading yang tak retak, maka harus siap membuka diri untuk dikritik untuk memperkaya wawasan kita bersama.
Kiranya kedepan akan ada usaha usaha dari dunia akademis kita misalnya, Universitas Tanjungpura, Departemen Pendidikan Nasional, Balai kajian sejarah dll, untuk melakukan penelitian dan pengkajian atas keanekaragaman kultur budaya daerah kita yang majemuk.
Mudah-mudahan tulisan ini ada manfaatnya, khususnya bagi yang senang dengan wawasan mengenai adat istiadat serta budaya daerah.
Salam Sejahtera.
XF Asali (Via Muhlis Suhaeri) , 33432
www.muhlissuhaeri.blogspot.com
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua
Catatan Admin :
1. Siyi merupakan bangsa asing diluar perbatasan Tiongkok / China Proper yang terdiri dari Dongyi di timur , Nanman di Selatan , Xirong di barat dan Beidi di utara.
2. Lihat juga penjelasan istilah “huan’a” dalam dialek Hokkian oleh rekan Liang U. http://web.budaya-tionghoa.net/tokoh-a-diaspora/diaspora-mancanegara/1288-istilah-huana