Budaya-Tionghoa.Net | Mencermati opini Iwan Piliang (IP) di Kompasiana saya tertegun dengan hipotesis-hipotesisnya yang ajaib berbau teori konspirasi yang sumbernya tentu saja asumsi sendiri mengenai siklus 10 tahunan dengan fase tameng rasis (1978, 1988 , 2008 , 2018)
|
IP memulai pembukaan opininya dengan terminologi SARA yang merupakan singkatan dari Suku , Agama , Rasial dan Antar Golongan yang dikatakannya muncul pada tahun 1978. Tapi tentu saja itu hanya konon belaka . Bahwa Sudomo di tahun 1973 lah yang memperkenalkan istilah SARA . (Tempo Volume 3 , Halaman 5 ; Tempo 22 September 1973 , Th III). Jadi dari langkah pembukaan saja sudah terlihat tidak valid.
Satu hal yang membingungkan lagi adalah kutipan dibawah ini :
Mereka minoritas, khususnya dari suku keturunan Tionghoa di Indonesia, seakan mendapatkan payung “keamanan”. Ekonomi bergerak tumbuh. Lahirlah kemudian konglomerasi usaha mereka didominasi keturunan Tionghoa. ……()………… Di balik rasa aman itu, beragam kebijakan pun menggelontor. Kalangan keturunan Tionghoa di Indonesia dalam sejarah bangsa memang mendominasi ekonomi. Pada 1988 mereka me-lobby pemerintah, agar membuka usaha sektor perbankan bagi swasta. Bank ibarat jantung bisnis. Uang darah. Maka lahirlah Kebijakan Oktober 1988, atau lebih dikenal dengan kebijakan Pakto 1988. Melalui kebijakan Pakto tersebut, pihak swasta boleh membuka bank dengan modal Rp 10 miliar sahaja………….(IP , Kompasiana)
Sekarang marilah bandingkan opini diatas itu dari keterangan dokumen Bank Indonesia sendiri. Pakto 88 atau Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 menjadi titik balik dari kebijakan penertiban perbankan. Singkatnya merupakan kemudahan baru dalam dunia perbankan. Tentu saja ada efek sampingnya dalam bentuk penyalahgunaan oleh pengurus bank tertentu tetapi dampak lainnya adalah BI mulai mengembangkan secara intensif pengembangan bank sekunder seperti bank pasar , bank desa , bank kredit desa yang kemudian berupa menjadi Bank Perkreditan Rakyat. Tujuannya adalah untuk memperluas jangkauan bantuan pembiayaan dan mendorong peningkatan ekonomi , terutama di pedesaan , dan juga modernisasi sistem keuangan di pedesaan. (Sejarah Bank Indonesia : Perbankan , Dokumen Situs Bank Indonesia)
MITOS 3-70
Dan rupanya IP termasuk kaum awam yang termakan mitos 3% menguasai 70% , sampai tergopoh-gopoh mengatakan kalangan keturunan Tionghoa mendominasi ekonomi . Cobalah sekali-kali jangan melihat keatas langit tempat dimana konglomerasi apapun tidak pandang bulu termasuk konglomerasi luar berusaha mencengkram kuat jiwa konsumtif negri kita ini. Lihatlah masyarakat kebanyakan yang masih berjuang keras untuk penghidupannya tidak terlepas itu Tionghoa atau bukan , masih menjadi “kuli” yang terikat dalam jam kerja .
Adam Smith dalam “The Wealth of Nation” mengatakan bahwa aset bisa menjadi modal produktif untuk menggerakkan sistem pasar dengan tujuan akhir kesejahteraan masyarakat. Sistem pasar inilah yang disebut kapitalisme . De Soto punya pendapat lain bahwa sistem ini memang berhasil di Barat tetapi gagal dibelahan dunia lainnya. De Soto beranggapan bahwa kegagalan ini karena ada hambatan dalam mentransformasi aset menjadi modal produktif . De Soto menunjukkan bahwa kaum miskin di negara dunia ketiga tidak semiskin yang dibayangkan . Kaum marjinal di Mesir diperkirakan mempunyai aset 9.3 triliun dollar US (2002).
Coba pikirkan aset tanah di negara yang luas seperti Indonesia tentunya merupakan aset yang besar. Kita untuk membangun rumah atau membeli tanah di kota-kota besar saja sudah dipastikan harus berkerja setengah mati agar bisa membelinya. Dan apakah tanah di negara yang luas ini juga dikuasai oleh golongan tertentu ? Tentunya hanya isapan jempol seorang bayi yang percaya mitos 3-70 , alias Tionghoa menguasai ekonomi.
Kapital atau modal terbesar seperti teori De Soto masih ditangan rakyat kebanyakan . Hanya saja mereka kesulitan untuk mentranformasinya menjadi modal produktif dan juga sering luput dalam perhitungan pendapatan nasional. Persepsi keliru yang selama ini adalah mengfokuskan diri pada uang dan aset-aset fisik padahal ada modal mati (dead capital) karena tidak produktif karena berbagai sebab seperti kegagalan pemerintah didunia ketiga , ketidakefisienan birokrasi , aspek legal dan korupsi yang merajarela.
Tabungan kaum marjinal ini terbelenggu dalam aspek legal dan tidak tercatat sehingga aset ini tidak jelas , tidak bisa diperjual belikan dan juga tidak tercatat. Sebagai contoh Filipina dimana 57% penduduk kota dan 67% penduduk desa hidup dirumah yang tidak jelas status kepemilikannya sehingga menjadi modal mati. Di negara kecil seperti Haiti nilai seluruh rumah liar itu sebesar 5.2 miliar dollar atau empat kali nilai seluruh kekayaan perusahaan resmi disana, sembilan kali kekayaan pemerintah dan 158 kali dari investasi asing dinegara kecil tersebut . Maka bayangkanlah nilai Filipina dan bayangkan pula besar modal mati di Indonesia yang penduduknya lebih banyak dan wilayahnya termasuk negara raksasa.
Tidak heran juga misteri kapital ini sebenarnya ada disekitar kita . Pemukiman padat disana-sini sampai tanah luas dipedesaan itu semua adalah aset . Bahkan satu pulau kecil yang tidak berpenghuni pun aset yang jika diluar kepada negara lain sungguh tak ternilai harganya dan bayangkan nilai sebuah pulau seukuran Papua atau Sumatera , itu aset siapa yang punya? Tetapi karena orang yang tidak mengerti kegagalan ekonomi negaranya akhirnya cara paling gampang adalah membebankannya pada golongan tertentu.
TEORI HOTEL
Semenjak teknologi transportasi berkembang dan sebelumnya , perpindahan dari satu tempat ke tempat lain yang jauh sudah menjadi sesuatu yang umum . Kalangan diaspora bisa mencakup orang Arab , India , Tionghoa , Yahudi dan bentuk-bentuk diaspora lain seperti Jepang di Brazil dan Amerika Serikat atau bahkan Amerika Serikat sendiri merupakan negara yang dibangun dari kalangan diaspora atau dalam bahasa umum adalah perantau.
Orang yang merantau mau tidak mau harus ulet dalam berkerja dan berusaha kalau mau bertahan hidup di tempat baru. Jadi tidaklah heran kalau kaum pendatang mengeluarkan tenaga berkali-kali lipat dalam membanting tulangnya agar bisa tidur nyenyak dan kebutuhan tercukupi. Berpikir berkali-kali lipat untuk membelanjakan uang kalau tidak terlalu penting sekali. Ini tidak ciri khusus sebuah golongan tetapi ciri khusus kaum perantau.
Dan walaupun usaha keras sama-sama dilakukan tetap saja yang berlaku itu hukum piramida dimana hanya segelintir yang benar-benar sangat kaya dan hampir semua sisanya masuk kelas menengah dan kelas miskin. Jadi diantara kalangan perantau pun tetap ada perbedaan kelas sosial.
Tidak heran kalau saya melihat rumah mewah seorang India disebuah kawasan di Kelapa Gading , rumah mewah seorang Tionghoa di PIK dan rumah mewah bumiputera di Pondok Indah , sementara saya yang Tionghoa sendiri masih kost . Tidak ada yang aneh dan tidak ada yang harus dicemburui dari perbedaan tersebut . Semestinya malah menjadi motivasi baru untuk maju.
Karena tulisan IP sendiri hanya mengandalkan observasi terbatas yang itupun terlalu melihat ke angkasa (konglomerasi) ada baiknya beliau melihat masyarakat kebanyakan . Cobalah lihat bahwa perantau domestik (merantau dari daerah asal di provinsi satu ke provinsi lain) juga lebih ulet . Beberapa diantara dari mereka berhasil secara ekonomi . Seorang perantau dari Tegal membuka warteg yang ramai pengunjung tentunya lebih berhasil daripada penduduk “asli” kota tersebut. Demikian pula orang Padang yang merantau ke pulau Jawa menjadi penjual ataupun membuka jaringan restoran Padang tentunya lebih berhasil daripada penduduk “asli” kota tersebut. Dan kembali sesuai hukum piramida tetap saja hanya segelintir yang mencapai puncak. Tetapi tentu saja sifat ulet perantau baik domestik maupun internasional ini memunculkan potensi keberhasilan daripada berdiam diri menanam kayu jadi pohon dan mengharapkan kolam air jadi kolam susu.
Menimbang teori hotel antara pendatang dan penduduk setempat maka akan lebih baik dinegara Indonesia yang kaya akan keragaman ini terjadi arus diaspora domestik . Perpindahan antar daerah yang membawa etos kerja baru yang positif dimana ketergantungan terhadap daerah asal menjadi berkurang. Dan juga menggiring semangat kedaerahan kedalam semangat integritas sebagai suatu bangsa , bangsa Indonesia.
Diaspora Tionghoa kalaupun mau dijadikan kambing hitam hanyalah pertanda ketidakmampuan mencari solusi. Diaspora Tionghoa (sebagaimana diaspora India dan diaspora lain) tidak hanya di Indonesia saja , tetapi diseluruh dunia , Singapura , Thailand , Filipina , Malaysia , Amerika Serikat ,Kanada , Eropa , Jepang , Korea etc . Kalau mau mengkambinghitamkan kegagalan ekonomi sebuah negara rasanya hanya menunjukkan pencetusnya adalah pemikir lugu dan instan. Artinya kalau menggunakan teori IP semua negara-negara tersebut diatas juga akan gagal , padahal tidak.
Sungguh aneh saat seorang berpikir satu golonganlah yang bertanggungjawab terhadap seluruh permasalahan negara. Itu namanya pola berpikir discrimination in reverse , mentalitet instant dan juga kemunafikan filosofis yang teriak tameng rasis padahal diri sendiri yang tanpa sadar menggunakan tameng rasis tersebut. Permasalahan negara adalah permasalahan holistik yang melibatkan seluruh komponen masyarakat dalam negara tersebut.
Dan juga saat membicarakan oknum janganlah tergopoh-gopoh menyeret keseluruhan. Yang namanya oknum itu mengada dimanapun , dia bisa saja oknum pejabat (apakah perlu dikaitkan dengan daerahnya ? ) , dia bisa saja oknum konglomerat (apakah satu golongan itu konglomerat semua ? ) , oknum selebritis , oknum pemuka agama , oknum tokoh masyarakat . Yang pasti namanya pejabat itu ada namanya sumpah jabatan , dokter ada sumpah Hippocrates , entah kalau profesi pengusaha maupun profesi lain ada sumpahnya atau tidak ? .
Salah satu solusi awal di negara yang luas dan terdiri dari keragaman yang kompleks ini adalah kerukunan masyarakat. Masyarakat yang rukun akan dapat berkontribusi maksimal , masyarakat yang tidak rukun akan menghabiskan energi hanya untuk saling berprasangka dan konflik yang tidak berguna.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa |