Budaya-Tionghoa.Net | Seperti banyaknya kisah terabaikan tentang Indonesia Timur, kehidupan etnis Tionghoa di timur Indonesia pun jarang ditelusuri. Padahal, kehadiran dan interaksi etnis Tionghoa di wilayah ini sudah berlangsung sejak zaman perdagangan rempah-rempah. Sebuah penelitian dari negeri Paman Sam bahkan menyebut etnis Tionghoa di Papua cenderung berasimilasi jauh lebih baik dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.
Orang Papua akrab dengan istilah “perancis” yang merupakan akronim dari Peranakan Cina Serui. Mereka termasuk dalam keluarga besar “Papua putih” atau “Papua rambut lurus”, generasi blasteran unik yang mewarisi perpaduan ciri genetika ras mongoloid dan ras melanesia. Generasi perancis sendiri tak canggung menyebut diri mereka “Ciko”, kependekan dari “Cina Komin” atau Cina Papua. Keunikan para “perancis” ini ternyata tidak terbatas hanya pada penampilan fisik mereka saja, tapi juga pada akulturasi budaya Tionghoa dengan budaya lokal Papua – sebuah kisah lain tentang kehidupan etnis Tionghoa yang tidak banyak terungkap.
Berawal Dari Bumbu Dapur
|
Wilayah Papua mulai muncul di peta dunia sejak abad ketujuh. Para pedagang Sriwijaya sampai ke pulau ini melalui jalur perdagangan rempah-rempah seperti pala dan lada. Buku tahunan Tiongkok menyebut Raja Sriwijaya yang bernama Maharaja Sri Indrawarman telah mengirimkan utusannya ke Kaisar Tiongkok untuk mempersembahkan bulu-bulu burung dan seorang gadis sengk’i sebagai tanda persahabatan. Sengk’i atau Jangge adalah sebutan untuk ras negrito di Nusantara saat itu. Sumber tertulis pada zaman Dinasti Tang (618-906) sudah menyebut Miliku untuk kepulauan di wilayah Maluku. Namun potensi rempah-rempah baru muncul dalam catatan zaman Dinasti Ming (1368-1643). Dalam periode Kaisar Wan-Li (1573-1619), catatan Tiongkok menyebutkan perang antara Portugis dan Belanda yang berusaha merebut pulau-pulau ini, dan pada 1618 terdapat catatan yang menyarankan untuk mendekati Sultan Tidore sebagai penguasa yang paling berpengaruh di wilayah Papua.
Sumber tertulis di atas terdukung dengan ditemukannya jejak kapak neolitik dengan teknik penggurdian yang hanya dikembangkan di Tiongkok (Kebudayaan Yang Shao), tersebarnya perunggu dongson, manik-manik, gelang kaca, serta keramik di beberapa penjuru Papua yang disinyalir berumur hampir 2000 tahun yang lalu. Masa ini akhirnya dicatat para arkeolog sebagai masa permulaan perdagangan rempah dunia.
Selain mencari rempah sebagai bumbu dapur dan obat-obatan, para pedagang Tiongkok datang ke kepulauan Maluku dan Papua untuk mendapatkan teripang, mutiara, kerang, kulit kayu masoi, cendana, gaharu dan lain-lain. Sebagai gantinya, mereka memperkenalkan besi, perunggu, keramik, pisau dan kain.
Duarte Barbosa, seorang pelaut Portugis mencatat bahwa pada tahun 1381 perdagangan di Papua tidak hanya meliputi hasil bumi, tapi juga budak. Orang-orang Jawa mengirimkan 300 budak hitam sebagai upeti ke Tiongkok. Tahun berikutnya mereka mengirim lagi 100 budak laki-laki dan perempuan bersama dengan 75.000 peti lada dan delapan mutiara berukuran besar.
Hal lain yang menjadi daya tarik Papua di abad 17 dan 18 adalah perdangangan bulu-bulu burung. Umumnya yang paling dicari adalah burung kuning alias cendrawasih dan burung kasuari.
Bangsawan Eropa dan Amerika saat itu amat senang memakai topi yang berhias bulu burung-burung eksotis. Tren ini dilanggengkan oleh Putri Marie Antoinette yang kerap menjadi trend setter fesyen kaum elit saat itu. Tak hanya pakaian bangsawan, seragam militer kala itu pun menggunakan bulu burung sebagai hiasan. Pada tahun 1904-1908 terdata 155.000 burung cendrawasih terjual pada lelang di London saja, belum termasuk perdagangan di tempat dan tahun yang lain. Tak heran, spesies burung-burung ini menjadi sangat langka sekarang.
[Kampung Ansus]
Pada 1828, Belanda secara resmi mengklaim Papua sebagai wilayah Hindia Belanda melalui perjanjian dengan Kesultanan Tidore. Namun menjelang akhir abad ke-18, pengaruh monopoli perdagangan rempah VOC menurun seiring kekalahan Belanda oleh Perancis di Eropa. Pedagang Tiongkok dan Bugis mengambil kesempatan ini untuk memperkuat pengaruhnya di wilayah kepala burung. Thomas Forrest, seorang Inggris yang tinggal di Dorei Bay (sekarang Manokwari) mengatakan bahwa Kesultanan Tidore dan Ternate memberikan izin khusus bagi pedagang Tiongkok ini untuk berlayar di perairan Papua. Mereka datang dengan perahu super kargo dari Batavia untuk mengambil hasil bumi yang akan diperdagangkan di Singapura.
Sebuah catatan menarik lainnya ditulis oleh Albert Wallace dalam buku hariannya yang bertanggal 8 Januari 1857. Wallace yang terkenal karena menciptakan garis yang membagi spesies flora dan fauna Indonesia dalam wilayah geografi Asia dan Australasia, menuliskan apa yang dialaminya di Dobo, Kepulauan Aru, yang terletak di selatan Papua, “Saya berani berkata bahwa dalam komunitas 500 penduduk yang tinggal di Kepulauan Aru, adalah mereka yang mempunyai ‘reputasi paling buruk’ dalam hal moral: pedagang Tionghoa, Bugis, Seram, peranakan budak Jawa-Papua. Populasi heterogen yang acuh, haus darah dan bermental pencuri ini anehnya hidup bersama dengan damai tanpa struktur pemerintahan. Tak ada polisi, tak ada pengadilan, tanpa pengacara; namun demikian mereka tidak saling memotong leher… sangat luar biasa! Saya melihat mereka amat santun. Saya bahkan bisa berjalan-jalan di hutan tanpa senjata. Saya tidur di pondok daun kelapa tanpa khawatir akan ada pencuri dan pembunuh seperti yang saya rasakan di bawah tekanan polisi metropolitan… Para pedagang ini, mengerti bahwa suasana damai diperlukan untuk mendukung perdagangan… Bandingkan dengan ratusan keputusan parlemen yang kita -orang Inggris- keluarkan setiap tahunnya untuk mencegah sesama kita saling membunuh!”