Budaya-Tionghoa.Net | Pada hari Minggu 15 Agustus 2010. Kami mengadakan kunjungan ke Cihampea , Bogor , Jawa Barat. Selain untuk silahturami , mendengar , berbincang , berkenalan , foto-foto, belajar , mengamati , uji nyali , dan banyak lagi. Pesertanya adalah , Biksu Dananjaya , David Kwa Kian Hauw , Koh Ayao , Ardian Zhang Zhichang , Khemagiri Mitto , Sutomo Kho , Hartono Joao Kho , Awi , Dada Robby , Eko Hermiyanto , Agoeng Setiawan , Subur Teguh, Hendri Irawan Yu Yongde , King Hian (menyusul belakangan)
|
Rombongan dibagi menjadi tiga kelompok keberangkatan. Satu kelompok dari daerah Pluit, satu dari Kebon jeruk dan satu dari Kelapa Gading. Dengan titik kumpul di rumah Ardian. Saya ikut rombongan dari Pluit berangkat jam 6 pagi, kita makan-makan dulu sarapan paginya bakmi keriting Siantar di pasar Muara Karang.
Sembari menuju meja makan, intermezzo sekalian ditunjukin ke rekan-rekan :
– Perkumpulan Perantau Pematang Siantar
– Perkumpulan Perantau Tebing Tinggi
– Perkumpulan Perantau Belawan
Sambil sedikit ngoceh, ini loh bukti “patriotisme” sejati tanpa bualan kosong membela siapa kalau perang. Tanah leluhur mereka itu yang Pematang Siantar, Tebing Tinggi, Belawan; bukan lagi Meixian, Anhui, Anxi, Fujian. Masih banyak lagi misalnya perkumpulan Bagan, perkumpulan Kuala Simpang. Isinya semua Tenglang; Yang mendirikan Tenglang, yang mengurus Tenglang, kerjanya ya buat Tenglang. Baru-baru ini perkumpulan Tebing Tinggi mengadakan kejuaraan Xiangqi/catur gajah.
Bakmie sudah habis, kami langsung lanjut masuk jalan tol sembari mengobrol ringan. Rumah Ardian sempat terlewati dan tersasar walau akhirnya sampai juga setelah terpaksa berputar-putar di jalan. Sambil menunggu komplit rombongannya, kami ramai-ramai sarapan dulu di “Warung Doyong”. Warung doyong ini menjual masakan peranakan Bogor, dengan ayam gorengnya yang jadi menu populer. Setelah perut kenyang baru kita menjemput liason rombongan dengan Ciampea: Ko Ayao, dilanjutkan dengan menjemput ko David Kwa.
Sebelum ke rumah ko Ayao, rombongan sempat berhenti sebentar di “GEREJA BOELOLOE” [Kwan Im Bio] . Beberapa rekan-rekan memberikan penghormatan, termasuk mbah dan saya, sesuai cara masing-masing. Dibandingkan terakhir kali berkunjung, bagian belakang gereja sudah direnovasi menjadi lebih rapi dan bersih. Sayangnya di bagian depan ada beberapa peninggalan dan bukti sejarah yang “lenyap”. Kemunidan menuju lantai atas gereja, dan bersyukur bahwa peninggalan antik masih berada disana. Altarnya sungguh indah, juga kimsinnya. Barangkali ini yang disebut altar khas peranakan ?
Perjalanan menuju Ciampea memakan waktu kurang lebih 45 menit. Titik tujuan ada di Hok Tek Bio Ciampea. Bio ini usianya sudah lama. Menurut beberapa sumber penduduk tenglang Ciampea adalah berasal dari pelarian dari pembantaian Batavia di tahun 1740 . Pelarian mereka dipimpin leluhur marga Thung, yang kemudian mendirikan Hok Tek Bio. Dari Hok Tek Bio kita jalan menembus kebun singkong dan sawah. Banyakan sih kebun singkong di kiri dan kanan, terselip juga kebun jagung dan kebun terong. Oh yah, selama perjalanan di kebun kita dipandu oleh dua orang tokoh setempat.
Pemberhentian pertama adalah kuburan leluhur penduduk setempat yaitu yang marga Thung dan kuburan seorang ratu. Yang marga Thung masih berkerabat dan keturunan dari sultan dan raja-raja di daerah Jawa Barat. Setelah itu mbah dimintain bantuan buat identifikasi beberapa bongpay tua dari era pemerintahan kaisar Guangxu (abad ke 19), yang sudah tidak terurus. Karena Ardian memakai bahasa Mandarin, sepertinya agak sulit mengindentifikasi siapa anak cucunya yang masih tersisa di kampung itu. Jadi rencana lain kalinya adalah menculik rekan Kinghian, karena dia spesialis bongpay dan dialek Minnan. Rekan-rekan yang lain juga asik mendokumentasikan beberapa kuburan yang termasuk “unik”. Salah satunya adalah kuburan dengan tanda salib yang besar tapi dicat merah seperti bio dan dihiasi ukiran naga ! Sungguh unik dan indah kuburan itu. Lewat dari pekuburan, rombongan dipandu menyusuri medan yang lebih berat. Terjal, curam, licin, vegatasi lebih padat dan uji nyali menyeberangi jembatan bambu yang waduh… nget ngit nget
Sehabis itu ada jalur pendakian beberapa menit yang cukup menguras tenaga. Dan reward nya adalah prasasti Tarumanagara yang tersohor itu ! Kami melihat langsung batu besar prasasti beserta cetakan kaki Prabu Purnawarman. Sungguh ada rasa puas di dalam hati melihat hal yang dulu hanya bisa dibaca lewat buku sejarah sekolah yang tidak bermutu (singkat2 isinya, kualitas cetakan buku jelek) . Akhirnya bisa melihat dengan mata kepala sendiri ! Benar-benar memuaskan.
Prasasti itu telah dipindahkan dari tempat aslinya di tepi sungai ke atas bukit karena alasan vandalisme. Oleh juru kunci diceritakan proses pemindahan yang dilakukan manual dan memakan waktu lama. Sedih juga melihat hasil karya orang-orang iseng dan yang tidak menghargai sejarah. Prasasti itu dipenuhi corat-coret ukiran yang katanya diukir dengan paku. Isinya macam-macam, gak pentinglah diuraikan satu persatu hasil vandalisme. Di sawung tempat prasasti, rombongan berteduh dari hujan lebat sambil berbincang-bincang dengan juru kunci. Sang juru kunci memaparkan beberapa sejarah termasuk sejarah sebelum Tarumanagara, yaitu Salakanagara. Salakanagara ini catatannya sangat minim. Peninggalannya hanya berupa arca dan catatan Tiongkok kuno. Konon pendiri kerajaan ini berasal dari benua India dan masih berhubungan dengan dinasti Maurya. Dari sinilah silsilah raja-raja nusantara bermula. Konon.
Setelah istirahat sekitar 1 jam dan hujan mulai mereda, perjalanan dilanjutkan untuk….. pulang 😀 . Kami menunggu angkot karena sudah lelah untuk berjalan kaki. Kami diajak juga ke prasasti Tapak Gajah atau Kebun Kopi. Juga diajak melihat sebuah batu meja yang konon katanya dipakai sebagai meja untuk para petinggi kerajaan dan kursi-kursinya terbuat dari batu. Sayangnya kursi batunya sudah pada rusak. Lalu kami dibawa ke sebuah tempat petilasan yang punya nilai spiritual. Menurut pemandu , banyak orang yang berziarah dan kalau sudah jam 2 dini hari hue hue hue…… Total perjalanan memakan waktu kurang lebih setengah hari.
Akhirnya kami dapat juga mobil tumpangan. Pemiliknya baik hati mengijinkan rombongan tumplak tumplek dalam mobilnya yang kecil. Diantar sampai Hok Tek Bio Ciampea dalam kondisi lelah dan basah kuyup. Mana perut sudah mulai minta jatah untuk diisi lagi. Di Bio, mbah menyelesaikan beberapa urusan dengan pengurus yang bernama ko Asheng, liason nya ko Ayao. Rekan-rekan yang lain pada mengaso, ada yang ganti baju, malah ada yang pakai parfum. Perut yang kosong akhirnya terisi di Bogor. Menunya: nasi goreng pete ncek Goan Tjo 🙂 Lanjut dengan diskusi di rumah Ardian, diskusi apa aja ngalor ngidul ditambah kedatangan kang Kinghian. Jam 9 malam akhirnya pesta bubar…..
Sudah beberapa kali rekan-rekan mengadakan yang beginian, yang kemaren misalnya jalan ke Kiu Lie Tong daerah Krendang. Juga muter petak sembilan masuk ke bio satu persatu kecuali satu “bio” ehem ehem. Kala waktu itu di “bio” tersebut Ardian beruntung karena datang bersama Ronny Pinsler yang ras Yahudi eropa sehingga diijinkan masuk oleh ulamanya yang berbahasa italia. Jadi si Ardian beruntung bisa liat-lihat peninggalan jesuit.
Untuk next timenya, kita masih akan terus mengadakan kegiatan serupa. Jadi bagi yang tertarik boleh lah menghubungi tim moderator. Terbuka untuk semua makhluk 🙂 Tanpa batasan suku ras agama golongan. Dengan syarat harus bisa menghormati perbedaan budaya dan pendapat.
Sekian.
Hen Yung
CIAMPEA [2]
Kesulitan pertama pada saat acara yang melibatkan banyak orang adalah berbedanya jam biologis antara saya dengan mereka. Saya baru tidur jam 4 pagi dan bangun jam 6 pagi pula . Saya ikut mobil Giri dari Kelapa Gading untuk kemudian menuju rumah Ardian di Bogor dalam keadaan terkantuk-kantuk dan perut belum terisi. Dirumah Ardian kami menunggu semua rombongan terkumpul lengkap.
Pemberhentian pertama adalah Warung Doyong. Letaknya tidak jauh dari kawasan Surya Kencana. Selusin ayam goreng segera tersaji diatas meja , ditemani sambal yang merupakan esensi dari masakan Sunda. Nasi uduk menambah nafsu makan saya dan yang lainnya. Kemudian terjadi “Doyong Massacre” dan perut segera menjadi kuburan massal ayam-ayam goreng yang malang.
Dari Bogor kami menyusuri jalan kecil menuju Ciampea selama sekitar 45 menit. Saya sempat melihat kawasan AURI dalam perjalanan menuju ke Ciampea . Rumah sederhana penduduk memenuhi kanan kiri jalan , ada juga lahan pertanian , dan sungai . Memasuki Ciampea , kami melewati Pasar Ciampea yang terletak dipinggir jalan kecil (apa memang merupakan jalan utama di sini ?) penuh dengan orang yang lalu lalang. Kendaraan berbagai jenis berseliweran dengan sporadis. Kios-kios kecil berdesakan menjual berbagai kebutuhan bagi penduduk sekitar. Teriknya siang seakan membuat segala sesuatu tampak tergesa-gesa. Mobil rombongan meluncur seperti pasukan bisu yang memecah keramaian menuju Bangunan Hok Tek Bio.
Hok Tek Bio adalah sebuah kelenteng yang sederhana . Halaman depan cukup luas untuk menampung puluhan mobil. Bangunan didominasi dengan tembok berwarna merah , dan terdiri dari tiga bangunan yang berhimpitan. Kelenteng ini di renovasi dari bangunan aslinya yang bernuansa arsitektur lokal. Altar seperti umumnya kelenteng , ada di setiap bagian ruangan. Bangunan ketiga terhubung melalui pintu besar , di bagian belakang ada tempat untuk sembahyang Surya Kencana. Dibalik tembok belakang , sayup-sayup kebaktian gereja terdengar di bagian belakang kelenteng ini yang bertetangga.
Dari kelenteng kami menuju jalan setapak yang menghubungkan dengan tanah kuburan. Kami di pandu oleh dua tokoh setempat. Saya melihat deretan kuburan yang cukup megah dengan berbagai identitas , ada kuburan dengan daftar nama Tionghoa , ada kuburan dengan tanda salib . Ada deret daftar keluarga dengan cucu mantu yang juga bernama Tionghoa dan juga nama yang mencirikan nama khas Sunda. Ada kuburan yang unik di dominasi warna merah dan bentuk makam yang khas Tionghoa , merah menyala dan ada tanda salib.
Makam demi makam kami lalui dibawah siang terik dan peluh yang terus bercucuran , melewati ladang singkong dan jagung , dan area makam lagi dan seterusnya. Saya dan sebagian rombongan terhenti pada suatu makam yang tidak terurus dan penuh dengan sampah. Ardian membaca tulisan pada makam tersebut . Ternyata makam ini adalah makam yang sejaman dengan masa pemerintahan Kaisar Guang Xu (kaisar kedua terakhir sebelum Pu Yi). Pada titik ini , tempat pemukiman penduduk sudah bercampur baur dengan makam. Bahkan ada satu bongpai yang sudah tua beraksara Tionghoa , hanya dibiarkan tergeletak di samping rumah.
Perjalanan dengan jalan kaki terus di lanjutkan menembus ladang , kontur yang naik dan turun , sampai akhirnya sampai ke jembatan tali yang hanya terbuat dari bambu yang tampak rapuh . Dibawah jembatan , air sungai mengalir cukup deras. Sempat berdebar saat melewatinya.
Prasasti Batu Tulis berdiri kokoh dengan bentuk sembarang. Goretan huruf kuno mendekorasi batu dengan indah dan jejak kaki yang di percaya merupakan semacam tandatangan bagi penguasa saat itu. Saung yang menaungi batu ini di dekorasi dengan lantai batu alam yang seadanya dan wall panel yang terbuat dari gelas hias. Disamping kiri ada semacam papan tulis yang menerjemahkan tulisan di batu itu dalam abjad latin bernuansa India dan terjemahan dalam bahasa Indonesianya. Kami segera duduk di lantai sekaligus melepas lelah mendengarkan uraian juru kunci panjang kali lebar dengan latar belakang sejarah sunda yang cukup menarik yang menghubungkan batu ini dengan eksistesi kerajaan Tarumanaga , Kutai sampai Sriwijaya. Dan juga beliau menerangkan proses pengangkatan batu ini yang memperlukan perjuangan dengan alat yang sederhana. Batu diikat dengan rantai yang terlebih dahulu di alasi kayu agar tidak merusak batu tersebut. Proses pemindahan ini bisa hanya setengah meter setiap hari.
Beberapa dari kami mencoba mengukur kaki dengan jejak kaki pada batu itu. Saya melihat jejak vandalisme yang tidak bertanggung jawab. Batu ini adalah bukti tertulis pertama yang menandai sejarah dan peradaban Nusantara. Salah satu tulisan vandalisme itu adalah “Geura Harudang Urang Sunda” (Segera Bangkit Orang Sunda). Hujan mendadak tercurah dari langit menambah suasana alam yang melankolis dan menggugah selera tidur.
Setelah menunggu beberapa saat dan hujan mulai reda , kami berpamitan dengan juru kunci yang ramah itu. Sempat juga kami mampir di beberapa situs arkeologi yang seadanya . Sebuah lempengan batu yang cukup besar dan rata seperti meja. Menurut penduduk setempat , batu itu adalah tempat para panglima melakukan rapat. Ada prasasti tidak jauh dari situ , prasasti Gajah , dan ada jejak menyerupai jejak Gajah pada batu tersebut.
Kami kembali ke Bogor menjelang sore hari. Nasi Goreng Goan Tjo adalah santapan kami berikutnya. Menu yang dipilih adalah Nasi Goreng Pete . Sebagai tambahan saya memilih kacang ijo yang lezat. Rekan lain memilih sate kerbau.
***
Dari perjalanan ini saya mendapatkan kesan .
1. Kehidupan beragama dan kerukunan warga di Ciampea terlihat damai.
2. Perlu ada bantuan dari berbagai rekan yang pandai berbahasa untuk membantu penduduk Ciampea berhubungan dengan asal usulnya (mereka tidak bisa membaca kuburan leluhur yang masih beraksara Tiongkok , sehingga terlepas dari asal usulnya sehingga terbengkalai .
Regards Dada
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing List Budaya Tionghua 51394 , 51397