Budaya-Tionghoa.Net | Menjelang peringatan hari kemerdekaan RI yang ke-62 ini, telah diluncurkan sebuah buku mengenai Tan Malaka karya peneliti Harry Poeze sebagai lanjutan bukunya yang telah diterbitkan sebelumnya yaitu “Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1897-1925” (1988) dan “Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945” (1999).
|
Sebelumnya pada tanggal 23 Juli 2007, sebuah undangan peluncuran buku tersebut telah di-postingkan di milis Budaya Tionghoa ini pada bulan lalu oleh saudara Steeve Haryanto (Budaya Tionghoa , 26455) yang diselenggarakan di Gedung Joang pada akhir Juli 2007
Penulis buku ini, Harry Poeze juga menjabat sebagai Direktur Penerbitan KITLV (Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara) yang telah tertarik melakukan penelitian tentang riwayat hidup Tan Malaka sejak tahun 1980.
Buku yang berjudul “Verguisd en Vergeten: Tan Malaka, de Linkse Beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949” (Dihujat dan Dilupakan: Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949) adalah buku babak akhir dari kehidupan Tan Malaka yang wafat pada tahun 1949. Buku Edisi bahasa Indonesianya akan diterbitkan enam jilid selama dua tahun hingga 2009.
Salah satu faktor yang menarik dalam perjalanan hidup Tan Malaka ini adalah hubungannya dengan gerakan revolusi di Tiongkok serta pengalaman hidupnya dipedalaman Tiongkok selama hidup sebagai pelarian politik di luar negeri.
PROFIL TAN MALAKA
Tan Malaka atau Datuk Ibrahin Sutan Malaka dilahirkan tahun 1897 di Sumatra Barat dari etnis Minang, dikenal juga dengan nama “Pacar Merah” dalam roman petualangan karya Matu Mona pada tahun 1934. Selain itu Tan juga banyak menggunakan beberapa nama samaran Tionghoa selama pelarian politiknya untuk menyembunyikan identitas yang sebenarnya. Tan Malaka adalah seorang tokoh revolusioner dan legenda yang diliputi oleh kabut misteri. Pada tahun 1963 ia ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh Soekarno, tetapi pada jaman orde baru namanya dihapus dalam buku sejarah karena dianggap komunis.
Tan memang sering dilekatkan dengan berbagai sebutan seperti, komunis nasionalis, seorang revolusioner, Trotzki, radikalis, idealis, intelektual kiri dll. Dan ada yang menyamakan Tan Malaka dengan Che Guevara, Ho Chi Minh, atau Jose Rizal (pejuang kemerdekaan dari Filipina). Riwayat hidup Tan Malaka diwarnai dengan berbagai peristiwa yang penuh drama petualangan yang jarang dialami oleh pemimpin gerakan nasional lainnya serta merupakan salah satu pelaku sejarah pergerakan nasional dalam kontribusi pembentukkan negara RI, sekurang-kurangnya dalam bentuk ide, konsep dan sumbangan pemikiran dalam tulisan-tulisannya.
Tan Malaka menempuh sekolah pendidikan guru di Bukittinggi tahun 1908-1913, kemudian pada tahun 1913 pergi melanjutkan belajar ke Belanda dan baru kembali ke tanah air kembali pada tahun 1919. Selama pendidikan di Belanda Tan Malaka mulai mengenal dan belajar tentang Marxisme serta ilmu sosial lainnya.Dan Tan Malaka sebagai seorang Marxis muda yakin dengan tesis Lenin yang mengatakan bahwa “imperialisme adalah puncak tertinggi dari kapitalisme” (Imperialism, the Highest Stage of Capitalism)
DIUSIR DAN BERKELANA
Sesudah kembali dari Belanda, Tan berkerja sebagai seorang guru murid kuli kontrak di perkebunan Sumatra Utara dekat Medan hingga tahun 1921. dan kemudian bersama Semaun mendirikan beberapa sekolah SI (Serikat Islam).Tan Malaka memulai kegiatannya pertama-tama di ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) yang kemudian menjadi PKI dan pada tahun 1921 juga ia diangkat sebagai salah satu ketua PKI menggantikan Semaun, tetapi pada tahun 1922 ia ditangkap dan dibuang ke luar negeri oleh pemerintah kolonial Belanda, kemudian Tan Malaka berangkat ke Belanda dan disana terpililih sebagai wakil Partai Komunis Belanda dalam parlemen Belanda tetapi ia gagal menjadi anggauta karena usianya yang belum memenuhi syarat.
Dari Belanda Tan Malaka pergi ke Berlin, Jerman dan menetap selama beberapa bulan kemudian pergi ke Moskow (1922-1923), disana ia terlibat dalam kegiatan politik serta terpilih menjadi wakil Komintern (Komunis Internasional) untuk wilayah Asia Tenggara, yang kemudian ditugaskan berangkat ke Canton (Guangzhou) sebagai basisnya pada bulan Desember 1923.Di Canton (Guangzhou) Tan Malaka menerbitkan bukunya pada tahun 1924 yang berjudul “Naar Repoebliek Indonesia” (Menuju Republik Indonesia) dan diketahui ratusan jilid buku tersebut diselundupkan ke Hindia Belanda yang banyak dibaca oleh kaum intelektual dan tokoh pergerakan nasional lainnya di tanah air.
Moh. Yamin dalam tulisannya “Tan Malaka Bapak Republik Indonesia” memberi komentar: “Tak ubahnya seperti Jefferson-Washington merancang republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaan tercapai atau sebagaiRizal-Bonafcio meramalkan Republik Filipina sebelum revolusi Filipina……….” .
Selama di Tiongkok ini Tan Malaka (dan juga Alimin yang berkunjung ke Tiongkok ) mengadakan hubungan dengan pemimpin-pemimpin revolusi Tiongkok seperti Dr. Sun Yat Sen serta anaknya Sun Fo, Liao Chung Kai (pembantu dekat dan sahabat Dr. Sun), Hu Han-min, Lin Piao (hal 357) dan mungkin juga Wang Ching杦ei. Dr. Sun yang baru sembuh dari penyakit berat dikabarkan sangat bergembira dapat berjumpa dengan Tan Malaka sebagai seorang kawan perjuangan dari Asia (Harry Poeze: Tan Malaka, pergulatan menuju republik, hal 345).
Ketika berada di Tiongkok, Tan Malaka jatuh sakit yang cukup berat dan ia mendapat bantuan dari bantuan kawan-kawan Tiongkoknya sehingga kesehatannya berangsur pulih. Tan Malaka : ” Selama saya sakit, saya banyak mengalami yang indah-indah dari kaum buruh Tiongkok…………….Ketika saya tiba di tengah-tengah mereka , saya dalam keadaan hampir mati karena sakit. Mereka berkata bahwa saya tidak boleh pergi ke mana-mana.
Salah seorang memanggil dokter (sinshe). Yang lain merapikan tempat tidur yang sederhana. Yang ketiga mengambil obat. Ada lagi yang memasak dan seterusnya…………….Begitulah hidup sebagai kawan sejati buruh Tiongkok”. (Poeze, hal. 374).Tan Malaka juga menunjukkan simpati dan solidaritas kepada perjuangan revolusi di Tiongkok yang mempunyai tujuan dan cita-cita yang sama dengan bangsa Indonesia yang diungkapkan dalam beberapa tulisan-tulisannya.Pada Juli 1925, Tan Malaka berangkat ke Manila, Filipina dengan menyamar lalu kemudian berkerja pada salah satu surat kabar disana. Pada tahun 1926, pecah pemberontakkan rakyat Indonesia melawan kolonialisme Belanda di berbagai daerah terutama di Jawa Barat dan Sumatra Barat.
Tan Malaka yang ketika itu sedang berada di luar negeri menilai pemberontakkan ini terlalu dini dikobarkan oleh PKI dan Belanda berhasil menghancurkannya serta banyak tokoh-tokohnya ditangkap. Dan sejak itu mulailah perpecahan Tan Malaka dengan PKI. Tahun 1926, Tan Malaka dari Manila ke Bangkok dan mendirikan PARI (Partai Republik Indonesia) bersama kawan-kawan lainnya dan dengan tindakan ini maka Tan Malaka pecah dengan PKI dan komintern. Perbedaan pendapat antara Tan Malaka dengan gerakan Komunis internasional sebenarnya sudah timbul ketika Komintern menolak Pan Islamisme, karena dianggap sebagai salah satu alat penindasan oleh kelas penguasa.
Sebaliknya Tan Malaka berpandangan bahwa Pan Islamisme itu berguna dalam perjuangan memerdekakan diri dari kapitalisme, kolonialisme dan imperialisme. Tan Malaka mengemukakan tentang betapa perlunya merangkul kekuatan Islam untuk diajak berkerja sama serta dimasukkan ke dalam barisan perjuangan politik bersama-sama dengan kekuatan lainnya, maka itu ia menganjurkan PKI untuk berkerja sama dengan SI (Serikat Islam) dalam perjuangannya.
TAN MALAKA DI TIONGKOK
Pada tahun 1927 Tan Malaka kembali ke Manila yang kemudian ditangkap oleh polisi Amerika atas permintaan Belanda dan kemudian mengusirnya keluar dari Filipina. Penangkapan dan pengusiran terhadap Tan Malaka ini telah menimbulkan gelombang protes dari kalangan nasionalis Filipina seperti Manuel Quezon. Tan Malaka akhirnya meninggalkan Filipina menuju Amoy (Xiamen) di Tiongkok.
Di Amoy, Tan Malaka masih dicari oleh konsul Belanda yang ingin mengekstradisinya ke Hindia Belanda. Di Amoy Tan Malaka tinggal di rumah Tan Ching-hua alias Ka-it yang kelak persahabatan ini berlangsung lama.
Karena di Amoy keamanannya masih terancam, seorang Tionghoa-Filipina Francisco Tan Quan alias Ki-koq, kawan Tan Malaka yang sekapal dengannya mengusulkan kepada Tan Malaka untuk meninggalkan Amoy ke desa, tempat asal keluarganya di Silonching, dimana ia dapat memberikan perlindungan kepada Tan Malaka, karena keluarganya mempunyai pasukan kecil bersenjata yang apabila perlu dapat melindunginya. (Poeze: pergulatan menuju republik hal. 136). Didesa ini banyak penduduknya yang berimigrasi ke Filipina sehingga desanya relatif makmur karena kiriman uang dari saudaranya di Filipina.
Pada tahun 1929 Tan Malaka pergi pindah ke Shanghai, karena Amoy (Xiamen) dianggap tidak aman lagi. Tentang kehidupannya di Shanghai tidak banyak yang dapat diketahui orang. Kemiskinan dan penyakit mengganggu Tan Malaka, ia tinggal disana pada satu keluarga Tionghoa di jalan Szu Chuan, Chapei, Shanghai. (Poeze, hal 186).
Mengenai Shanghai , Tan Malaka menulis: Kapitalisme internasional menjadikan Tiongkok semacam setengah koloni, yang dibidang-bidang politik dan ekonomi tidak mempunyai kebebasan penuh untuk bergerak? Para warganegara kekuasaan asing ini menikmati berbagai macam hak istimewa ekstrateritoriaal. Tan menggambarkan Shanghai sebagai tempat bisnis palsu dan perdagangan ilegal yang tersebar luas (Poeze, Pergulatan, hal. 193).
Pada akhir tahun 1931 ketegangan di Shanghai memuncak dengan adanya serangan Jepang atas Manchuria dan penyerangan ke Shanghai, disini ia terbuka matanya terhadap maksud-maksud Jepang itu. Ketika Jepang menyerang Shanghai yang dipertahankan oleh tentara ke-19, Tan nyaris menjadi sasaran peluru, ia menyaksikan pertempuran dan terkurung selama empat hari, empat malam dirumah tempat ia tinggal selama ini.
Di hari ke lima Tan berhasil keluar dari medan pertempuran dan menyelamatkan diri ke sektor Perancis, selama perjalanan ia luput dari penembak-penembak gelap yang beroperasi didaerah itu, lalu mencari kawannya, Chen Siang-sen yang dikenalnya sejak di Amoy (Xiamen) dan menawarkan Tan untuk tinggal di rumahnya. Sekitar bulan Oktober 1932, Tan Malaka berangkat ke Hongkong, tetapi beberapa hari setelah kedatangannya, Tan ditangkap oleh polisi Hongkong. Tan memang senantiasa dicari oleh dinas intel Barat karena kegiatan revolusionernya
Pihak Inggris mengkaitkan dengan kegiatan komunis di Hongkong, Singapura dan bahkan di Birma. Pihak Perancis menyatakan bahwa ia mengambil bagian dalam kegiatan revolusioner di daerah jajahan Perancis (Indochina). Pihak Amerika berkata bahwa Tan Malaka harus bertanggung jawab atas berdirinya Partai Komunis Filipina. Pihak Belanda membawa cerita panjang lebar tentang gerakannya di Hindia Belanda. (Poeze, Pergulatan hal 197).
Setelah ditahan oleh penguasa Inggris di Hongkong akhirnya Tan Malaka diusir pada bulan November 1932 , dan pengusirannya ini dari Hongkong adalah yang ke tiga kalinya, pertama 1922 diusir dari Indonesia, kedua 1927 dari Fiipina. Pada saat yang hampir bersamaan Ho Chi Minh, seorang tokoh revolusioner Vietnam juga ditangkap oleh penguasa Hongkong dan pada tahun 1932 itu juga Ho diusir dari Hongkong. Kedua tokoh revolusioner ini yang sudah berkenalan sejak di Moskow dan Canton, tidak sempat bertemu satu dengan lainnya di Hongkong saat itu.
Setelah beberapa negara menolak untuk memberikan suaka kepada Tan Malaka, akhirnya Tan memilih Shanghai yang telah menahannya selama 45 hari. Tan Malaka tidak memilih kapal yang pelayarannya langsung ke Shanghai, karena khawatir ada polisi akan menunggu kedatangannya disana.
Tan memilih kapal yang jalur pelayarannya singgah dahulu di beberapa kota seperti Swatow (Shantou), Amoy (Xiamen) dan Foochow (Fuzhou) dalam pelayaran ke Shanghai. Di Swatow, Tan turun bersama kawannya yang dikenal diatas kapal dan disambut oleh sekretaris politik kota yang erat hubungannya dengan tentara ke-19 (tentara yang melawan Jepang di Sahnghai) dan rupanya sudah mengenal Tan Malaka sebelumnya
Akhirnya Tan Malaka dibawa ke Amoy yang sudah dikenal sebelumnya pada tahun 1928. Di Amoy Tan mencari kawan lamanya yaitu Tan Ching-hua alias Ka-it, lalu ia membawa Tan untuk tinggal didesa tempat kelahirannya di desa Iwe, dekat Sion-Ching. Disini Tan Malaka berjumpa dengan seorang keluarga Ka-it bernama Tan Tien-djin yang baru datang dari Manila dan menjadi sahabatnya.Di desa Iwe ini Tan jatuh sakit, tetapi kemudian berangsur pulih berkat perawatan seorang shinse dan para wanita didesa itu. Ketika melepaskan keberangkatan Tan Malaka, penduduk desa itu mengatakan bahwa Tan setiap waktu dapat kembali dan menetap di Iwe (Poeze, Pergulatan hal. 214).
Tan Malaka menetap di Tiongkok sampai tahun 1937, dan hubungannya dengan Indonesia dan komintern juga berhenti, pekerjaannya sebagai wartawan untuk suratkabar di Filipina juga berakhir setelah pengusiran dari Hongkong tersebut. Selama lima tahun disana, Tan Malaka mengembara ke beberapa pedalaman Tiongkok di sekitar Amoy (Xiamen), propinsi Fujian dan Guangdong.Disebutkan juga oleh Poeze, bahwa ratusan orang pelarian (politik) seperti Tan Malaka mendapatkan pekerjaan dan simpati di Tiongkok, yang dapat melupakan sebagian penderitaan akibat kehilangan negara, pekerjaan, handai tolan dan keluarga (Poeze, Pergulatan hal 216).
Partainya Tan Malaka, PARI (Partai Republik Indonesia) juga menyokong Tiongkok melawan agresi Jepang seperti yang dilakukan oleh rekan partai Tan Malaka bernama Joesoef yang berpidato di depan ratusan orang di Shanghai, Tientsin dan Nanking pada tahun 1936 yang mengutuk agresi Jepang (Poeze, pergulatan hal. 257).Pada akhir tahun 1936 Tan Malaka pergi ke Amoy. Ia merasa cukup sehat untuk hidup di kota. Ia memerlukan sumber pendapatan, uangnya sudah habis. Tan Malaka melihat suatu kemungkinan yang terbuka baginya untuk mengajar bahasa Inggris, ia juga dapat mengajar bahasa Jerman, Belanda dan Melayu jika diperlukan.
Dengan bantuan kawan lamanya Ka-it ( Tan Ching-hua), Tan mendirikan ” Sekolah Bahasa Asing” di Amoy yang terletak di kawasan yang tenang di Ku-Cheng-Loo, jalan Sun Yat Sen dan sekolahnya saat itu adalah yang terbesar di Amoy (Xiamen). Sekolah Tan Malaka itu banyak menarik peminatnya, dan baru saja berjalan satu bulan sudah kehabisan bangku sehingga harus memesannya lagi lebih banyak.Dalam memberikan pelajaran, Tan Malaka juga banyak menyinggung soal- soal politik dan filsafat. Tan mendapat kepercayaan dari murid- muridnya dan tampaknya Tan Malaka tanpa banyak kesulitan dapat memperoleh tempat yang baik dalam masyarakat Tiongkok (hal 218).Tetapi Jepang pada bulan Agustus 1937 menyerang Amoy. Murid-murid Tan Malaka melarikan diri ke pedalaman. Tan minta bantuan kawan lamanya Ka-it. Kawannya Ka-it itu menghadapkan Tan Malaka pada satu pilihan: ke selatan atau pedalaman.
SEKALI LAGI MENGUNGSI
Tan Malaka memilih Rangoon. Ka-it akan mengurus paspor dan ticketnya. Sekali lagi Tan Malaka harus meninggalkan kehidupan yang agak aman dan terjamin. Kali ini ia meninggalkan Tiongkok untuk selamanya yang merupakan salah satu stasiun perjalanan dan persinggahan hidupnya Tan Malaka.
Pada tanggal 31 Agustus ia berangkat menuju Rangoon. Di Rangoon (Birma / Myanmar), Tan Malaka hanya tinggal sebulan lebih, lalu melanjutkan perjalanannya ke Singapura. Di Singapura awalnya diliputi perasaan putus asa karena uangnya hampir habis dan belum mendapatkan pekerjaan. Tetapi terjadi suatu kejutan, Tan bertemu dengan seorang yang ia namakan Bima, yang pernah dikenalnya ketika tinggal di pedalaman Tiongkok pada tahun 1927.Melalui Bima ini Tan Malaka diperkenalkan ke sebuah sekolah dasar Tionghoa. Selama dua tahun Tan mengajar di sekolah dasar Tionghoa tersebut, kemudian ia meninggalkannya lalu bekerja di suatu sekolah menengah.
Pada tahun 1941 ia diangkat menjadi guru bahasa Inggris di Nanyang Chinese Normal School dengan memakai nama samaran Tan Ho Seng. Atas permintaan muridnya, Tan Malaka juga memberikan pelajaran ilmu pasti. Juga di sekolah ini ia cepat mengumpulkan sekelompok murid di sekitarnya. Seorang rekan kerja Tan Malaka di Nanyang Chinese Normal School bernama Ba Ren pernah menulis dalam sebuah artikel yang berjudul “The Youth Movement in Indonesia ” (1947), ia menceritakan tentang kegiatan Tan Malaka dan hubungannya dengan Tiongkok serta peranannya dalam revolusi di Indonesia. Ba Ren juga menulis tentang hubungan pergerakan revolusioner di Tiongkok dan Indonesia yang dirintis melalui Tan Malaka.
Ba Ren banyak menulis artikel yang melaporkan tentang revolusi di Indonesia kepada komunitas Tionghoa yang diterbitkan pada beberapa surat kabar di Hongkong, Shanghai, Sumatera dan Singapura. Ba Ren dalam tulisannya menyerukan kepada komunitas Tionghoa untuk menyokong revolusi Indonesia. Selain itu Ba Ren juga pernah menerbitkan sebuah buku di Shanghai tentang perjuangan anti kolonialisme dan imperialisme di Indonesia. Karena tulisan-tulisannya itu Ba Ren ditangkap Belanda dan diusir dari Indonesia.( “Hometown is Fatherland”: Nanyang Chinese Searching for New Indetity in Malaya and Indonesia, 1945-1949, Tsung-Rong Edwin Yang, The Australian National University, 2001
KEMBALI KE INDONESIA : “Madilog, Materialisme, Dialektika, Logika”.
Selama lima tahun di Singapura Tan Malaka melulu hidup dalam masyarakat Tionghoa, karena hubungan dengan masyarakat Melayu dapat menarik perhatian terhadap dirinya, hingga akhirnya berhasil menempatkan diri di luar perhatian reserse di Singapura. Sekalipun Tan Malaka telah menemukan tempat yang baik di Singapura, ancaman
Jepang menjadi semakin besar. Politik ekspansi Jepang sekali lagi mempengaruhi keamanan Tan Malaka.Setelah Belanda meyerah kepada Jepang pada bulan Maret 1942, Tan Malaka memutuskan untuk kembali ke Indonesia sesudah 20 tahun hidup sebagai pelarian politik di luar negeri. Ketika Tan Malaka meninggalkan Indonesia tahun 1922, ia masih berumur 25 tahun dan ketika kembali lagi ia berusia 45 tahun.Melalui Penang, Tan Malaka kembali ke Indonesia tahun 1942 menuju Sumatra dan setelah mampir di beberapa kota di Sumatra ia lalu ke Jakarta dan kemudian banyak melakukan perjalanan mengunjungi beberapa tempat di Jawa untuk mengetahui situasi masyarakat yang telah lama ia tinggalkan.
Pada tahun 1942-1943 Tan Malaka menulis sebuah buku yang dianggap sebagai buku yang terpenting yang pernah ditulisnya yaitu “Madilog, Materialisme, Dialektika, Logika”. Buku Madilog ini merupakan hasil pemikiran terbaik dari Tan Malaka. Disitu terkandung esensi pemikirannya tentang bangsa dan tanah airnya, sebuah konsep tentang cara atau pola berpikir baru yang dianggap perlu dimiliki oleh bangsanya untuk memerdekakan dan sekaligus memperbarui dan membangun diri.
Pada tahun 1945 Tan Malaka baru muncul kepermukaan dengan menggunakana nama sebenarnya dan pernah dikabarkan juga , beberapa tokoh pemuda yang menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok ada hubungan dan kaitan dengan Tan Malaka. Soekarno-Hatta diculik ke Rengasdengklok dan disembunyikan di rumah Djiauw Kie Sieng untuk didesak segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Tan Malaka mempunyai garis politik sendiri yang radikal jika dibandingkan dengan pemimpin gerakan lainnya, ia menentang usaha jalur diplomasi perundingan yang dilakukan oleh kabinet Syahrir yang dianggap sebagai sebuah kompromi dengan Belanda. Pada Januari 1946 Tan Malaka mendirikan Persatuan Perjuangan (PP). PP adalah
kelompok politik yang menentang perundingan Indonesia-Belanda dengan dasar perjuangan “Minimum Program” yang menuntut kemerdekaan penuh Indonesia.
Tetapi tak lama kemudian pada bulan Maret 1946 Tan Malaka bersama dengan pimpinan Persatuan Perjuangan lainnya ditangkap dan dipenjara oleh pemerintahan Syharir tanpa proses pengadilan. Tan ditangkap karena dianggap melawan kebijaksanaan pemerintah dan baru kemudian pada bulan Agustus 1948 (sesudah dua setengah tahun ditahan) Tan Malaka dibebaskan kembali, karena tidak ada bukti keterlibatannya. Selama dipenjara Tan Malaka menulis sebuah buku biografinya sendiri yang berjudul “Dari Penjara ke Penjara”, di buku itu Tan juga menceritakan pengalaman-pengalaman hidupnya di Tiongkok.
Pada bulan November 1948 Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA di Yogyakarta dan ketika Belanda merebut Jogya pada bulan Desember 1948, Tan Malaka melarikan diri pergi ke Jawa Timur bergabung dengan sekelompok gerilyawan yang beroperasi disana yang pendirian politiknya tidak sama dengan republik.Pada bulan Februari 1949, Tan Malaka, seorang revolusioner dan salah satu putra terbaik bangsa akhirnya menemui ajalnya secara tragis, ia ditangkap dan dieksekusi mati disebuah desa dekat Kediri, Jawa Timur oleh Letda Soekotjo atas perintah atasannya dari Batalion Sikatan, Divisi Brawijaya dan bukan oleh pasukan Belanda. Dan mungkin nasib tragis Tan Malaka inilah yang dinamakan “revolusi memakan anaknya sendiri” (Revolution devour its own children).
Misteri kematian Tan Malaka yang menyelimutinya lebih dari setengah abad ini akhirnya diungkap oleh Harry A. Poeze berdasarkan penilitiannya yang dituangkan dalam buku terbarunya itu.
Golden Horde
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua