Spoiler Warning !!
Budaya-Tionghoa.Net | Film “The Last Supper” karya sutradara Lu Chuan (Kekexili – 2004 ; Nanjing Nanjing – 2009) merupakan film yang baik. Penulis scenario secara tepat menganalisa sisi psikologi para tokoh kunci dalam salah satu periode sejarah paling menentukan dalam sejarah Tiongkok dan dituangkan dalam sebuah kisah yang difiksikan dengan penuh artistik dan puitis.
Film ini bergaya flashback dalam sudut pandang Liu Bang yang sudah berusia 60an tahun. Liu Bang merenungkan setiap perjalanan penting dalam kehidupannya dimasa lampau sampai akhirnya mendirikan dinasti Han. Bagaimana kejayaan puncakpun tidak bisa menghilangkan kecemasan dalam dirinya dan munculnya paranoid bahwa ada yang berusaha membunuhnya.
Memang benar bahwa tema utama film tersebut adalah sejarah ditulis oleh pemenang; dan bahwa memang ada “chance of luck” dalam kehidupan seseorang. Bagaimana Liu Bang yang memang dulunya cuma seorang preman , kemudian jadi pejabat kecil dan berhasil menjadi pendiri sebuah dinasti. Bagaimana dia awalnya cuma berupaya untuk “survive” , tapi keadaan memaksa hidupnya untuk mengambil jalur lain
Andai saja Xiang Yu (Daniel Wu) tidak terlalu menekan Liu Bang (Liu Ye), barangkali dia akan berada dizona nyaman menjadi bawahan. Justru karena Xiang Yu merasa terancam, ancaman itu akhirnya menjadi kenyataan dan Xiang Yu dari awalan yang baik mengalami akhir yang tragis.
Dalam kisah flm di atas, Han Xin (Chang Chen) diceritakan terkesan oleh Liu Bang yang begitu murah hati memberikan makanan ketika dia masih terlunta-lunta. Satu peristiwa kecil yang Liu Bang sendiri (dalam film itu) tidak bisa mengingatnya kembali
Film “The Last Supper” seperti sebuah embun di kala musim kemarau. Di masa film-film Tionghoa sekarang cenderung amburadul dan meniru ide-ide dalam trilogi Tolkien. Munculnya film ini yang kembali ke tradisi menganalisa psikologi para tokoh sejarah. Dari sisi kostum dan setting film juga terkesan tidak begitu glamour dan lebih mendekati realitas jaman tersebut.
Hanya ada sisi yang patut disayangkan dari film ini, yaitu mengenai psikologi Lv Hou (Qin Lan) kurang begitu didalami dan mungkin karena keterbatasan akan durasi tayang film yang terbatas dibandingkan serial drama. Film ini juga menunjukkan bahwa penulis skenario menguasai teori akan “afterlife” dalam pandangan budaya Tionghua. Di mana Liu Bang setelah mangkat diperlihatkan masih gentayangan dan terus paranoid
Tokoh Zhang Liang (Qi Dao) dalam film ini digambarkan lebih realistis; di mana sebenarnya dia bukan mundur sama sekali seperti yang ada dalam konsensus sejarah mainstream, di mana Zhang Liang seolah menjadi contoh legendaris seorang “yang tahu diri” untuk mengundurkan diri ditengah masa kejayaan. Penggambaran dalam film di atas lebih mendekati rasio manusia biasa , bahwa Zhang Liang hanya seorang manusia dan mungkin gambaran di film ini lebih mendekati realitas sebenarnya
Sebagaimana Lv Hou , sisi psikologi Xiang Yu juga kurang didalami . Kalau menurut analisa saya , Xiang Yu terlalu percaya diri dan menganggap remeh Liu Bang dan karena memang faktor keberhasilan Liu Bang adalah faktor tunggal seperti bakat “Han Xin”. Tanpa Han Xin, Liu Bang tidak akan pernah bisa mengalahkan Xiang Yu. Sebenarnya opsi-opsi yang diambil Xiang Yu dengan membunuh ratusan ribu prajurit Qin beserta keluarga mereka, sudah membuat rakyat tidak lagi menaruh kepercayaan kepada keluarga Xiang . Dan suara rakyat adalah Tian Ming
Satu lagi poin menarik adalah penulis skenario secara tepat dalam menyusun cerita dalam film bahwa sebenarnya dinasti Han adalah kelanjutan dari dinasti Qin. Perbedaannya hanya hukuman-hukuman kapital ala Qin tidak begitu intens dimasa Han. Walau demikian hukuman-hukuman mati yang keras masih dijalankan dimasa Chu-Han. Dalam film di atas, Ying Ziying (Lu Yulai) sengaja memberikan tour kepada Liu Bang untuk menunjukkan keagungan visi dan misi Qin akan persatuan wilayah dan budaya dalam wilayah Tiongkok pada saat itu. Hal tersebut bertentangan dengan Xiang Yu yang prinsipnya berkehendak “agar setiap orang bisa menulis sejarah mereka masing-masing, dengan huruf mereka sendiri, dan naik di atas kereta mereka sendiri “
Dalam film ini kita bisa saksikan juga bahwa sebenarnya Xiang Yu (atau Chu) juga sama sadisnya dengan Qin . Ketika Xiangyu mengeksekusi Ziying , kaisar terakhir Qin , yang pertama dilakukan adalah menghantam persendiannnya dengan palu besar sampai hancur . Dalam keadaan setengah mati tapi masih sadar mantan kaisar yang naas ini dibawa ke meja eksekusi, dan perutnya dibelah dalam keadaan hidup. Kemudian ususnya diburai dan dicincang dan baru kemudian tubuhnya dimutilasi dan akhirnya kepalanya dipenggal.
Penokohan tokoh penting lain seperti Xiao He ( juga diperankan dengan baik. Masalah pertemanannya dengan Han Xin berbeda dengan kisah opera di mana kisah opera mendeskripsikan hubungan Xiao He (Sha Yi) dan Han Xin sebagai “berhasil karena Xiao He, hancur gagal juga karena Xiao He”. Kekurangan lain dari film ini sebenarnya kurang memperhatikan unsur kisah opera. Misalnya mengenai awal mula Han Xin bergabung dengan Liu Bang. Dia juga mengalami hal yang sama ketika bergabung dengan Xiang Yu, yaitu “diremehkan”. Ketika Han Xin putus asa dan pergi meninggalkan Liu Bang, adalah Xiao He yang mengejarnya kembali di bawah sinar purnama; ini salah satu kisah opera yang populer, “Xiao He mengejar Han Xin di bawah sinar rembulan”
Xiang Yu dan para penasihatnya sebenarnya juga tidak terlalu pintar dalam strategi. Sunggu keputusan yang aneh dengan memberikan daerah Ba Shu kepada Liu Bang, di mana sebenarnya negara Qin sendiri dimasa sebelumnya bisa mencapai sukses menjadi negara terkuat dimasa zhanguo karena daerah Ba Shu adalah pemasok utama pangan yang ditunjang oleh sistem irigasi Dujiangyan. Faktor surplus pangan yang memungkinkan Qin menaklukkan enam negara lain. Medannya bukan persoalan sulit, tetapi akses keluarnya yang relatif mudah dijaga, jadi akses keluar dari Bashu itu ada chokepoint yang bisa dijaga dengan relatif mudah. Itu sebabnya Liu Bang kemudian memutar balik lewat jalan lama yang dibangun ulang diam-diam.
Kisah Ziying sebenarnya diliputi misteri. Kalau dianalisa dari data-data Shiji di mana dikatakan bahwa Ziying berkonsultasi dengan kedua anaknya. Jikalau dianalisa bahwa kalau benar Ziying adalah anak dari Fusu, maka kedua anaknya harusnya masih balita dan tidak mungkin diajak berkonsultasi. Maka menurut analisa ini adalah lebih mungkin bahwa Ziying adalah kerabat dari Shihuangdi, atau mungkin saudara tirinya, dus adalah paman dari Huhai (Erhuangdi) ; berlainan dengan cerita rakyat selama ini yang beranggapan Ziying adalah anak dari Fusu
Analisa di atas mengenai Ziying murni berdasarkan catatan Shiji, bahwa Sima Qian tidak pernah mencantumkan umur spesifik dari Ziying, juga tidak menyebut bahwa Ziying adalah anak dari Fusu. Satu lagi alasan Ziying sebenarnya jauh lebih tua dari cerita rakyat. Adalah ketika Qin Erhuang menghukum mati Meng Tian dan Meng Yi , dan Ziying adalah satu-satunya pejabat yang berani membela , akan tetapi dia tidak dihukum karena ia sebenarnya lebih senior dari Erhuangdi dalam silsilah keluarga Qin. Adalah tidak mungkin Erhuangdi menghukum pamannya sendiri hanya karena membela dua orang pejabat (satu jendral, satu lagi menteri)
Daerah basis Xiang Yu yaitu di Jiangdong yang sebenarnya juga basis pangan. Mungkin kalau Xiangyu bisa menerima kekalahan untuk kembali ke Jiangdong membangun kembali kekuatan maka perjalanan sejarah bisa lain.
Sayangnya dia adalah seorang bangsawan, seorang ksatria yang sejak kecil dididik untuk tinggi hati dan berkemampuan tinggi. Bahwa dari kasus Xiang Yu kita bisa menarik kesimpulan, orang yang tidak pernah bangkit dari kekalahan, sebenarnya bukanlah orang yang pernah menang , terlebih dalam konflik antara Chu-Han. Sebuah episode dalam sejarah Tiongkok yang meletakkan dasar bagi persatuan budaya Tionghoa itu sendiri.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa