Budaya-Tionghoa.Net | Sampai sekarang saya tidak bisa mendapat penjelasan kenapa ia dipanggil seperti itu. Tetangga-tetangga kami di kampung memanggilnya Bah Gendhot. Namanya Kwee Sin Hwat. Mungkin karena sulitnya lidah Jawa mengucapkan Sin Hwat, akhirnya Gendhotlah yang menjadi nama popularnya. Tetangga-tetangga kampung kami bahkan tidak tahu bahwa ia mempunyai nama Indonesia, tepatnya nama Jawa. Sebagai seorang keturunan Cina, ia wajib mengganti namanya. Ia memilih SUWITO sebagai nama Indonesianya, tepatnya nama Jawanya. Ia pilih nama itu karena ia merasa bahwa ia sedang nyuwita kepada bangsa Indonesia, tepatnya orang Jawa. Sampai mati, ia masih merasa sebagai orang Cina.
Emak saya bernama See Seneng Nio. Saya sendiri juga tidak mengerti kenapa namanya Seneng Nio. See jelas adalah nama marga (she). Nio, adalah nama umum bagi perempuan Cina di Indonesia, seperti yem, atau nem, atau Sri dalam nama Jawa. Tapi Seneng? Apakah ada kata Seneng dalam Bahasa Cina? Apakah itu diambil saja dari bahasa Jawa yang artinya senang? Jika Seneng memang diambil dari Bahasa Jawa, mengapa ketika ganti nama ia memilih nama SUMINAH? Mamah saya menjelaskan bahwa arti kata Suminah adalah hati yang baik. Saya memprotesnya. Bukankah dalam Bahasa Jawa hati adalah MANAH? Bukan Minah? Mamah saya mengatakan bahwa Minah lebih indah diucapkan daripada SUMANAH. Terserahlah.
Ataukah karena Emak merupakan golongan BABAH, dimana ada darah Jawa yang mengalir di dalamnya? Setahu saya adalah biasa bagi golongan babah mengambil nama Jawa atau Melayu sebagai nama tengahnya. Saudara emakku pun memakai nama seperti itu, See Bibit Nio, See Sugih Hien. Namun ketika mereka harus berganti nama, mereka tetap memilih nama yang lain sama sekali dari nama tengah yang sudah Indonesia, atau tepatnya Jawa tersebut. Seperti golongan babah lainnya, emak saya, demikian juga dengan mamah saya mempunyai payudara yang besar. Payudara itu pasti mengalir bersama darah perempuan Jawa yang mendorong daging yang menonjol di dada emak dan mamah saya. Bentuk payudara yang besar ini berbeda dengan para perempuan Cina yang tidak mempunyai darah Jawa, Singkhe. Para singkhe kebanyakan memiliki payudara tipis.
Emak dan Engkong menikah ketika mereka belum pernah saling bertemu. Mereka dijodohkan antar keluarga. Engkongku berumur 26 tahun, sedang Emak berumur 16 tahun ketika mereka menikah. Enam dari 13 anak yang mereka lahirkan hidup sampai tua. Mamahku adalah anak bungsu mereka.
Keluarga kami adalah satu-satunya keluarga Cina yang tinggal di desa kami. Walaupun saat ini, kami pun telah pindah ke Kota. Mamah dan Papahku telah ikut pindah ke Kotaku. Mereka pindah 5 tahun yang lalu. Kepindahan mereka disebabkan karena tidak ada lagi anak-anak yang menemani mereka, sementara hanya mereka berdua yang meninggali rumah luas keluarga kami. Dan, hanya mereka berdualah Cina terakhir di desa kami.
Inilah cerita Mamahku tentang mengapa keluarga kami menjadi satu-satunya keluarga Cina yang tinggal di desa kami. “Engkongmu dulu tinggal di Wirosari. Kongcomu seorang babah. Namanya Kwee Cilik Hian. Walapun Mamah belum pernah bertemu, tapi cerita dari Engkongmu, Kongco memang orangnya pendek. Seperti Engkongmu juga pendek. Itulah sebabnya kamu juga pendek. Engkongmu adalah anak nomor dua. Saudara-saudaranya adalah sebagai berikut: Kwee Sin Pun, Engkongmu Kwee Sin Hwat, Kwee Sin Jiang, dan yang terakhir adalah perempuan Kwee Gwat Nio.”
Berbeda dengan Kong Pun dan Kong Jiang, Engkong tidaklah terlalu suka berdagang. Kong Pun punya usaha dagang palawija dan hasil bumi di Kuwu2. Sedangkan Kong Jiang mempunyai usaha yang sama di Kunduran3. Ia lebih suka memelihara burung, mencari keris dan kesenangan lainnya. Itulah sebabnya ia tidak terlalu sukses seperti Koko dan Tetenya. Namun toh ia berdagang juga. Pada awalnya ia membantu Kong Pun untuk membeli lombok dan hasil bumi lainnya dari petani di desa-desa dekat hutan. Ia biasanya pergi pagi-pagi, bersama dengan kuli pembawa dacin dan karung, berjalan kaki sepanjang 4 km untuk menghadang para petani dari desa-desa di balik hutan yang memikul lombok untuk dijualnya di pasar. Ia menghadangnya di tepi hutan, bersamaan dengan terbitnya matahari.
Sering kali ia sudah di sana sebelum matahari terbit. Dengan mencegat petani di pinggir hutan, maka ia akan mendapatkan harga yang lebih murah. Sebab petani belum tahu berapa harga di pasar pada hari itu. Dan lagi petani-petani itu tak perlu memikul lomboknya sampai berkilo-kilo. Ia sangat menyukai pekerjaan itu. Selain bisa mendapatkan selisih harga, ia juga bisa meluangkan waktu untuk mencari burung di hutan ketika sudah tidak ada lagi petani yang lewat membawa hasil bumi untuk dijual. Kadang-kadang ia juga memesan kepada petani untuk dicarikan burung supaya bisa ia beli.
Suatu hari ia kehilangan dua karung jagung di tepi hutan. Setelah selesai membeli jagung dari petani-petani yang memikulnya dari desa-desa balik hutan, ia meletakkan karungkarung yang sudah penuh jagung tersebut di tepi hutan. Ia meminta kepada kuli – namanya Damin- untuk menjaga karung-karung tersebut, sementara ia pergi ke hutan untuk mencari perkutut. Ketika ia kembali, didapatinya Damin sedang tidur mendengkur. Karung-karung jagung telah berkurang dua jumlahnya.
Sejak itu Kong Pun tidak mempercayainya lagi untuk membantunya membeli hasil bumi di tepi hutan dari petani-petani yang memikul hasil buminya dari desa-desa di balik hutan. Dan iapun diusir dari rumah Kokonya itu.
Sejak saat itu ia memilih untuk magersari4 di pekarangan rumah Kamituwo di tepi hutan. Ia tetap membeli lombok dan hasil bumi yang dipikul oleh petani-petani dari desa-desa di balik hutan. Walaupun jumlahnya tidak sebanyak ketika ia membantu Kong Pun. Ia setorkan lombok dan hasil bumi yang ia beli dari petani-petani yang memikulnya dari desa-desa di balik hutan kepada Kong Diam Hien, saingan Kong Pun di Kuwu.
Suatu hari dibelinyalah lampu petromax di pasar Kuwu. Lampu itu begitu terangnya menyinari rumah bambu yang dibangunnya di pekarangan kamituwo. Pada malam saat ia memasang lampu petromax, lebih dari 20 orang datang untuk menyaksikannya. Mereka datang bukan hanya dari sekitar tepi hutan, tapi juga dari desa-desa di balik hutan. Beberapa dari mereka menginap, atau tepatnya begadang sampai pagi, menyaksikan betapa hebatnya petromax tersebut.
Suatu hari dilihatnya keris kamituwo. Sebilah keris luk lima dengan hiasan kepala naga di pangkalnya. Keris Nagakikik. Ditawarinya kamituwo untuk menukar keris tersebut dengan lampu petromax. Sejak saat itu ada dua lampu petromax di tepi hutan. Satu adalah lampu petromax kamituwo dari hasil pertukaran dengan keris Nagakikik, dan satunya adalah petromax Engkongku yang dibeli baru dari pasar Kuwu. Melihat betapa terangnya rumah yang disinari lampu petromax, banyaklah petani yang memesannya kepada engkongku untuk dibelikan. Mulai saat itu, ia berbisnis lampu petromax sekaligus peralatannya dan tentu saja minyak tanah.
Tak berapa lama mulailah ada masalah dengan petromax-petromax tersebut. Para petani dari desa-desa di balik hutan meminta Engkong untuk membantu membetulkannya. Tentu saja ia tidak bisa. Petromax-petromax yang rusak itu ia bawa ke Kuwu. Ke toko petromax. Di sanalah ia melihat bagaimana orang-orang di toko tersebut membetulkan petromax. Diamatinya berkali-kali. Setelah beberapa kali pergi mengirimkan petromax rusak ke Kuwu, engkong mulai mencoba membetulkan petromax yang rusak. Mula-mula petromaxnya sendiri. Berhasil. Kemudian dicobanya beberapa petromax milik petani yang tinggal di desa-desa di balik hutan. Berhasil pula. Mulai saat itu engkong dikenal sebagai toekang bikin betoel petromax. “Jika punya masalah dengan petromax, carilah Bah Gendhot.” Kata para petani yang tinggal di desa-desa di balik hutan.
Dari keuntungan berdagang petromax, peralatannya dan minyak tanah, serta uang jasa memperbaiki petromax, dia bisa membeli tanah dan membangun rumah jati di dekat setasiun kereta api. Tepatnya di sebelah selatan setasiun kereta. Kini ia tidak lagi tinggal di tepi hutan, magersari di pekarangan kamituwo. Dibukanya toko kelontong. Di depan toko, disamping rumah, di ruang makan, di dapur, tergantung berpuluh-puluh sangkar perkutut. Di samping rumah kami, yang dulunya adalah rumah engkong, masih berdiri pagupon, rumah untuk burung merpati. Tanah yang dibelinya cukup luas. Ditanamnyalah juwawut dan dali. Dengan demikian ia tak perlu pergi jauh untuk mencari pakan bagi perkutunya.
Mula-mula Emakku membantunya berjualan di toko. Emak adalah orang yang paling pandai membuat kue-kue. Sebelum menikah dengan Engkong, ia bertugas untuk memasak kue-kue yang dijual oleh keluarganya di Setasiun Wirosari. Sambil menjaga toko, dibuatnya kue-kue. Dijajakannya kue-kue tersebut di toko engkong. Mulanya toko itu sangat ramai. Sebab hanya toko engkonglah yang ada di desa tersebut. Toko yang lain berada di Kuwu. Namun, setelah pasar di sebelah barat setasiun kereta dibangun, mulailah banyak toko yang muncul. Toko-toko tersebut ada yang dimiliki oleh orangorang Cina yang pindah dari Kuwu dan Wirosari, namun ada juga yang dimiliki oleh keluarga Pak Haji Nur Rahmad. Setidaknya ada tiga toko yang dimiliki oleh keluarga Pak Haji Nur Rahmad.
Sejak itu toko engkong tidak seramai dulu. Namun engkong tetap satusatunya orang yang bisa membetulkan petromax yang rusak. Karena kondisi toko yang makin sepi, emak kemudian berdagang di pasar. Dibawanya beberapa barang kelontong dari toko engkong untuk dijual ke pasar. Tak lupa dibuatnya juga kue-kue untuk dijajakan di pasar. Setiap siang, ia menghitung berapa barang yang laku, dan membayarnya kepada engkong. Tentu saja dengan selisih harga. Hal ini juga saya tidak bisa mengerti, mengapa diantara suami istri bisa terjadi transaksi dagang.
Pada zaman Jepang, semua Cina yang tinggal di desa harus pindah ke kota kecamatan atau kota kawedanan. Bersiap-siaplah engkong, emak dan keenam anaknya. Termasuk mamah saya. Mamah saya saat itu baru berumur 5 tahun. Dikemasinya semua dagangan di toko. Semua dikemas dalam keranjang-keranjang bambu. Engkong duduk di kursi bambu di samping rumah. Ia termenung. Dipandanginya sangkar-sangkar perkutut yang masih menggantung di tiang bambu. Perkutut-perkutut itu tampaknya tidak tahu kalau sebentar lagi mereka akan pergi. Perkutut itu tetap saja melengkingkan suaranya. Manggung. Dan engkong termenung memandanginya. Kini tinggal menunggu dokar yang akan mengangkat semua barang tersebut. Rencananya mereka akan pindah untuk sementara di rumah Kong Pun. Tiba-tiba terjadi ribut di depan toko yang sudah tutup. Pintu toko digedor-gedor.
“Bah Gendhot, Bah Gendhot. Tolong buka tokonya.”
Suara orang menyeru-nyeru ditimpahi oleh gedoran pada pintu. “Siapa di luar?” Tanya emak saya, sambil menggendong mamah saya yang mulai menangis ketakutan.
“Saya Bayan Supar Nyah Dhe. Tolong buka pintunya.” “Ada apa Kang Bayan?” Tanya engkong sambil membukakan pintu toko. Bayan Supar berdiri di depan pintu.
Bersama Bayan Supar berdiri pula sekitar 20 petani yang tinggal di desa-desa di balik hutan. Kamituwo juga berdiri di sana. “Bah. Sebaiknya Bah Gendhot tidak pergi.” Kata Bayan Supar. “Betul Bah.” Sambung beberapa petani dari desa-desa di balik hutan yang ikut berdiri di belakang Bayan Supar.
“Kenapa kami tidak boleh pergi?” Tanya Engkong. “Kami butuh orang yang bisa membetulkan lampu petromax kami jika rusak.” “Kalian kan bisa membawanya ke Kuwu?” “Tidak. Bah Gendhot adalah orang yang kami percaya untuk membantu kami membetulkan petromax. Lagi pula di Kuwu kami harus membayar dengan uang. Di sini kami bisa membayar dengan apa saja. Perkutut, Ayam Hutan, kelapa muda, daging celeng, atau lainnya.” Kamituwo menjelaskan.
“Terus kami harus kemana? Di sini kami akan ditangkap Jepang.” emak bertanya.
“Begini Nyah Dhe. Kami akan bawa Nyah Dhe sekeluarga ke Mranggen. Ke desa dibalik hutan. Di sana Nyah Dhe dan keluarga bisa tinggal di rumah Munasir.” Bayan Supar menjelaskan.
“Betul Nyah Dhe. Nyah Dhe bisa tinggal di rumah saya.” Munasir menambahi. “Bagaimana dengan rumah ini? Bagaimana dengan perkutut-perkutut itu? Tanya engkong.
“Biarlah kami yang menjaganya.” Kata Bayan Supar. Sejak saat itu engkong sekeluarga, termasuk mamah saya mengungsi ke rumah Munasir di desa di balik hutan.
Dibukanya toko di rumah Munasir. Koko ibu saya -engku saya, secara sembunyi-sembunyi berbelanja untuk toko kecil tersebut. Namanya diubah menjadi Wahab. Nama itu memang tidak terlalu jauh dari nama Cinanya Kwee Ngo Hap.
Nama itu pula yang dipakainya ketika peraturan ganti nama diberlakukan kemudian. Dipakainya caping petani jika ia pergi untuk membeli beberapa bahan yang akan dijualnya di toko. “Mamah masih kecil waktu itu. Mamah sering menangis ingin ikut ketika Ku Hap pergi ke Kuwu. Tapi selalu saja dilarang oleh emak.”
“Dan engkong, tetap saja ia membetulkan lampu petromax untuk kamituwo dan petanipetani yang tinggal di desa-desa di balik hutan tersebut.”
“Setelah Jepang pergi, kita semua kembali ke rumah itu. Tapi rumah itu tinggal rangkanya. Papan-papannya telah hilang semuanya. Perkutut-perkutut itu entah kemana. Sangkarnya pun tidak ada lagi.”
“Nah, itulah yang menyebabkan mengapa keluarga kita tetap tinggal di desa tersebut,” kata mamah kemudian.
****
Note: cerita di bawah ini BUKAN tulisan saya. Penulisnya adalah Handoko Widagdo, seorang Peranakan Tionghoa yang tinggal di Solo, bekerja di Jakarta dan teman baik saya. Tulisan ini pernah tayang juga di Baltyra.com di http://baltyra.com/2009/07/09/engkong/ saya sharing di sini atas sepengetahuan dan seijin pak Hand.
Menurut saya, kisah-kisah pribadi seperti ini merupakan kepingan mozaic Budaya Peranakan Tionghoa di Indonesia. Semoga berkenan.
sodja,
Aji
Jakarta, 19 Oktober 2001.
—————————————
1 Wirosari adalah kota kawedanan
2 Kuwu adalah kota Kecamatan
3 Kunduran juga kota Kecamatan
4 Magersari adalah mendirikan rumah di pekarangan seseorang.
Sumber :
- http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/55245 [Aji Bromokusumo]
- http://baltyra.com/2009/07/09/engkong/