Photo Credit : Miss Chinese Tusan , Xinhua
Budaya-Tionghoa.Net |Populasi Tionghoa di Peru ternyata berada di urutan ketujuh terbesar didunia (http://www.ocac.gov.tw ) . (Table 1) Tionghoa Peru berjumlah 1.3 juta jiwa yang berarti sedikit lebih banyak dari Hoa Vietnam yang berada diperingkat kedelapan . Peru menjadi negara ketiga diaspora Tionghoa terbesar diluar Asia Tenggara pada khususnya selain Amerika Serikat dan Kanada. Bagaimana sejarah kehadiran Tionghoa di negara yang tidak begitu populer seperti Peru ?
|
Sejarah kehadiran Tionghoa di Peru dimulai dari datangnya lebih dari 100 ribu kuli Tionghoa antara tahun 1849 sampai dengan 1874. Dari sekian banyak pendatang ini hampir tidak ada wanita. Setengah dari mereka meninggal karena berbagai sebab baik dari kelelahan , usaha bunuh diri sampai masalah penganiayaan. Sensus di tahun 1876 mencatat ada 49956 Tionghoa yang terdaftar dari total populasi 2.69 juta .
Di tahun 1851 , Jose Sevilla yang mengimpor Tionghoa membawa laporan kepada Dewan Senat mengenai ketidakseimbangan gender dan menganjurkan agar kaum wanita Tionghoa juga dibawa serta . Mulai tahun 1860 segelintir wanita Tionghoa turut dibawa ke Peru. Ketidakseimbangan gender ini juga mendorong terjadinya inter-marriage antara pria Tionghoa dengan penduduk Peru terutama di kota besar ketika Tionghoa mengalami kebebasan lebih besar. Dan terlebih lagi mendorong praktek homoseksualitas dikalangan sesama pekerja Tionghoa. (Arnold Meagher , p236) Pada tahun 1876 diperkirakan 12 ribu orang Tionghoa tinggal di ibukota. Wanita setempat ini turut membantu pasangan Tionghoanya dalam menjalankan toko kecil dan aktivitas ini yang meletakkan basis bisnis pertama dikalangan Tionghoa yang sudah bebas.
Di kawasan pedesaan , pria Tionghoa sulit bergaul dengan wanita setempat , sekalipun pria-pria Tionghoa ini sudah bebas dari kontrak. Menurut Ernest Middendorf , pada masa itu pria Tionghoa di pedesaan Peru membutuhkan mak comblang untuk melangsungkan seremoni secara kolektif dimana wanita muda menikah dengan mereka (Middendorf 1993 : 262-63 : Lausent-Herrera 2006 : 294). Percampuran antara pria Tionghoa dengan orang Peru dianggap sebagai degenerasi masyarakat Peru.
Clemente Palma (1897 : 36 ) menggambarkan istilah ofensif mengenai intermarriage didalam masyarakat Peru. Palma menggambarkan pernikahan campuran itu memiliki harapan kecil untuk hidup dan penyakit bisa menghinggapi mereka. Bahkan jika wanita tidak subur , akhirnya tetap berada didarah mereka , melemahkan mereka dan membawa bencana . Persepsi seperti diatas ini menjadi ciri pada masa periode kolonial dan masih dipertahankan oleh kaum elit dimasa Republikan. Ide Clemente Palma ini kembali mencuat pada dekade 1930an dimana sentimen anti-Tionghoa menyebar luas melalui pamphlet , kekerasan sosial dan juga didukung oleh hukum.
Percampuran antara orang Spanyol dengan orang Indian maupun orang kulit hitam belum menerima denominasi khusus dan istilah “mestizo” sering ditujukan pada anak-anak yang terlahir dari pasangan orang tua seperti itu. Terlebih lagi percampuran antara orang Tionghoa yang tidak saja belum dikenakan istilah khusus melainkan juga tidak mendapat tempat. Istilah “injerto” baru muncul di awal abad 20.
Di tahun 1868 , asosiasi Tionghoa di Peru mengajukan petisi untuk meminta perlindungan dari kaisar Tiongkok . Dibulan Desember 1868 , seorang Amerika Serikat , Alvin Hovey menerima komplen dari masyarakat Tionghoa di Peru yang oleh Hovey diteruskan ke rekannya di J Ross Browne di Beijing dan Ross meneruskannya ke pemerintah Qing. Pemerintah Qing kemudian mengirim utusan untuk memeriksa situasi dan kondisi di Peru. Antara tahun 1881-1895 , sebuah grup Tionghoa didorong oleh gereja Katolik berusaha menciptakan asosiasi yang sanggup untuk melindungi seluruh Tionghoa di Peru. Kedatangan Zheng Zaoru dari kekaisaran Tiongkok mengakhiri inisiatif ini . Zheng memerintahkan pembentukan Sociedad de Beneficencia China (Tonghuy Chongkoc) dan La Beneficencia yang akan menjadi perwakilan bisnis Tionghoa.
Peru dahulu kala punya reputasi buruk dalam memperlakukan pekerja Tionghoa. Di tahun 1868 , diduga 48 pekerja Tionghoa ditandai dengan besi panas disebuah perkebunan dan menerima publisitas internasional. (Arnold Meagher , p237). Gubernur Macau untuk sementara menghentikan arus imigrasi Tionghoa ke Peru. Petisi yang dilayangkan masyarakat Tionghoa Peru kepada Kekaisaran Qing mendorong tekanan pemerintah Qing terhadap penghentian emigrasi via Macau. Tekanan ini kembali diulangi pada tahun 1871.
Akhirnya Peru dan Portugal sepakat untuk memperbaiki perlakuan terhadap pekerja Tionghoa di Peru. Hal ini memuaskan otoritas Macau dan pekerja Tionghoa kembali berbondong-bondong memasuki Peru. Di tahun 1870 , pemerintah Peru secara serius mempertimbangkan untuk mengirim satu misi ke Tiongkok untuk bernegosiasi mengenai perjanjian yang akan menjamin pekerja Tionghoa. Tetapi kondisi internal yang tidak memungkinkan membatalkan rencana tersebut. Malah terjadi satu insiden internasional ketika kapal Maria Luz dibawah pimpinan Kapten Ricardo Herrera berlayar dari Macau pada tanggap 28 Mei 1872 dengan 238 kuli Tionghoa berada dalam kapal. Cuaca buruk menyebabkan Maria Luz berlabuh di Yokohama-Jepang pada tanggal 10 Juli 1872. Pada malam 13 Juli , seorang kuli Tionghoa melompat dan diselamatkan oleh kapal Inggris , Iron Duke. (Markham , Chinese in Bondage in Peru, 152)
Kapten Herrera akhirnya dituduh memperlakukan penumpangnya dengan tidak baik dan karena insidennya terjadi di perairan Jepang maka Kapten Herrera diadili di pengadilan Jepang dan divonis dengan 100 cambukan. Tetapi karena sikon , Kapten Herrera dilepaskan dengan satu teguran keras. Penumpang Tionghoa diserahkan kepada perwakilan pemerintah Qing untuk dikembalikan ke Tiongkok.
Insiden ini mencoreng muka Peru dan Presiden Manuel Pardo mengutus Aurelio Garcia y Garcia , kapten AL Peru untuk berunding dengan pemerintah Tiongkok dan Jepang. Garcia tiba di Yokohama pada Februari 1873. Sebuah perjanjian persahabatan dan perdagangan ditandatangani pada tanggal 21 Agustus 1873. Ini merupakan perjanjian pertama yang diselenggarakan antara negara Asia Timur dengan Amerika Latin.
Selanjutnya utusan Peru menuju Tiongkok . Pemerintah Qing tidak suka melangsungkan perjanjian dengan delegasi Peru yang telah memperlakukan rakyat Tionghoa secara barbar. Tetapi melalui mediasi Inggris dan Amerika Serikat , Garcia diterima oleh Gubernur Jendral Li Hongzhang di Tianjin pada Oktober 1874. Gubernur Li menegaskan bahwa tidak ada perjanjian kecuali seluruh Tionghoa di Peru dikembalikan ke Tiongkok. Setelah dua bulan berdiskusi yang berfokus kepada perlakuan terhadap kuli Tionghoa di Peru, Garcia diterima oleh Pangeran Gong di Beijing dimana Pangeran Gong senang untuk melangsungkan hubungan perjanjian dengan Peru. Perjanjian antara Qing dan Peru akhirnya ditandatangani pada 26 Juni 1874. Salah satu pointnya adalah pemerintah Qing mengirimkan utusan ke Peru untuk melihat situasi dan kondisi para pekerja Tionghoa di Peru. Perjanjian ini diratifikasi setahun berikutnya pada 7 Agustus 1875.
Aksi Portugal untuk menutup Macau dari emigrasi membuat suplai pekerja Tionghoa tertunda di tahun 1874. Para pengusaha perkebunan di Peru mulai merasakan kesulitan. Kongres Peru memberikan subsidi tahunan untuk transportasi pekerja Tionghoa ke Peru . Peru mengontrak perusahaan Amerika Serikat , Olyphant and Co untuk melakukan perjalanan Tiongkok – Peru sebanyak 28 perjalanan dalam setahun dan membawa sekitar 500 kuli Tionghoa dalam setiap perjalanan. Tetapi reputasi Peru yang buruk membuat Olyphant & Co gagal meraih satu pekerjapun di Hong Kong atau Guangdong. Peru mulai mengalihkan tujuan mereka ke California ketika kerusuhan anti-Tionghoa menyebabkan banyak Tionghoa menjadi pengangguran. Sekitar 23 pekerja Tionghoa dibujuk ke Peru sebelum Perang Pasifik (1879-1884). Tionghoa dari California pun ternyata mengalami perlakuan buruk di Peru.
Di tahun 1909 . kekaisaran Tiongkok (Qing) menjelang akhir. Di ibukota Lima , seorang Tusheng muda , Juan Iglesias aka Chan Kaichu bekerja sebagai penerjemah bagi kedutaan Tiongkok. Dia ditunjuk untuk membantu Mentri Wu Tingfang (Duta Besar Tiongkok untuk Amerika Serikat) yang datang ke Peru untuk menandatangani Porras –Wu Tingfang Protocol yang berkaitan dengan pembatasan imigrasi Tionghoa.
Kondisi politik di Tiongkok mendorong perpecahan politik diantara Tionghoa Peru. Ada dua suratkabar didirikan , La Voz de la Colonia (Kum Yen Po / Kongyang Bao) di tahun 1910 dan Man Shing Po (Minxingbao) yang mendukung Sun Yat-sen.
Generasi baru punya pandangan politik dan praktek komersial yang lebih baik daripada generasi awal . Tetapi secara politik , mereka adalah marjinal. Untuk mempertahankan tradisi , identitas dan budaya mereka pada saat itu sangat sulit. Jalan satu-satunya adalah mengirim anak mereka ke Tiongkok dan bagi yang masih bujangan adalah membawa istri dari Tiongkok.
Politisi awal Tionghoa adalah Pedro Zulen Aymar (1889-1925) yang berdarah campuran tetapi mendevosikan pemikiran politiknya untuk meningkatkan taraf hidup orang Indian yang ketika itu menjadi masyarakat yang paling tertindas di Peru. Pedro menempuh pendidikan di sekolah menengah Peru dan masuk Universitas San Marcos. Dia membagi waktu antara karir akademis dibidang filsafat dan logika serta dedikasinya untuk orang Indian. Di tahun 1909 dia mendirikan Asociacion Pro-Indigena. Di tahun 1920-1922 Pedro studi di Universitas Harvard. Pedro juga menjadi kandidat di daerah pemilihan Jauja , Central Andes yang membuatnya menjadi politisi pertama berdarah Tionghoa di Peru. Sebelum PEMILU berlangsung Pedro ditangkap dan dipenjara atas tuduhan menjadi seorang Bolshevik dan didiskualifikasi dari pemilihan umum.
Generasi baru Tionghoa di Peru terlahir pada saat Alfredo Chang Cuan aka Chang Hongweng (1911-1992) dan sepupunya Gabriel y Leonor Acat Cuan mendirikan jurnal Oriental (Dongfang yuebao / Tonfu Yipo). Alfredo terlahir dari ayah Tionghoa dan ibu campuran Tionghoa. Di tahun 1922 , Alfredo ikut ayahnya ke Tiongkok . Di usia 19 tahun dia meninggalkan Guangdong dan kembali ke Peru dan sangat sedih dengan krisis politik yang melanda Tiongkok dan ancaman Jepang.
Alfredo bersama sepupunya , Leonor , dan bakal istrinya , Guillermina Ruiz Chong mencari sponsor untuk membiaya publikasi awalnya dimana dia memamerkan nasionalisme Tionghoa yang kuat. Jurnal ini juga melaporkan setiap peristiwa sosial yang berkaitan dengan kaum berdarah campuran Tionghoa “injerto”. Usaha Alfredo ini mengangkat semangat masyarakat Tusan . Ketika Jepang menyerbu Manchuria , konten editorial jurnal ini menjadi radikal dan sangat nasionalistik.
Jurnal kedua , New Chung Wa didirikan pada Oktober 1834 mengikuti jejak Jurnal Oriental daam usaha untuk merehabilitasi Tusan dan “Injerto” bukan dengan mengintegrasikan mereka kedalam masyarakat Peru – dimana tidak diragukan lagi mereka sudah menjadi bagian didalamnya—tetapi membuat mereka kembali kepada akarnya.
Di tahun 1939 , komunitas Tionghoa di Peru , dengan generasi yang datang antara tahun 1890-1929 sudah menjadi model kesuksesan ekonomi menjadi berhati-hati terhadap patriotisme dan politik di Peru.
Sampai meletusnya Sino-Japanese War II , Tionghoa di Peru masih mengirim wanita mereka ke Tiongkok untuk mendapat pendidikan Tionghoa karena sistem pendidikan di Peru tidak sesuai dengan harapan.
Setelah akhir Perang Dunia II di tahun 1945 dan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok di tahun 1949 membawa dampak lain bagi masyarakat Tionghoa di Peru. Hubungan anak dan orangtua terputus . Disisi lain pemerintah Peru juga cemas akan penyusupan komunis dari Tionghoa Peru yang kembali ke Peru bersama relasinya di Tiongkok yang hendak menghindar dari konflik berkepanjangan di Tiongkok.
Di tahun 1953 , Peru dikuasai diktator Jendral M Odria (1948-1956). Antara tahun 1950-1955 Tiongkok daratan menjadi tertutup. Pasca Odria , hukum baru yang berlaku hanya mengijinkan baik Tionghoa maupun Jepang untuk masuk negara Peru tidak lebih dari 150 orang pertahun. Di tahun 1965 hanya 33 Tionghoa yang masuk secara legal ke Peru. Dekade 1960an , kaum Tusan mulai melibatkan diri diluar bidang ekonomi dan masuk kancah politik seperti yang telah dirintis Pedro Zulen sebelumnya. Kaum intelektual seperti Victor Li-Carillo (1929-1998) dan Emilio Choy Ma (1915-1976) memilih untuk terjun ke dunia politik dengan studi.
Di tahun 1968 , Jendral J Velasco melaukan kudeta dan mengakhiri kebijakan neoliberal. Sebagaimana Tionghoa Kuba yang juga memilih untuk hengkang setelah Fidel Castro berkuasa , Tionghoa Peru juga dihadapkan oleh pilihan serupa apakah akan tetap tinggal atau pergi ke Amerika Serikat dan Kanada.
Photo Ilustrasi : China Town di Ibukota Peru , Lima (Barrio China de Lima) , Miguel Angel Chong
Di tahun 1980 , sejumlah Tionghoa – Cantonese memasuki Peru dan tinggal secara illegal dengan visa yang kadaluarsa yang juga dibantu oleh jaringan illegal . Jaringan ini semakin berkuasa dimasa 10 tahun kekuasaan Alberto Fujimori. Empat puluh persen dari gelombang baru migrasi ini adalah wanita dimana mereka menemukan pekerjaan di Peru. Para migrant ini setelah “bebas” kemudian mendirikan toko-toko kecil di Peru yang berkaitan dengan barang impor murah .
Yung Li
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua
Photo Ilustrasi :
REFERENSI :
Walton Look-Lai , Isabelle Lausent-Herrera , (2010) , “The Chinese in Latin America and Caribbean” , Brill
Arnold Meagher , (2008) , “Coolie Trade : The Traffic in Chinese Laborers to Latin America , 1847-1874” ,