Abstrak
Persoalan identitas adalah persoalan yang hakiki karena terkait dengan masalah positioning politik dan interaksi atau hubungan antar individu dan kelompok. Namun seringkali tidak disadari betapa pentingnya memahami hal tersebut. Positioning etnis Tionghoa terhadap negeri ‘leluhur’nya, Tiongkok, adalah suatu yang penting untuk dibicarakan, terutama karena etnis Tionghoa sudah memilih menjadi warganegara Indonesia, dan juga karena etnis Tionghoa merupakan sebuah komunitas sosial-politik, ekonomi dan budaya yang cukup besar di Indonesia, sehingga keberadaan dan perannya dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan Indonesia sangat signifikan. Oleh karena itu permasalahan identitas dan orientasi politik etnis Tionghoa selalu menjadi perhatian warga non-Tionghoa. Dalam konteks itu, pertanyaan yang menarik untuk diajukan di sini adalah bagaimana etnis Tionghoa melihat posisi politik dan budayanya yang berada di Indonesia, namun sekaligus berada di antara Indonesia dan Tiongkok?
Pendahuluan
Adalah suatu fakta yang tidak bisa dibantah bahwa, menurut sejarahnya, etnis Tionghoa berasal dari negeri Cina[1]. Oleh karena itu negeri Cina akan selalu menjadi ‘negeri leluhur’ bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Namun, adalah suatu fakta yang tidak bisa ditolak pula bahwa banyak di antara etnis Tionghoa yang semula merantau ke Indonesia memutuskan untuk menetap dan bahkan sudah hidup secara bergenerasi di Indonesia, sehingga hubungannya dengan ‘negeri leluhur’ makin lama makin menjadi jauh, terutama bagi mereka yang tidak pernah menginjakkan kaki (lagi) di negeri Cina sejak kedatangannya, ataupun sejak kelahirannya di Nusantara (Ini terutama berlaku bagi generasi kedua, ketiga dan selanjutnya). Dan hal ini diperkuat dengan kenyataan semakin banyaknya etnis Tionghoa, terutama generasi mudanya, yang sudah tidak bisa lagi berbicara bahasa Cina[2] dan tidak mengenal apa yang disebut sebagai ‘kebudayaan Cina’[3].
Setelah Indonesia menjadi sebuah negara yang merdeka pada tahun 1945, persoalan kewarganegaraan etnis Tionghoa menjadi suatu permasalahan yang mengemuka dan harus diselesaikan, sehingga sebagian dari mereka yang tidak melihat kemungkinan kembali ke negeri Cina kemudian memilih untuk menjadi warganegara Indonesia. Pilihan seperti itu juga kemudian didukung oleh pemerintah RRC yang didirikan tahun 1949 (walaupun secara tidak resmi), karena mereka ‘menganjurkan’ para Huakiao atau orang Cina perantauan[4] yang sudah hidup merantau di luar negeri agar menjadi warganegara setempat yang baik dengan mentaati ketentuan dan Undang-undang yang berlaku. Pertanyaannya adalah: Bisakah hubungan dengan ‘negeri leluhur’ menjadi terputus atau diputuskan setelah etnis Tionghoa menjadi warganegara Indonesia? (sikap skeptis warga non-Tionghoa terhadap etnis Tionghoa) Atau, pertanyaan lainnya adalah bisakah etnis Tionghoa menjadi warganegara Indonesia yang ‘setia’ ketika hubungan dengan ‘negeri leluhur’ masih selalu ada (prasangka terhadap etnis Tionghoa sebagai ‘koloni ke lima’ dari RRC/Tiongkok)?
Jawabannya tidak jelas, dan mungkin juga tidak akan pernah bisa jelas. Namun, inilah dilema politik warga Tionghoa Indonesia yang selalu mereka hadapi dari masa ke masa. Pertanyaan dan keragu-raguan tentang ’nasionalisme orang Tionghoa’ selalu muncul, tidak saja di kalangan warga non-Tionghoa[5], melainkan juga di kalangan warga Tionghoa sendiri[6]. Dilema tersebut tercermin pula dari belum tuntasnya perdebatan tentang konsep asimilasi versus integrasi sebagai ‘solusi politik’ agar etnis Tionghoa diterima sebagai bagian yang integral dari bangsa Indonesia. Perdebatan tentang kedua pendekatan tersebut telah terjadi sejak masa-masa awal kemerdekaan Indonesia, akan tetapi sampai hari ini ‘pertarungan pemikiran’ di antara kedua kubu, yang mendukung asimilasi dan yang mendukung integrasi, masih berlangsung; walau dengan intensitas yang sudah jauh berkurang karena munculnya ide multikulturalisme sebagai alternatif ketiga[7], setelah Peristiwa Tragis Mei 1998 yang oleh kalangan etnis Tionghoa disebut sebagai peristiwa anti-Cina[8] yang terburuk sepanjang sejarah keberadaan mereka di Indonesia.
Terlepas dari berbagai perdebatan dan pemikiran yang muncul berkenaan dengan posisi warga Tionghoa yang dilihat dari perspektif warga ‘pribumi Indonesia’ sebagai bersifat ambigu, yaitu ‘di Indonesia, tetapi bukan dari Indonesia’ atau ‘sebagai insider sekaligus outsider’, faktanya adalah tetap bahwa dilihat dari sejarah migrasi, etnis Tionghoa memang berada di antara Indonesia dan Tiongkok. Artinya, ada gerakan perpindahan penduduk dari Tiongkok ke Indonesia, yang secara sederhana bisa juga diinterpretasikan bahwa pada waktu yang sama ada gerakan perpindahan (kembali) penduduk dari Indonesia ke Tiongkok. Pendapat ini mengabaikan kenyataan sejarah bahwa sejak terputusnya hubungan Indonesia-Tiongkok sejak tahun 1965 sudah tidak ada arus perpindahan penduduk secara legal, baik dari Tiongkok ke Indonesia maupun sebaliknya.
Di sinilah letak permasalahannya, etnis Tionghoa adalah ‘migran’ yang datang dan menetap di Indonesia, mereka bukan ‘native’ di kepulauan Nusantara seperti orang Sunda, Minangkabau, Jawa, Batak, Ambon, Bugis, dan Papua. Oleh karena itu juga mereka tidak ‘sama’ dengan suku-suku tersebut. Etnis Tionghoa adalah ’orang asing’ yang menjadi warganegara Indonesia dengan pengesahan melalui undang-undang. Dengan demikian, posisi etnis Tionghoa yang berada di antara dua negara, Indonesia dan Tiongkok, atau mungkin lebih tepat di ‘margin Indonesia’ dan ‘margin Tiongkok’ memberikan posisi ganda bagi etnis Tionghoa. Untuk Indonesia, etnis Tionghoa adalah ‘outsider within’[9], sementara untuk Tiongkok, etnis Tionghoa adalah ‘insider without (legal rights)’. Walaupun konsep ini dipergunakan Collins untuk membahas kontribusi pemikiran akademisi perempuan kulit hitam dalam bidang sosiologi-feminisme di Amerika Serikat, akan tetapi saya pikir, konsep ini bisa kita terapkan untuk kasus warga Tionghoa di Indonesia dalam kaitannya dengan Tiongkok karena pada intinya konsep ‘outsider within’ mengacu pada masalah ‘migrasi’, ‘border crossing’, dan ‘diaspora’ atau lebih tepatnya -kalau kita memakai kata-kata Collins sendiri- mengacu pada ‘the location of people who no longer belong to any one group’ (atau lokasi orang-orang yang tidak lagi hanya berada di dalam satu kelompok tertentu saja). Menurut Collins,
“Outsiders within are able to gain access to the knowledge of the group/community which they inhabit (or visit), but are unable to either authoritatively claim that knowledge or possess the full power given to members of the group” (‘Outsider within’ bisa mendapatkan akses terhadap pengetahuan kelompok ataukomunitas dimana mereka berada atau berdiam, akan tetapi tidak mempunyai otoritas untuk mengklaim pengetahuan tersebut, atau tidak mempunyai kekuasaan penuh sebagaimana yang dimiliki oleh anggota kelompok yang bersangkutan).
Atau dengan kata lain, ada “sense of a dual (or plural) identity developed through engagement with positioning within some kind of community, as well as being excluded from a community” (ada perasaan identitas ganda atau plural yang berkembang melalui tindakan positioning di dalam suatu komunitas, atau karena dikucilkan dari sebuah komunitas). Dan definisi ini sangat tepat menggambarkan posisi etnis Tionghoa di dalam masyarakat Indonesia. Untuk Indonesia, warga Tionghoa secara politis adalah bagian yang integral dari bangsa Indonesia, sementara secara kebudayaan, ia adalah ‘orang luar’. Sebaliknya untuk Tiongkok, etnis Tionghoa secara kebudayaan adalah bagian dari masyarakat Cina[10], akan tetapi secara politis ia adalah ‘warganegara asing’. Dengan kata lain, sejak terbentuknya negara RRC(Tiongkok) dan negara-bangsa Indonesia setelah PD II, mulai ada pemisahan antara identitas budaya dan identitas politik pada diri etnis Tionghoa di Indonesia. Padahal, sebelumnya kedua identitas itu merupakan satu kesatuan. Artinya, dengan terbentuknya negara-bangsa, maka pengertian identitas etnik/ras yang semula mengacu pada satu kesatuan definisi, baik politik maupun budaya, tentang kelompok sosial menjadi ‘problematik’. Bangsa tidak lagi satu etnis, dan beberapa etnis bisa membentuk sebuah negara-bangsa. Kebudayaan tidak lagi mengacu pada kebudayaan satu etnis melainkan bisa pula merupakan hasil sinkretasi beberapa kebudayaan etnis, seperti ‘budaya Amerika’ dan ‘budaya Indonesia’.
Di sisi lain, posisi etnis Tionghoa yang unik tadi, yaitu berada di antara dua negara, atau dua margin kebudayaan dan politik, bisa dikatakan merupakan suatu keuntungan pula, karena posisi tersebut menempatkan etnis Tionghoa sekaligus sebagai bagian dari dua masyarakat atau dua negara yang berbeda, Indonesia dan Tiongkok. Etnis Tionghoa di sini menjadi ’jembatan atau pengikat hubungan’ di antara ke dua masyarakat atau dua negara tersebut. Persoalannya adalah bisakah warga Tionghoa memainkan peranan sebagai ‘jembatan atau ‘pengikat hubungan’ antar negara yang diharapkan?
Tiongkok Sebagai Negara Super Power dengan Kekuatan Ekonomi yang Besar
Saat ini Tiongkok telah berhasil menempatkan dirinya menjadi apa yang disebut Lisa Suroso sebagai ‘manufacture of the world’ atau pabrik dunia[11]. Sebagai sebuah kekuatan ekonomi, Tiongkok juga diperhitungkan dalam persaingan ekonomi di pasar dunia. Pertumbuhannya yang sangat pesat adalah yang tertinggi di dunia. Seperti dikatakan oleh Siauw Tiong Djin, banyak negara berkembang di Asia dan Afrika menoleh ke RRC untuk bantuan ekonomi, dan bantuannya di kawasan Asia meloncat dari USD 260 juta menjadi lebih dari USD 2 milyar. Bantuannya ke kawasan Afrika lebih besar lagi, sekitar USD 6 milyar, sementara transaksi perdagangannya dengan negara-negara Afrika pada tahun 2006 sudah mencapai USD 32 milyar[12].
Dalam berhubungan dengan negara lain, RRC mengambil kebijakan soft power, yaitu pendekatan ekonomi yang dikombinasikan dengan pendekatan budaya. Oleh karena itu himbauannya kepada Huakiao (Mandarin: huaqiao)atau orang Cina perantauan atau overseas Chinese[13], adalah agar mereka “menjadi warganegara yang baik di negaranya masing-masing, berperilaku taat hukum, memajukan pendidikan, membangun ekonomi, [dan] membawa harmonisasi sosial masyarakat”, akan tetapi di waktu yang sama mereka juga diharapkan agar bisa “menjadi jembatan antara Tiongkok dengan negara tempat mereka tinggal”[14].
Belum lama ini Indonesia dan RRC telah memperbaharui kesepakatan kerja sama di tiga bidang, yaitu: 1). di bidang politik, hukum dan keamanan; 2). di bidang ekonomi dan perdagangan; dan 3). di bidang sosial budaya dan pariwisata, melalui penanda-tanganan Kesepakatan Kemitraan Strategis RI-RRC oleh Presiden SBY dan Presiden Hu Jintao pada tanggal 25 April 2005[15]. Pelepasan sekitar 200 seniman warga Indonesia Tionghoa dalam rangka misi budaya ke RRC (yaitu ke kota Beijing dan kota Jinan dari tanggal 11 sampai tanggal 18 Maret 2007) pada tanggal 5 Maret 2007 adalah sebagai wujud dari kerja sama bidang kebudayaan dan sebagai kunjungan balasan terhadap rombongan Nyanyi, Tari dan Akrobat RRC yang tampil pada perayaan “Indonesia Bersatu” – 50 Tahun Kerjasama Kebudayaan RI-RRC pada tanggal 28 Februari 2007 di Pekan Raya Jakarta[16]. Sebelumnya, pada tanggal 9 Nopember 2006, telah dibuka Kantor Konsulat Jenderal (Konjen) Tiongkok di Surabaya yang dikatakan sebagai upaya “Merajut Poros Kebudayaan Surabaya – Tiongkok”[17]. Juga dikatakan bahwa peresmian kantor tersebut adalah untuk lebih mendekatkan Jawa Timur, dan Surabaya pada khususnya, dengan Tiongkok secara politik agar terjalin hubungan formal antara dua wilayah tersebut sehingga memudahkan akses bagi kedua belah pihak dalam hal ekonomi[18]. Keberadaan Konjen Tiongkok di Surabaya dianggap strategis karena Surabaya merupakan kota transit dan juga penghubung untuk bepergian ke luar negeri. Selain itu keberadaan masyarakat Tionghoa di Surabaya dan sekitarnya relatif sangat besar dan menguasai roda perekonomian daerah[19] menjadi faktor lainnya yang dipertimbangkan.
Menurut catatan Kedutaan Besar Indonesia di Beijing, RRC merupakan negara penanam modal terbesar ke 5 di Indonesia dengan nilai USD 8 milyar, dengan beberapa perusahaannya yang terkenal yaitu: Petro China, Alcatel Shanghai, ZTE Corporation dan lain-lain[20]. Perdagangan bilateral antara Indonesia dan RRC, seperti dikatakan oleh Dirjen Urusan Asia Pasifik dan Afrika Departemen Luar Negeri, Primo Alui Joelianto, pada tahun 2005 juga telah naik menjadi USD 16,79 milyar, dibanding dengan nilai volume perdagangan di tahun 1990 yang hanya USD 1 milyar[21]. Jumlah tersebut meningkat lagi pada tahun 2006 menjadi USD 19,06 milyar[22]. Oleh karena itu, dikatakan bahwa “Indonesia mengharapkan kedua negara dapat meningkatkan nilai perdagangan bilateralnya menjadi USD 30 milyar pada tahun 2010”[23]. Artinya, prospek hubungan ke dua negara dalam bidang ekonomi sangat baik dan menjanjikan.
Etnis Tionghoa dan ‘Perannya sebagai Jembatan’ antara Indonesia dan Tiongkok
Dengan semakin eratnya hubungan bilateral antara Indonesia dan RRC, memang etnis Tionghoa -sebagai kelompok yang secara politis dan budaya berada di antara ke duanya- secara teoritis (di atas kertas) bisa memainkan peranan yang cukup besar untuk memajukan hubungan kerja sama tersebut, dan peran yang bisa dimainkan oleh warga Tionghoa tidak terbatas pada bidang ekonomi & perdagangan semata, melainkan juga terkait dengan ke dua bidang lainnya sebagaimana disepakati kedua negara, yaitu bidang politik, hukum, & keamanan, dan bidang sosial-budaya dan pariwisata. Bidang yang terakhir ini, seperti telah dikemukakan di atas, sepertinya telah dimulai melalui misi budaya Indonesia ke Tiongkok dalam acara bertema ‘Indonesian Night’[24]. Dikatakan bahwa tampilnya peserta Warga Negara Indonesia (WNI) Keturunan Tionghoa yang membawa karya budaya Indonesia seperti tarian dari Aceh, tarian dan lagu dari Sumatra Utara, tari Bali, angklung dari Jawa Barat dalam acara tersebut dimaksudkan “untuk membuktikan kepada RRT bahwa telah terjadi pembauran budaya di Indonesia, dimana warga Indonesia Tionghoa mahir dan mampu menari tarian Bali, Aceh, Sumatra, dan permainan angklung Jawa Barat”[25].
Akan tetapi, kembali pada persoalan posisi etnis Tionghoa yang secara politis cenderung labil antara sebagai ‘outsider within’ bagi Indonesia dan sebagai ‘insider without’ bagi RRC, maka pada prakteknya perlu ada strategi khusus bagi warga Tionghoa dalam memposisikan dirinya vis-à-vis masing-masing negara tersebut, dan/atau di antara Indonesia dan Tiongkok. Sebagaimana dikatakan oleh Patricia Hill Collins, dalam kedudukan sebagai ‘outsider within’ ataupun sebagai ‘insider without’, pada hakekatnya warga Tionghoa tidak mempunyai otoritas untuk mengklaim pengetahuan kelompok (dalam hal ini masyarakat ‘pribumi’ Indonesia maupun masyarakat ‘Cina’ di RRC), dan tidak mempunyai kekuasaan sebagaimana yang dimiliki oleh masyarakat ‘pribumi’ Indonesia, ataupun masyarakat ‘Cina’ RRC. Artinya, peranan yang dilakukan oleh warga Tionghoa terhadap masyarakat ‘pribumi’ Indonesia maupun masyarakat ‘Cina’ RRC memerlukan pengakuan dan/atau persetujuan dari mereka. Tidak adanya pengakuan dari masyarakat ‘pribumi’ Indonesia lah yang selama ini menyulitkan bagi masyarakat Tionghoa untuk bersikap pro-aktif, dalam arti ikut menentukan arah dari hubungan bilateral tersebut. Dari contoh di atas, jelas bahwa warga Tionghoa cenderung diposisikan dan memposisikan diri sebagai ‘pelaksana’ program pemerintah Indonesia, yaitu “untuk mempromosikan Pariwisata Indonesia dan kerjasama perdagangan yaitu dengan mengundang investor Tiongkok untuk menanamkan modalnya di Indonesia”[26]. Hal ini tercermin dari pernyataan berikut ini:
“Dalam hal ini baik pihak tokoh pengusaha swasta Indonesia bersama-sama Pemerintah Indonesia semestinya saling berkomunikasi dan bersinergi untuk bersama-sama pro-aktif melakukan promosi guna menarik investor Tiongkok untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Tentunya Pemerintah Indonesia harus memperkuat komitmen dengan memberi seperangkat kebijakan yang disukai investor antara lain dengan memberikan jaminan kepastian hukum dan kemudahan dalam pengurusan perijinan serta jaminan keamanan (stabilitas politik)”[27].
Untuk meningkatkan peran warga Tionghoa, langkah pertama yang harus dilakukan oleh warga Tionghoa adalah mendapatkan dulu pengakuan tersebut melalui perwakilan atau representasi kelompoknya di dalam sistem politik dan pemerintahan lokal dan nasional Indonesia. Dan hal ini sangat tidak mudah untuk dilakukan, terutama ketika ideologi kebangsaan dan kenegaraan Indonesia masih menganut apa yang disebut oleh Leo Suryadinata sebagai ‘indigenism’[28]. Walaupun UUD’45 telah direvisi, namun pada hakekatnya paradigma berpikir ‘indigenism’ ini masih melekat erat pada para tokoh pemimpin nasional, termasuk SBY[29]. Misalnya, dalam perayaan Imlek Nasional di JCC, Senayan-Jakarta tanggal 17 Februari 2008, sebagaimana diberikan oleh Waspada Online, Senin, 18 Februari 2008, 08:23 WIB, Presiden SBY meminta agar komunitas Tionghoa lebih berbaur dan hidup rukun dengan warga sekitar. Mereka diminta tidak lagi membuat jarak yang sebenarnya tidak perlu. SBY juga menghimbau: “Kepada [warga Tionghoa] yang punya kemampuan ekonomi, teruslah beri pertolongan pada yang membutuhkan. Bantuan saudara-saudara sangat dirasakan oleh para korban bencana alam dan yang masih miskin”[30]. Dengan kata lain, warga Tionghoa masih dilihat secara berbeda dari warga Indonesia lainnya.
Bertolak dari kenyataan tersebut di atas, maka saat ini strategi yang harus dimainkan oleh warga Tionghoa adalah menempatkan diri sesuai dengan kenyataan yang ada, sebagai ‘outsider within’ dan ‘insider without’, dalam arti berhati-hati menyikapi power relations atau hubungan kekuasaan antar kedua negara itu, antara Indonesia dengan warga Tionghoa dan antara warga Tionghoa dengan RRC. Adalah sebuah tantangan yang besar bagi warga Tionghoa Indonesia, dan juga membutuhkan suatu keahlian yang khusus dari mereka untuk dapat menyeimbangkan antara tarikan ke RRC sebagai ‘negeri leluhur’ di satu pihak (agar tidak disebut sebagai ‘tidak nasionalis’ atau dicurigai sebagai koloni ke 5 RRC), dan kepada Indonesia sebagai ‘negara di mana warga Tionghoa bertempat tinggal’ di pihak lain, agar warga Tionghoa bisa menjadi ‘insider within’ di Indonesia dan menjadi ‘outsider within’ di RRC. Dalam posisi inilah baru warga Tionghoa Indonesia bisa berperan aktif sebagai ‘jembatan’ bagi ke dua negara itu. Ini adalah konsep idealnya, akan tetapi prakteknya tidak semudah itu karena, walaupun setelah Peristiwa Tragis Mei 1998, telah banyak perubahan yang terjadi dalam hal hubungan warga Tionghoa dan warga non-Tionghoa, akan tetapi secara politis tidak banyak yang berubah sebab hubungan antara keduanya masih rentan terhadap kerusuhan –sebagaimana yang terjadi dalam Insiden Pontianak baru-baru ini terkait dengan acara Imlek 2008[31]. Dengan demikian, masih banyak ‘pekerjaan rumah’ yang belum dilakukan oleh warga Tionghoa Indonesia, antara lain menyelesaikan persoalan hubungannya dengan negara dan warga Indonesia lainnya secara tuntas, dan tidak berputar-putar hanya pada sekitar permasalahan diskriminasi belaka[32]. Ada banyak persoalan yang harus dibicarakan bersama, agar warga Tionghoa bisa benar-benar menjadi bagian yang integral dari bangsa Indonesia sebagaimana yang di-visi&misi-kan oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan Tionghoa, yakni PSMTI (Paguyuban Marga Sosial Tionghoa Indonesia)[33] dan INTI (Perhimpunan Indonesia Tionghoa)[34]. Berbagai persoalan tersebut, antara lain menyangkut masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi, bukan saja di antara warga Tionghoa dan warga non-Tionghoa, melainkan juga di antara warga Tionghoa/non-Tionghoa sendiri. Kesenjangan ini juga yang melatar-belakangi himbauan Presiden SBY pada perayaan Imlek 2008 di atas agar warga Tionghoa yang ‘kaya’ membantu yang miskin, atau pernyataan Wakil Presiden Yusuf Kalla pada tanggal 12 Oktober 2004 mengenai akan dibedakannya perlakuan terhadap kelompok pengusaha. Pernyataan tersebut, yang mengacu pada Kepres No.16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBN, khususnya Pasal 21 ayat 5 tentang perusahaan golongan ekonomi lemah yang dikatakan sebagian besar terdiri dari orang Indonesia asli, oleh kalangan (pengusaha) Tionghoa dianggap sebagai pernyataan yang diskriminatif[35]. Singkatnya, ganjalan dalam hubungan antara warga Tionghoa dengan warga Indonesia lainnya yang pada masa Orde Baru sering disebut sebagai ‘masalah Cina’[36] –yang secara sederhana dikatakan sebagai masalah dimana etnis Tionghoa sebagai minoritas dan pendatang menguasai perekonomian Indonesia[37]– masih belum terselesaikan.
Catatan Penutup
Persoalan posisi warga Tionghoa di dalam negara-bangsa Indonesia dalam kaitannya dengan Tiongkok secara politis selalu menjadi ‘duri dalam daging’, karena sebagaimana dikatakan oleh Leo Suryadinata di atas, konsep ‘indigenism’ atau ‘kepribumian’ akan selalu menempatkan orang Tionghoa sebagai orang asing yang harus diragukan loyalitasnya karena sifat ke-asing-annya itu. Oleh sebab itu, bagaimana mereka harus bersikap dalam hubungannya dengan Tiongkok menjadi suatu dilema bagi etnis Tionghoa Indonesia. Strategi positioning yang bertolak dari konsep Patricia Hill Collins tentang ‘outsider within’ diharapkan bisa membantu memperjelas kondisi yang dihadapi warga Tionghoa Indonesia, dan memberikan masukan tentang strategi yang harus diambil mereka berkenaan dengan hal tersebut. Pembahasan ini perlu dijabarkan lebih lanjut, agar bisa dilaksanakan melalui langkah-langkah yang kongkret. Akan tetapi bagaimana hal itu harus dilakukan merupakan sebuah pembahasan lain pada waktu dan ruang yang lain pula.
Thung Ju Lan , via Chan CT
Tulisan ini merupakan tulisan eksternal forum dan merupakan bagian dari arsip Mailing-List Budaya Tionghua no 33575. Tulisan ini merupakan Paper untuk Seminar Sehari Universitas Petra, “Positioning Etnis Tionghoa-Indonesia dalam Hubungannya dengan Tiongkok”, Surabaya, 16 Mei 2008.
Referensi
Collins, Patricia Hill (1998), Fighting Words: Black Women and the Search for Justice, Minneapolis: University of Minnesota; 1998, http://www.stumptuous.com/comps/collins.html
“Etnis Tionghoa dan Soal Nasionalisme”, Harian Radar Medan, 5 Januari 2000, diposting oleh Buntomi pada tanggal 30 Mei 2007 di http://buntomijanto.wordpress.com/2007/05/30/politik-sara-orde-baru/, diakses tanggal 23 April 2008.
“Hubungan Indonesia-China”, Embassy of Indonesia, Beijing, http://www.indonesianembassy-china.org/id/relations.html, diakses tanggal 18 April 2008.
“Indonesia Yakinkan RRC Terkait Dengan Hubungan Non-Politisnya Dengan Taiwan”, Selasa, 09 Mei 2006, http://www.kapanlagi.com/h/0000115171.html, diakses tanggal 18 Aprl 2008.
“Jusuf Kalla: Perlakuan ke Kelompok Pengusaha Akan Dibedakan”, Sinar Harapan, Selasa, 12 Oktober 2004, http://www.sinarharapan.co.id/berita/0410/12/sh01.html & http://mediacare.blogspot.com/2005/01/pernak-pernik-jusuf-kalla.html, diakses tanggal 3 April 2008.
”Kerjasama Budaya Indonesia – Tiongkok 18 Mei 2007, http://id.inti.or.id/specialnews/25/tahun/2007/bulan/06/tanggal/02/id/258/print/, diakses tanggal 24 April 2008.
“Multikulturalisme Harus Jadi Potensi Pembangunan”, Pikiran Rakyat, tanggal 13 April 2008, http://pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=14398,
Notonegoro, Abd Sidiq, “Merajut Poros Kebudayaan Surabaya – Tiongkok”, sumber: www.kompas.com, East Java Tourism News, Archive for November 27th, 2006, http://eastjava.com/news/2006/11/27/, diakses tanggal 18 April 2008.
“Sambutan Presiden Republik Indonesia pada Acara “Indonesia Bersatu” 50 Tahun Kerjasama Kebudayaan RI-RRT, Pekan Raya Jakarta, Rabu, 28 Februari 2007, Embassy of Indonesia, Ottawa, http://indonesia-ottawa.org/inromation/details.php?type=speech&id=132
“SBY Minta Orang Tionghoa Berbaur”, Waspada Online, 18 Februari 2008 08:23 WIB, http://www.waspada.co.id/Berita/Nusantara/SBY-Minta-Orang-Tionghoa-Berbaur.html, diakses tanggal 15 April 2008.
“SK Walikota Nomor 127 Tak pernah Larang Naga”, Kamis, 14 Februari 2008, http://efeks.multiply.com/journal/item/307/SK_Walikota_Nomor_127_Tak_Pernah_Larang_Naga?&item_i, diakses tanggal 3 April 2008.
Siauw, Tiong Djin (2007), “Politik Berkiblat ke Indonesia”, 25 Agustus, http://www.nabble.com/-sastra-pembebasan–Fw:-Politik-Berkiblat–ke-Indonesia-p12330529.html, diakses tanggal 18 April 2008.
Suroso, Lisa (2007) “Quo Vadis Organisasi Tionghoa di Indonesia?”, 4 Oktober, http://lisasuroso.wordpress.com/2007/10/04/quo-vadis-organisasi-tionghoa-di-indonesia/, diakses tanggal 18 April 2008.
Suryadinata, Leo, “Etnik Tionghoa, Pribumi Indonesia, dan Kemajemukan: Peran Negara, Sejarah, dan Budaya dalam Hubungan antar Etnis, a foreword , Forum Budaya Tionghoa, http://iccsg.wordpress.com/2006/01/27/etnik-tionghoa-pribumi-indonesia/, diakses tanggal 24 April 2008.
Wanandi, Sofyan, 2008, “Negara ini Jangan Dianggap Hotel”, Jawa Pos, 8 Februari, http://opinibebas.epajak.org/?s=rrt, diakses tanggal 23 April 2008.
“Warga Tionghoa Tuding SK Walikota Pontianak Diskriminatif”, http://www.antara.co.id/arc/2008/2/12/warga-tionghua-tuding-sk-walikota-pontianak-diskriminatif/, diakses tanggal 3 April 2008.
[1] Saya memakai kata Cina di sini untuk mengacu pada negeri Cina karena pada awalnya – sebagaimana bisa kita temukan dalam dokumen-dokumen sejarah- memang orang Tionghoa di Indonesia dikatakan berasal dari negeri Cina. Kata Tiongkok baru kemudian dipakai oleh orang Tionghoa di Indonesia setelah tahun 1900an untuk mendukung gerakan nasionalisme Cina yang muncul di negeri Cina di akhir abad ke 19 melalui antara lain pemikiran Kang Yu Wei tentang pembaharuan Cina. Gerakan ini pada akhirnya berhasil mendirikan Republic of China pada tahun 1911 di bawah pimpinan Sun Yat Sen yang dikenal sebagai ‘Father of Modern China’ dengan tiga prinsip dasarnya tentang kerakyatan, yaitu: nasionalisme, demokrasi dan kesejahteraan. Kata Tionghoa dan Tiongkok di Indonesia terutama dipopulerkan oleh Tionghoa Hwee Koan (THHK) yang mendirikan sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di berbagai kota, khususnya di Jawa, untuk warga Tionghoa di Indonesia sebagai bagian dari ‘program resinifikasi’ yang dicanangkannya. Penting untuk memperhatikan kapan memakai kata Cina dan kapan memakai kata Tiongkok karena dengan demikian kita bisa mengetahui kronologi sejarahnya dan menempatkan setiap istilah dalam konteks kesejarahan yang tepat.
[2] Yang dimaksud dengan ‘bahasa Cina’ di sini adalah bukan bahasa Mandarin, melainkan bahasa-bahasa dialek dari suku-suku yang ada di negeri Cina, dan kemudian dibawa ke Nusantara, seperti dialek Hokkian, dialek Khe atau Hakka, Teociu, Hokcia, Hokciu dan sebagainya.
[3] ‘Kebudayaan Cina’ yang dimaksud di sini juga lebih mengacu kepada kebudayaan asal yang dibawa oleh berbagai suku bangsa yang datang ke Nusantara, seperti suku Hokkian, suku Khe atau Hakka, Hokcia, Hokciu dan Teociu. Dalam hal ini tidak bisa disebut sebagai ‘kebudayaan Tionghoa’, karena secara historis dan antropologis yang bisa disebut sebagai kebudayaan Tionghoa adalah hasil akulturasi kebudayaan yang dibawa dari negeri Cina dengan kebudayaan setempat.
[4] Istilah orang Cina perantauan adalah terjemahan kata per kata dari istilah Overseas Chinese. Dalam hal ini artinya adalah warganegara RRC yang bertempat tinggal di luar RRC namun masih tetap merupakan warganegara RRC. Istilah ini tidak berlaku untuk orang Cina yang sudah menjadi warganegara di negara ia menetap, seperti di Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Istilah yang dipergunakan untuk mereka adalah Chinese descent atau keturunan Cina yang dalam istilah Mandarinnya dikenal sebagai ‘Huayi’ atau ‘Huaren’. Untuk keturunan Cina di Indonesia, mereka kemudian dikenal sebagai orang Tionghoa.
[5] Lihat pendapat yang ditulis di Harian Radar Medan, 5 Januari 2000, “Etnis Tionghoa dan Soal Nasionalisme”, dan diposting oleh Buntomi pada tanggal 30 Mei 2007 di http://buntomijanto.wordpress.com/2007/05/30/politik-sara-orde-baru/, diakses tanggal 23 April 2008.
[6] Lihat pendapat Sofyan Wanandi, salah seorang pengusaha Tionghoa yang juga merupakan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, 2008, “Negara ini Jangan Dianggap Hotel”, Jawa Pos, 8 Februari, http://opinibebas.epajak.org/?s=rrt, diakses tanggal 23 April 2008.
[7] Ide tentang multikulturalisme ini diterima antara lain oleh Agum Gumelar -dalam kedudukannya sebagai Calon Gubernur- dalam Diskusi Budaya di Bandung tentang Multikulturalisme di Mata Para Tokoh pada tanggal 4 Maret 2008, kurang-lebih satu bulan menjelang Pilkada Jabar yang dilaksanakan tanggal 13 April 2008, Pikiran Rakyat – “Multikulturalisme Harus Jadi Potensi Pembangunan”, http://pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=14398, diakses tanggal 23 April 2008. Akan tetapi, di sini multikulturalisme cenderung diterjemahkan secara sempit sebagai “keberagaman budaya” yang harus dikelola agak tidak menghambat roda pembangunan, melainkan “menjadi potensi untuk akselarasi pembangunan”, bukan sebagai konsep manajemen keberagaman budaya itu sendiri sebagaimana yang dikemukakan oleh para antropolog dan ahli budaya. Menurut Agum, “[m]ultikulturalisme di Jabar itu merupakan takdir yang harus kita hadapi sekaligus anugerah yang harus kita syukuri. Kendati banyak yang bilang multikulturalisme penyebab terjadinya konflik di masyarakat, saya pikir di sanalah peran pemimpin diuji” (Ibid.). Dalam kaitannya dengan eksistensi etnis Tionghoa di wilayah Jabar, ia juga mengatakan bahwa “Etnis Tionghoa ini mayoritas merupakan masyarakat yang bergerak di bidang wirausaha. Ini harus kita manfaatkan dengan memberi mereka peluang untuk memberikan kontribusinya dalam proses pembangunan di Jabar” (Ibid.). Di sisi lain, Tomy Su, Koordinator Masyarakat Pelangi Pencinta Indonesia, lebih melihat multikulturalisme sebagai “kesadaran multikultural” atau “sebuah paham yang mengakui adanya perbedaan sekaligus kesetaraan baik secara individual maupun kelompok dalam kerangka kebudayaan”, dalam “Diskriminasi dan Kesadaran Multikultural”, Kompas, Rabu, 04 Maret 2007, http://www.mail-archive.com/ [email protected]/msg20349.html, diakses tanggal 23 April 2008.
[8] Catatan: di sini saya mengatakan ‘anti-Cina’ bukan ‘anti-Tionghoa’, karena memang yang dipermasalahkan adalah ‘keCinaan’ itu bukan keTionghoaan, kata makian yang dipakai juga adalah ‘Cina’ bukan Tionghoa.
[9] Untuk konsep ‘outsider within’ ini lihat Patricia Hill Collins, Fighting Words: Black Women and the Search for Justice, Minneapolis: University of Minnesota, 1998, http://www.stumptuous.com/comps/collins.html.
[10] Kata Cina di sini mengacu pada Chinese descent atau keturunan Cina, yaitu mempunyai darah orang Cina dari garis ayah akan tetapi sudah bukan warganegara RRC, melainkan warganegara dari negara di mana yang bersangkutan menetap. Secara akademis, untuk mengacu pada keturunan Cina yang berada di berbagai negara yang berbeda-beda (Singapura, Malaysia, Indonesia, Brunei, dan bahkan Amerika dan Jepang) dikenal istilah Chinese diaspora.
[11] Suroso, Lisa (2007) “Quo Vadis Organisasi Tionghoa di Indonesia?”, 4 Oktober, http://lisasuroso.wordpress.com/2007/10/04/quo-vadis-organisasi-tionghoa-di-indonesia/, diakses tanggal 18 April 2008.
[12]Siauw, Tiong Djin (2007), “Politik Berkiblat ke Indonesia”, 25 Agustus, http://www.nabble.com/-sastra-pembebasan–Fw:-Politik-Berkiblat–ke-Indonesia-p12330529.html, diakses tanggal 18 April 2008.
[13] RRC selalu memakai istilah Huaqiao atau Overseas Chinese untuk menyebut orang Cina yang ada di luar RRC, termasuk mereka yang sudah menjadi warganegara di negara tempat mereka menetap. Hal ini juga yang menyebabkan kecurigaan dari beberapa negara, termasuk Indonesia, bahwa orang Cina di luar RRC merupakan koloni ke 5 atau ‘kuda troya’ RRC yang bisa dipergunakan kapan saja untuk kepentingan politik dan militer RRC, sehingga loyalitas dan nasionalisme orang Cina yang sudah menjadi warganegara setempat –seperti warga Tionghoa di Indonesia- selalu dipertanyakan. Kebijakan RRC tersebut pada hakekatnya juga dilatar-belakangi oleh kepentingan ekonominya untuk menarik remittances atau uang yang dikirimkan untuk keluarga di kampung halaman dari orang Cina di luar RRC
[14] Suroso, Opcit.
[15] “Sambutan Presiden Republik Indonesia pada Acara “Indonesia Bersatu” 50 Tahun Kerjasama Kebudayaan RI-RRT, Pekan Raya Jakarta, Rabu, 28 Februari 2007, Embassy of Indonesia, Ottawa, http://indonesia-ottawa.org/information/details.php?type=speech&id=132, lihat juga “Hubungan Indonesia-China”, Embassy of Indonesia, Beijing, http://www.indonesianembassy-china.org/id/relations.html, diakses tanggal 18 April 2008.
[16] Ibid.
[17] Notonegoro, Abd Sidiq, “Merajut Poros Kebudayaan Surabaya – Tiongkok”, sumber: www.kompas.com, East Java Tourism News, Archive for November 27th, 2006, http://eastjava.com/news/2006/11/27/, diakses tanggal 18 April 2008.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Opcit., “Hubungan Indonesia-China”.
[21] “Indonesia Yakinkan RRC Terkait Dengan Hubungan Non-Politisnya Dengan Taiwan”, Selasa, 09 Mei 2006, http://www.kapanlagi.com/h/0000115171.html, diakses tanggal 18 Aprl 2008.
[22] “Hubungan Indonesia-China”, Embassy of Indonesia, Beijing, http://www.indonesianembassy-china.org/id/relations.html, diakses tanggal 18 April 2008.
[23] Opcit., “Indonesia Yakinkan RRC …”.
[24] Lihat ”Kerjasama Budaya Indonesia – Tiongkok 18 Mei 2007, http://id.inti.or.id/specialnews/25/tahun/2007/bulan/06/tanggal/02/id/258/print/, diakses tanggal 24 April 2008.
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Menurut Leo Suryadinata, “Nasionalisme Indonesia dikonstruksi berdasarkan konsep ‘kepribumian’ (indigenism), dan etnik Tionghoa dikatagorikan sebagai orang asing atau Vreemde Oosterlingen (Foreign Oriental) yang dianggap bukan merupakan bagian dari nasion Indonesia. Nasion Indonesia didefinisikan sebagai ‘milik’ bangsa pribumi, yaitu kelompok yang mempunyai daerah sendiri… Selanjutnya, konsep pribumi sebagai tuan rumah telah berakar di bumi Indonesia. Etnik Tionghoa dianggap sebagai nonpribumi dan pendatang baru yang tidak bisa diterima sebagai sukubangsa Indonesia sebelum mereka mengasimilasi diri” (“Etnik Tionghoa, Pribumi Indonesia, dan Kemajemukan: Peran Negara, Sejarah, dan Budaya dalam Hubungan antar Etnis, a foreword, Forum Budaya Tionghoa, http://iccsg.wordpress.com/2006/01/27/etnik-tionghoa-pribumi-indonesia/, diakses tanggal 24 April 2008).
[29] Lihat “SBY Minta Orang Tionghoa Berbaur”, Waspada Online, 18 Februari 2008 08:23 WIB, http://www.waspada.co.id/Berita/Nusantara/SBY-Minta-Orang-Tionghoa-Berbaur.html, diakses tanggal 15 April 2008.
[30] Ibid.
[31] “Warga Tionghoa Tuding SK Walikota Pontianak Diskriminatif”, http://www.antara.co.id/arc/2008/2/12/warga-tionghua-tuding-sk-walikota-pontianak-diskriminatif/; “SK Walikota Nomor 127 Tak pernah Larang Naga”, Kamis, 14 Februari 2008, http://efeks.multiply.com/journal/item/307/SK_Walikota_Nomor_127_Tak_Pernah_Larang_Naga?&item_i; diakses tanggal 3 April 2008.
[32] Untuk pembahasan entang permasalahan ini lihat paper saya untuk Seminar CCS-UI, ”Setelah Air Mata Kita Kering: 10 Tahun Tragedi Tionghoa Mei 1998”, Jakarta: Grha Tirtadi, 3 Mei 2008, yang berjudul ”Etnis Tionghoa Sepuluh Tahun Sesudah Tragedi Mei 1998: Budaya, Identitas, dan Politik Etnisitas”.
[33] Lihat http://www.psmti.or.id.
[34] Lihat http://www.inti.or.id.
[35] “Jusuf Kalla: Perlakuan ke Kelompok Pengusaha Akan Dibedakan”, Sinar Harapan, Selasa, 12 Oktober 2004, http://www.sinarharapan.co.id/berita/0410/12/sh01.html & http://mediacare.blogspot.com/2005/01/pernak-pernik-jusuf-kalla.html, diakses tanggal 3 April 2008.
[36] Catatan: di sini saya tetap menyebut ‘masalah Cina’ bukan masalah Tionghoa’, karena yang dijadikan masalah oleh Orde Baru memang tentang ‘keCinaan’, bukan keTionghoaan, oleh karena itu pula maka Orde Baru –melalui seminar Angkatan Darat tahun 1966- mengubah kata Tionghoa menjadi kata Cina.
[37] Anggapan ini tidak didukung oleh data statistik yang akurat, akan tetapi sudah menjadi pendapat umum dari hampir seluruh warga ‘pribumi’ di mana etnis Tionghoa distereotipkan (dan dipercaya) sebagai ‘economic animal’ yang hanya mengejar profit semata dengan segala cara, termasuk yang ilegal.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua