Photo Ilustrasi : Xie Tian Gong , Bandung
Budaya-Tionghoa.Net| Dahulu kelenteng adalah pusat tempat dimana masyarakat Tionghoa melakukan aktifitas hidup mereka seperti : melakukan perundingan untuk mengatasi masalah-masalah masyarakat; aktifitas religious; mengurus kematian dan masih banyak lainnya.
Kelenteng bisa dikatakan adalah inti dari kehidupan masyarakat Tionghoa baik di pedesaan maupun di perkotaan, ketika mereka beremigrasi ke wilayah luar Tiongkok seperti ke Indonesia, kelenteng tetap menjadi pusat kegiatan mereka walau sekarang ini sudah memudar kegiatannya itu menjadi sekedar aktifitas religious saja.
Jika kelenteng merupakan bagian dari budaya maka kita perlu menyadari bahwa kebudayaan adalah pembadanan wilayah non fisikal yang mencakup bagian rohani atau spiritual quest dan tidak bisa direduksi melulu pada ukuran-ukuran material, diungkapkan dalam tanda, symbol dan juga dinamika wacana dan dihidupkan dalam wujud tokoh-tokoh historis, mitologis dan legenda. Ini semua ada pada kelenteng baik dari segi yang nampak maupun tidak tampak dan memiliki multi fungsi dalam kehidupan masyarakat Tionghoa.
Banyaknya kelenteng di Indonesia menunjukkan adanya masyarakat Tionghoa sejak jaman dahulu dan tidak dipungkiri banyak kelenteng yang berumur ratusan tahun sehingga menjadi cagar budaya warisan masa lampau yang membisu tanpa disadari maknanya oleh banyak masyarakat termasuk masyarakat Tionghoa itu sendiri.
Dalam melihat kelenteng sebagai benda warisan budaya yang nampak ( tangible culture ) itu akan melupakan makna-makna kelenteng dan budayanya yang tidak tampak ( intangible culture ) yang melupakan bahwa dibalik fisik kelenteng mengandung makna-makna yang terkait dengan kosmologi maupun falsafah orang Tionghoa .
Falsafah yang mengutamakan keselarasan dengan alam dan pengaturan kosmologi dalam kepercayaan mereka, dengan demikian kelenteng memiliki dua budaya yaitu yang tampak dan tidak tampak yang mengandung makna filosofi dan kepercayaan mereka maupun seni seperti seni ukir, lukis, kaligrafi yang bisa kita lihat di kelenteng-kelenteng, dimana seni itu bisa mengandung unsur religious, ajaran moralitas, pengharapan dan juga kosmologi .
Di masyarakat kelenteng itu sendiri banyak yang sudah tidak mengetahui makna-makna dibalik itu semua, ini perlu dimaklumi karena adanya pembatasan dan pelarangan budaya Tionghoa yang melahirkan “generasi hilang” ( lost generations ).
Seni dan Kelenteng
Jika bangunan kelenteng kita masukkan ke dalam wilayah seni karena mengandung banyak unsur seninya, maka seni itu bisa mengandung unsur religiousitas dan spiritualitas serta moralitas. Saya katakan demikian karena orang Tionghoa itu tidak mengutamakan agama sebagai identitas diri tapi meleburkan konsep-konsep tiga agama utama orang Tionghoa ke dalam satu pola pandang yang unik dan itu juga bisa meredam konflik tiga agama utama yang berkembang di Tiongkok.
Bahkan agama Buddha sendiri mengalami sinifikasi, sulit sekali menemukan kelenteng yang memiliki ciri khas satu agama di pedesaan Tiongkok dan juga di banyak tempat di Indonesia, walau demikian tetap ada kategori-kategori yang dibuat untuk membedakan tempat ibadah agama apa tapi itu lebih di kota-kota besar di Tiongkok dan di Indonesia sendiri walau ada tapi seiring perkembangan masyarakat Tionghoa yang plural maka kelenteng juga mau tidak mau menampung perbedaan-perbedaan itu.
Jadi disini kita bisa melihat bangunan kelenteng sebagai seni. Seni berurusan dengan spiritualitas, baik secara rasio maupun secara pengalaman.[1] Ini menandakan bahwa banguna kelenteng bisa dilihat sebagai satu kesatuan seni yang mengandung spiritualitas yang bertujuan membangun karakter dan membangun hubungan vertical maupun horizontal antar manusia dengan “Yang Transenden” maupun sesama manusia dan alam sekitarnya.
Mitos dan legenda sering nampak dalam seni di kelenteng itu dan mitos Tiongkok seperti halnya kebanyakan mitos di banyak masyarakat Indonesia ini lebih bersifat kosmosentris sehingga tidak mengherankan jika arsitektur kelenteng juga mengandung konsep kosmologi orang Tionghoa.
Menelaah Kosmologi Kelenteng
[1] Jacob Sumardjo, Estetika Paradoks, hal.111, cet.pertama edisi revisi, 2000, Bandung : Sunan Ambu STSI Press
(Bersambung)
Budaya-Tionghoa.Net | Facebook Group Budaya Tionghoa |