Budaya-Tionghoa.Net|Bahasa Tionghoa adalah bahasa ras Han yang memiliki sejarah sangat panjang, dan huruf Tionghoa merupakan karakter huruf gambar atau piktograf tertua dibandingkan huruf Hieroglyph dari Mesir dan tulisan paku dari Summeria yang sekarang sudah tidak digunakan lagi. Asal usul karakter Tionghoa dipercaya berasal dari “Legenda Cang Jie” sebagai menteri Huang Di yang menemukan huruf, namun asal usul pembentukan bahasanya sampai sekarang masih kontroversial [1].
Sepanjang sejarahnya bahasa Tionghoa tidak lepas dari pengaruh bahasa-bahasa asing. Bahkan pada masa dinasti Han (206 SM – 220 M) terjadi penyerapan besar-besaran istilah-istilah Buddhis dari bahasa Sansekerta dikarenakan kedatangan pendeta-pendeta Buddha pada awal masehi.
|
Kita akan melihat salah satu contoh, kata ‘shi’ 獅 (simplified 狮, pinyin shī (shi1), Wade-Giles shih) bahasa Tionghoa untuk singa yang muncul pertama kali dalam Buku dinasti Han (selesai ditulis 111 M) berasal dari kata Sansekerta ‘simha’ atau bisa juga dari kata Persia ‘sir’[2].
Namun salah satu sifat bahasa Tionghoa adalah bahwa bahasanya bersifat tulisan atau huruf simbol / gambar, bukanlah bersifat fonetik (dieja alfabetikal) maka huruf 狮 pada jaman Han, tidaklah pasti 100% sama bunyinya dengan jaman sekarang. Karenanya, premise persamaan lafal bunyi sebagai dasar etimologi sangat rentan karena dibangun berdasarkan persamaan lafal bunyi pada “masa sekarang”.
Saya beri contoh klasik untuk bahasa sansekerta “prajna”, dalam lafal bahasa Tionghoa standar sekarang, istilah “prajna” dilafalkan menjadi “bo-re”, sama sekali berbeda dengan lafal bunyi bahasa aslinya. Bandingkan misalnya dengan pelafalan bahasa Tionghoa dalam dialek Hokkian yang usia dialeknya kurang lebih sama dengan rentang waktu masuknya istilah-istilah Sansekerta ke khazanah bahasa Tionghoa. Dalam bahasa hokkian, “prajna” dilafalkan menjadi “phan nye”
Contoh lebih gampang lagi adalah “bud-ha”, pelafalan yang benar dalam bahasa aslinya adalah “bud” dan “ha”; bukannya “budah”, dan ini terlihat jelas dalam dialek Hokkian, dilafalkan menjadi “hud”. sebuah bunyi yang jauh lebih dekat dengan sumbernya, dibandingkan pelafalan bahasa Tionghoa (Putonghua) modern yang dibaca “fo”. Secara tulisan ada perubahan untuk kata Buddha, jaman Han sampai jaman utara selatan adalah 浮屠 (fu-tu) yang kemudian diganti menjadi 佛 陀 (fo-tuo) dan serapan kata Buddha juga disingkat menjadi 佛 (fo).
Para ahli sejarah bahasa, memliki banyak kategori terhadap periode bahasa Tionghoa, di mana secara umum, kategori yang disetujui adalah ada tiga masa besar, yaitu masa tua/kuno, masa madya, dan masa modern. Di mana dalam setiap masa, pelafalan bunyi setiap huruf berbeda-beda di setiap daerah. daerah A dan daerah B bisa melafalkan satu huruf dengan bunyi yang sama sekali berbeda.
Bukan itu saja, tata bahasa, kosakata, dan arti setiap huruf juga memiliki perbedaan untuk setiap dialek yang berbeda. Secara umum, periode bahasa Tionghoa modern dengan lafal yang mendekati masa sekarang, disetujui mulai ada sekitar jaman akhir dinasti Song (1127-1279 M), dan menjadi baku di jaman dinasti Ming (1368-1644 M).
Sangat jarang sekali “pakar” atau “ahli” yang benar-benar memperhatikan aspek linguistik ini dalam menelurkan berbagai hipotesa etimologi mereka. Adopsi istilah asing adalah hal umum yang terjadi di semua bahasa. Yang mau saya soroti adalah teori etimologi yang berlandaskan persamaan lafal bunyi semata. Contoh antara ‘simha’ (Sansekerta) dengan ‘shi’,狮, kata shi 狮yang berarti singa terdiri dari radikal 犬 (quan) menjadi犭 yang merupakan radikal penanda untuk simbol hewan ditambah dengan fonetik 師 shi (pinyin) dibaca dengan dengan shengmu sh dan yunmu -i dan. Bunyi ini adalah bunyi retrofleks, yakni bunyi yang dihasilkan dengan dengan melingkarkan ujung lidah ke langit-langit rongga mulut atau 翘舌音 (qiao-she-yin). Bukan dibaca dengan vokal ‘e’ (she) ,tapi dibaca shi (retrofleks) vokal i-nya tidak tertalu kentara. Sekilas memang mirip lafalnya, namun akan lebih mirip lagi jika dilafalkan dalam dialek Kanton yaitu ‘si’.
Maka menurut penulis teori seperti itu sangat rentan. Karena lafal bunyi selalu berubah sepanjang jaman. Sekali lagi, sifat bahasa Tionghua adalah tulisan, bukan fonetik. Memang asal usul bahasa yang pertama adalah lisan, namun seiring dengan perkembangan peradaban, yang lisan perlu dituliskan, nah itulah yang menjadi bahasa tulisan pertama dan orang Tionghoa menggunakan gambar atau piktograf, ini lumrah diseluruh peradaban purba. Tidak banyak peradaban yang mengembangkan piktograf, biasanya diganti dengan abjad, seperti huruf Hieroglyph di Mesir yg sebelumnya berupa gambar.
Tiongkok sendiri seiring dengan meluasnya pengaruh dan kekuasaan peradaban mereka, bahasa piktograf juga meluas. Melemahnya dinasti Zhou membuat banyak tulisan yang berasal dari piktograf kemudian menjadi ideograf dan fonetik yg kemudian diseragamkan kembali oleh Qin Shihuang untuk pengukuhan kebersamaan bahasa. Jadi meskipun ada berbagai dialek pengucapan di Tiongkok, namun tulisannya tetap sama.
Para filsuf serta sejarahwan pra Qin juga mengusung nama Cang Jie sebagai pencipta bahasa Tionghoa. Dengan adanya Cang Jie sebagai tokoh mitos pencipta tulisan itu mengindikasikan adanya persatuan bahasa pada masa purba ( 3 kaisar 5 raja ), yang kemudian terpecah dan dipersatukan kembali oleh Qin Shihuang. Namun biarpun terpecah menjadi beragam, mereka tetap memiliki persamaan yang dapat dimengerti kalau dibaca, pelafalannya memang tidak mengikat antar satu dialek dengan dialek yang lain. Maka faktor tulisanlah yang menjadi salah satu pemersatu kebudayaan Tionghoa yang ribuan tahun umurnya.
Sekarang kita lihat kasus kedua, yaitu kata ‘jiang’ 江 yang berarti sungai, yang diduga adalah kata serapan dari bahasa Mon Khmer yang telah punah. Kata ‘jiang’ memiliki radikal air dan fonetik 工 (gong) dibaca kung, memang dalam bahasa Han kunonya dibaca bunyi 工 gong (pinyin). Hal ini dapat dilihat dari bahasa dialek yang masih bahasa kuno misalnya Hakka: 江 Kong; Minnan: Kang; Yue: Kong, atau dialek lainnya Kiang. Antara bunyi K, dan J perbedaannya di lidah, K bunyi pangkal lidah, J bunyi ujung lidah, dan menurut kamus Shuowen, bunyinya memang gong. Dan melihat beberapa dialek yang lebih tua. antara huruf gong 工 yang artinya kerja, dan huruf jiang 江sungai, bunyinya memang hampir serupa.
Pada jaman dahulu ‘jiang’ sungai ini memang diartikan sebagai saluran air buatan manusia (maka ditulis dengan radikal air 水,dan fonetik gong 工 yang artinya kerja). Dan legenda pembuatan kanal sudah ada sejak jaman Yu. Sungai Chang Jiang itu sebenarnya diperpanjang terus alirannya oleh manusia selama ribuan tahun alias saluran buatan manusia.
Kembali ke analisa bahasa Tionghoa, bunyi J , Q sebenarnya di bahasa Han kuno adalah bunyi ‘G dan J’ yang disebut 舌尖音 (shejian yin), ‘Q’ 舌尖送气音 (shejian songqi yin) sedangkan ‘G’ 舌根音 (shegen yin),dan ‘K’ 舌根送气音 (shegen songqi yin). Misalnya ‘ji’ 鸡 ayam, dialek yang masih ada hubungan dengan bahasa Han klasik misalnya Hakka, Minnan, dan Teochiu menyebutnya ‘koi’, dialek Yue atau Konghu membacanya ‘kai’.
Dalam tulisan karya Qin Hsiaohang, Central University for Nationalities, China, yang mengkhususkan studi mengenai kata-kata Mon Khmer yang diduga diserap menjadi bahasa Han, kita akan melihat tabel sebagai berikut;
Sekilas tampaknya memang ada kesamaan bunyi antara bahasa Mon Khmer untuk sungai dan kata 江 yang pada jaman dahulu berbunyi ‘gong’. Namun dalam studi baru-baru ini, menunjukkan sebaliknya, karena jika dirunut dari kronologis pembentukan kata, terutama masalah konsonan K & G yang banyak dijumpai dalam bahasa Mon Khmer yaitu menjadi bunyi k/kl yg disebut dengan istilah “jianmu”, menunjukkan bahwa dalam berbagai dialek bahasa Tiongkok kuno sudah mengenal konsonan tersebut, jadi dapat disimpulkan yang terjadi justru kebalikannnya.
Profesor Wangli yang merupakan spesialis Tiongkok purba mengatakan bahwa tiga kata dalam tabel tersebut di atas yaitu jiang 江(sungai), jiang 讲 (bicara) dan jiao 搅 (mengaduk), memiliki konsonan K seperti dalam lafal Kanton sekitar abad 2 BC, bukannya J (pinyin) dibaca ‘c’ dalam bahasa Tiongkok modern.
Dari faktor sejarah pertemuan orang Han dengan bangsa Mon Khmer, klan nenek moyang mereka, yaitu suku Pu, telah tersebar di sepanjang Lembah Sungai Chang Jiang pada masa dinasti Shang (abad 16- 11 BC) dan kemudian menyebar ke Propinsi Sichuan, Guizhou dan Yunnan. Di sini jelas bahwa hubungan antara Han dengan Mon Khmer yang telah terjadi sejak jaman Shang mempengaruhi bahasa mereka satu dengan lainnya.
Namun kemudian mereka ditaklukkan oleh bangsa Han, sebelum dinasti Qin ( 221-207 BC) yang membuktikan bahwa pengaruh Han-lah yang mempengaruhi perkembangan bahasa mereka, bukan sebaliknya. Dapat dilihat pada inisial konsonan kluster kl dan pl yaitu bunyi klon, klan, dan kliau dalam bahasa Mon Khmer yang ternyata sudah ada dalam bahasa Tiongkok sebelumnya dan jelas merupakan pinjaman dari bahasa Tiongkok kuno.[3]
Demikianlah penelusuran singkat tentang bahasa Han.
Oleh: Qilin, Ardian Cangianto, Chendra Ling Ling, Liu Weilin dan Ren Yingying.
dari diskusi dalam https://www.facebook.com/groups/budaya.tionghoa/permalink/10151552290702436/
Referensi luar :
[1] Fu Chunjiang, The Origin of Chinese Language, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2009
[2] Wolfram Eberhard, A Dictionary of Chinese Symbols, Routledge & Keagan Paul Ltd, London, 1995
[3]Qin Hsiaohang, The Ancient Chinese Origin of Some Mon-Khmer Words, Departement of Linguistic Central University of Nationalities, Beijing, 2003.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua