Foto koleksi Bp. David Kwa; sumber: www.facebook.com
Budaya-Tionghoa.Net | Menjawab pertanyaan member mengenai variasi cara memakai sarung pada kebaya nyonya. Berikut ini adalah penjelasannya;
“Kepala” sarung diletakkan di depan sebelah kiri pemakai (dipandang dari sudut si pemakai). Lipatannya membuka ke kanan. Bila “kepala” sarung bermotif “tumpal” (yakni segitiga) yang saling berhadapan, “tumpal”-nya dilipat dua, sehingga yang tampak dari luar tiga perempat atau setengahnya saja, seperti foto kuno di atas. Sisanya terletak di lipatan dalam, yang tidak tampak dari luar.
Bagian “badan” sarung dinaikkan sedikit, sewaktu diselipkan ke bagian dalam sarung, sehingga ujung bagian bawahnya tidak berupa garis lurus, melainkan berjarak kurang lebih 5 cm, seperti foto kuno di atas.
Dilihat dari depan, bagian “kepala” kira-kira 1: 1 atau maksimal 3 : 1 dengan bagian “badan” sarung, seperti tampak jelas pada sarung yang dikenakan gadis yang dalam pose berdiri.
Bila “tumpal”-nya berbentuk “buketan” gaya Pekalongan, maka “tumpal”-nya itu tidak dilipat dua seperti “tumpal” berbentuk segitiga dalam foto djadoel di atas. Dalam foto tersebut kebayanya berbeda dengan model kebaya nyonya yang kemudian, karena ini gaya kebaya yang lebih cenderung ke arah kebaya Sunda pada akhir abad 19 / awal abad 20. Pada model “kebaya nyonya” yang kemudian (tahun 1920-1930-an), ujung bawahnya jauh lebih “sonday” (meruncing ke bawah), suatu gaya yang kini menjadi ciri khas “kebaya nyonya”.
Perhatikan foto berikut ini, di mana kebaya nyonya yang dipakai berupa “kebaya bordir” dan “sarung buketan”:
Kebaya Bordir (Embroidered Kebaya) – Sarung Pekalongan — in Jakarta, Jakarta Raya.
sumber : http://www.facebook.com/photo.php?fbid=508478212523355&set=a.508476989190144.1073741833.100000835423309&type=3&theater
Pemakaian sarung kebaya pada foto djadoel maupun Pekalongan style, lipatannya searah, yakni arah lazimnya bukaan kain perempuan pada umumnya, yang merupakan kebalikan dari bukaan pada kain yang dikenakan laki-laki.
“Tumpal” dilipat dua, menurut asumsi penulis, supaya pola “segitiga-segitiga berupa tombak yang saling berhadapan” hanya kelihatan sebelah, tidak “perang” atau saling beradu. Untuk menahan kain supaya tidak lepas, bagian atasnya diikat dengan tali atau kain yang dibentuk seperti tali terlebih dulu. Lalu di bagian luar dikencangkan lagi dengan “ban mas” atau “ban perak” berukir.
Selain “peniti rantai tiga susun” sebagai pengait kebaya, “ban mas” atau “ban perak” ini berfungsi dekoratif menambah indahnya dandanan seorang nyonya. Supaya tampak rapi, coba waktu memakai sarung, kedua lutut dirapatkan.
Sarung nyonya terkadang disebut “kain pagi-sore” yang memang didisain khusus untuk dipakai bolak-balik dua kali. Demikian pula pada kebaya dengan sarung gaya Pekalongan.
Lihat juga : http://web.budaya-tionghoa.net/gallery-photoblog/2605-dokumentasi-foto-pameran-kebaya-dan-pernak-perniknya-di-bandung
http://www.facebook.com/groups/budaya.tionghoa/permalink/10151641530572436/
Oleh : David Kwa
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa