Budaya-Tionghoa.Net |Entah sudah berapa lama aku memandangi foto itu. Dan entah sejak kapan pula, segala ingatanku kembali ke sana. Ke awal musim panas tahun ke sebelas pemerintahan Chenghua…[1]
Aku masih ingat pekarangan kecil ini. Sepi dan tenang. Dinding merah yang tinggi seakan memisahkan pekarangan ini dengan dunia luar. Saat musim semi tiba, beberapa ranting daun dan bunga menjulur masuk dari pohon di ujung timur sana. Setiap kali memandang dinding itu, aku selalu merasa tentram, serasa ialah yang melindungiku dan anakku selama lima tahun ini. Anak yang tak pernah memiliki nama, bahkan tak seharusnya dilahirkan. Tak hanya sekali aku berpikir, nama apa yang akan diberikan oleh ayahnya jika suatu hari nanti mereka bertemu? Nama generasinya seharusnya adalah You, dan nama belakangnya harus mengandung unsur kayu. Tapi aku tak pernah berani untuk memikirkannya lebih lanjut, bahkan sekedar dalam mimpi.
Tempat ini bernama An Le Tang. Sekarang mereka menyebutnya… istana dingin[2].
“Ji Guniang[3]!” sebuah suara yang akrab terdengar dari luar, diikuti dengan sosok pemilik suara yang berjalan masuk dengan riang. “Lihat! Kita punya uang untuk membelikan makan kucing,” ujarnya sembari menyodorkan beberapa keping uang.
“Dari mana kau dapat ini?”
“Diberi oleh seorang pengawal istana. Aku membantunya mengerjakan sedikit urusan.”
“Urusan apa? Bukan hal yang berbahaya kan?”
“Bukan. Tenang saja.”
Aku masih memandangnya dengan tatapan menyelidik.
“Oh, dia suka pada seorang dayang di dapur istana. Aku membantunya menyampaikan sepucuk surat. Tak disangka, dayang itu juga menyukainya. Pengawal itu gembira sekali, lalu memberiku ini,” akhirnya ia menjelaskan lebih lanjut.
“Baguslah kalau bukan hal yang berbahaya. Kami sudah berhutang banyak sekali padamu. Kau tak perlu selalu memikirkan kami, simpanlah untukmu sendiri.”
“Ah, aku hanya seorang penjaga pintu, untuk apa menyimpan begitu banyak uang. Toh makan tidur juga tak perlu biaya sendiri. Kucing masih kecil, perlu makan yang banyak agar tumbuh sehat.”
“Baiklah, aku tak lagi menolak kebaikanmu. Tapi hanya sekian saja, sisanya kau simpan untukmu sendiri.”
Aku mengambil tiga keping uang dari tangannya. “Terima kasih!” ucapku sambil berjalan pergi. Sebab aku tak ingin berdebat lebih jauh dengannya, ia pasti ingin aku menerima semua uang itu. Walau masih berada dalam dinding istana, namun kehidupan kami sungguh tak lebih baik dari rakyat jelata.
Bicara tentang orang ini, aku dan anakku bisa hidup sampai sekarang, semua berkat pertolongannya. Aku masih ingat, itu adalah tiga hari setelah aku melahirkan…
Tengah malam, seorang kasim tiba-tiba mendobrak masuk ke kamarku. Aku memeluk anakku erat-erat, dalam hati aku tahu, ia pastilah orang yang diutus untuk membunuh kami.
“Lakukan apa yang menjadi tugasmu,” kataku saat itu.
Sampai sekarang, aku sendiri pun tak tahu, mengapa bisa mengatakan hal semacam itu, dan bukannya meminta belas kasihan atau berusaha melawan atau apa. Mungkin karena otakku terlalu sadar bahwa tak ada yang bisa dilakukan, atau mungkin juga karena datangnya hari itu sudah dapat kuduga sejak pertama kali aku tahu aku mengandung.
Tak kusangka, setelah berpandangan selama beberapa saat, alih-alih membunuh kami, orang itu malah berkata, “Anak ini tak aman di sini. Kau harus menyembunyikannya di tempat lain.” Lalu pergi begitu saja.
Tiga hari kemudian, aku baru tahu bahwa ia bernama Zhang Min, seorang penjaga gerbang yang ditugaskan oleh Selir Wan untuk menenggelamkan anakku.
Sedangkan “kucing” yang disebut olehnya, sebenarnya adalah anakku. Kami semua orang membiasakan diri untuk menyebutnya kucing. Tentu saja, kami juga benar-benar memelihara seekor kucing asli. Dengan begini, sekalipun tak sengaja terdengar orang lain, tak akan ada yang curiga bahwa di sini ada seorang anak. Seorang anak yang tak seharusnya dilahirkan, dan tak seharusnya hidup. Karena ia bermarga Zhu. Karena ayahnya memiliki seorang selir bermarga Wan. Karena ibunya hanyalah seorang rakyat jelata dari Guangxi yang ditangkap masuk istana.
Hari ini bulan lima tanggal dua. Tiga hari lagi adalah hari Duanyang[4]. Hujan turun sejak pagi, sama seperti hari-hari sebelumnya, dan baru saja berhenti ketika memasuki waktu you[5]. Aku baru sadar, ternyata di langit muncul pelangi sebesar ini! Rasanya sudah lama sekali tak melihat pelangi. Aku pun segera berlari ke kamar mencari anakku.
“Kau masih ingat pelangi yang pernah niang[6] ceritakan dulu?” Putra kecilku itu mengangguk. “Pita warna warni yang muncul di langit setelah hujan,” katanya. “Kemarilah!” aku menarik tangannya, mengajaknya ke pinggir jendela dan menggendongnya agar ia dapat melihat ke luar.
“Ya. Indah tidak?”
Ia mengangguk.
“Kalau begitu, ingatlah pelangi itu. Kalau menurutmu indah, ingatlah.”
Aku tak pernah membawanya keluar ke halaman. Bahkan menggendongnya untuk melihat ke luar jendela seperti ini pun sangat jarang sekali. Tentu saja, karena ia adalah anak yang seharusnya sudah mati sejak lima tahun lalu.
Bulan berganti bulan, hari berganti hari. Mungkin kehidupan seperti ini adalah tragis di mata orang lain. Namun bisa kubilang, aku sama sekali tak menganggapnya sebagai masalah. Hidup sehari adalah sehari. Aku tak takut mati, tapi juga tak akan mencari mati. Karena bagiku, kematian itu adalah sesuatu yang misterius, tak tahu apakah ia lebih baik atau lebih buruk daripada hidup.
Tahun itu, terjadi pemberontakan di daerahku, Guangxi. Seorang pejabat yang bernama Han Yong berhasil meredakannya, lalu kami, rakyat setempat, ditangkap dan dikirim ke istana; yang laki-laki dijadikan kasim, dan yang perempuan dijadikan dayang. Nasibku termasuk cukup baik, dikirim ke gudang uang untuk bekerja di sana. Bukan jabatan yang layak dibanggakan, tapi juga bukan yang paling buruk.
Orang bilang, semua wanita di istana punya satu harapan, terbang ke ujung ranting dan berubah menjadi fenghuang[7]. Walau aku bukan gadis terpelajar, namun sedikit banyak tahu sedikit sejarah. Ayahku adalah seorang tuguan[8]. Karena tak ada anak lelaki di keluarga kami, ayah sering menceritakan berbagai kisah sejarah padaku. Termasuk kisah tentang Nyonya Qi yang dipotong tangan dan kakinya, dibuat menjadi buta, bisu, dan tuli, lalu dimasukkan ke dalam gentong. Tentang Chen Ajiao yang dibuang ke istana dingin. Tentang Wei Zifu, permaisuri Kaisar Han Wu yang akhirnya berakhir dengan bunuh diri. Tentang Selir Yang yang menjadi kesayangan di antara ribuan wanita istana belakang, namun juga tak terhindar dari nasib tragis. Aku tak pernah bermimpi untuk mengikuti jejak mereka. Sejak saat masuk ke istana, yang kuinginkan hanya satu… hidup tenang! Tak perlu jabatan atau harta, apalagi yang namanya masuk ke istana belakang[9]. Asalkan dapat hidup dengan layak, bekerja saat matahari terbit, beristirahat saat matahari terbenam, maka itu sudah cukup.
Hingga hari itu!
Hari itu… “ia” datang ke gudang uang dan menanyakan beberapa hal tentang pembukuan. Takkan kupungkiri jika ini membuatku sedikit gugup dan tak tahu harus berbuat apa. Bagaimanapun, pria ini, yang berdiri di hadapanku, adalah putra langit, satu-satunya yang paling berkuasa di atas jutaan orang. Yang artinya, ia bebas berbuat apapun dengan atau tanpa alasan, termasuk memasukkanku ke penjara atau memenggal kepalaku jika aku berkata-kata salah atau apapun itu.
Tapi ia tidak. Dan setelah berbicara beberapa waktu, aku tak lagi merasa gugup ataupun takut. Mulai dari proses penerimaan dan penyimpanan uang, pengeluaran uang, pencatatan, tak terasa pembicaraan kami semakin melebar. Dari mana asal usulku, bagaimana aku masuk ke istana, dan… entah apa lagi.
Wajahnya tak dapat dibilang sangat tampan, namun cukup nyaman dilihat. Tak dapat kujelaskan apa perasaanku pada pria ini. Jelas bukanlah “Gunung tak berpuncak, air sungai mengering; Petir musim dingin bersahutan, hujan salju di musim panas; Langit dan bumi menjadi satu, baru dapat berpisah denganmu.[10]” Namun aku juga tidak membencinya, bahkan hingga sekarang. Aku hanya tahu bahwa ia tak pernah datang lagi hingga saat aku tahu bahwa aku mengandung anaknya, dan kemudian diasingkan ke sini. Hari itu, adalah pertemuan pertama dan terakhir kami.
Matahari terbit dan tenggelam, tenggelam dan kembali terbit. Tak terasa sudah lewat pertengahan bulan. Hari ini tahun ke sebelas pemerintahan Chenghua, bulan lima, tanggal sembilan belas. Hari yang tak akan pernah kulupakan. Pagi ini langit luar biasa cerah, seakan hujan semalam telah menyapu bersih semua awan kelabu. Baru masuk waktu chen[11], tiba-tiba aku mendengar keramaian di luar sana. Setelah menyembunyikan anakku, aku bergegas keluar untuk melihat apa yang terjadi.
“Yang Mulia mengirim orang untuk menjemput pangeran kecil!” ujar seorang dayang dengan gembira setengah histeris seolah akan melompat dan memelukku saat itu juga.
“Terima kasih langit, terima kasih Budha…” Seorang dayang lainnya tak hentinya mengatupkan tangan dan membungkuk-bungkuk sambil memandang ke langit.
“Tak kusangka Zhang Min akhirnya mengatakan hal itu,” ujar seorang kasim pada kasim lainnya. Yang diajak berbicara menggeleng tak percaya, “Oh, langit!”
“Apa yang terjadi?” Aku berharap mendapatkan cerita yang lebih lengkap.
“Si Zhang Min,” sahut kasim yang tadi berbicara dengan temannya. Ia berjalan ke hadapanku. “Zhang Min mengatakan soal pangeran kecil kepada Yang Mulia. Yang Mulia sangat gembira dan hendak mengutus orang untuk menjemputnya. Bisa jadi beliau sendiri juga akan ke sini. Kami berlari ke sini untuk memberi kabar lebih dahulu.”
Belum sempat aku bereaksi atas kata-katanya, sesosok perempuan masuk dari pintu, setengah berlari. Ia adalah Wu Niangniang[12], permaisuri sebelumnya yang dicelakai oleh Selir Wan sehingga dibuang ke istana dingin juga. Ia tinggal tak jauh dari sini.
“Ji Guniang!” panggilnya setengah berteriak. “Yang Mulia sudah tahu. Segera bersiap-siaplah. Mungkin sebentar lagi mereka akan tiba.”
“Oh…” Aku tak tahu harus berkata apa. Hanya mengangguk memandangi sekumpulan orang yang kacau balau ini, lalu berjalan masuk mencari anakku.
Ia sudah tahu… Akhirnya ia sudah tahu… Anakku tak perlu lagi hidup sembunyi-sembunyi di tempat ini. Ia boleh punya ayah, punya nama, punya tempat tinggal yang resmi; boleh bermain di halaman, boleh berjalan-jalan di taman. Tapi, apa yang menunggunya? Tahta? Atau petaka? Yang pasti, kematianku sudah dekat. Karena wanita itu, Selir Wan[13], ia pasti juga sudah tahu. Aku tak tahu apakah harus gembira atau bersedih. Bahkan hampir tak ada perasaan terkejut dalam hatiku. Mungkin karena aku sudah membayangkan hari ini sejak lama. Aku tahu, hari ini cepat atau lambat akan tiba.
Sudah tiba! Akhirnya waktunya sudah tiba!
“Niang,” anakku berjalan mendekat, “apa yang terjadi di luar?”
Begitu melihatnya, berbagai macam perasaan seakan meledak dalam hatiku. Ketenanganku sedetik lalu pun buyar tak berbekas, dan air mataku mulai mengalir tak tertahankan. Aku menunduk dan memeluknya erat-erat, lama sekali.
“Ayo, niang bantu menyisir rambutmu.”
Aku membenahi bajunya dan merapikan rambutnya yang panjang. Rambut yang tak pernah dipotong sejak lahir. Sayang sekali, aku tak mampu memberinya baju yang lebih bagus.
“Nak, sebentar lagi akan ada orang yang datang menjemputmu,” kataku sambil mengelus wajahnya. “Kau akan bertemu dengan seorang pria berkumis berbaju kuning. Ia adalah ayahmu. Mungkin nanti, niang tak akan bisa lagi bersamamu setiap hari. Ingat baik-baik, apapun yang terjadi, kau harus berhati-hati!”
“Kaisar tiba!” terdengar teriakan dari luar. Aku memeluk putraku sekali lagi, lalu menggandengnya keluar. Apa yang akan datang, pasti akan datang…
Pria itu sudah berdiri di halaman. Pria berbaju kuning yang berkumis. Tak jauh berbeda dengan yang ada dalam ingatanku; hanya saja, tampak sedikit lebih tua, walau baru enam tahun berlalu sejak hari itu. Ia memandang lekat-lekat ke arah kami, sorot mata yang seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Kaisar panjang umur!” Aku membungkukkan badan memberi hormat, lalu melepaskan tangan anakku dan membiarkannya berjalan menghampiri pria itu.
Tanpa menunggu sosok kecil itu tiba di hadapannya, ia sudah bergegas menghampirinya dan membungkukkan badan. Matanya memandangi anak itu lekat-lekat selama beberapa saat, lalu memeluknya erat. Air matanya mengalir sama deras dengan air mataku. “Ini putraku! Ini putraku! Aku memiliki putra!” gumamnya setengah tertawa setengah menangis. “Putraku, sungguh mirip denganku!” ucapnya lagi setengah berteriak.
Ia memandang ke arahku. Sorot matanya dipenuhi kegembiraan. Kami bertatapan entah berapa lama. Aku hanya dapat melihat air mata, di matanya, dan di mataku. Lalu segalanya menjadi semakin memudar dan memudar.
……………
Aku tak tahu lagi apa yang terjadi setelah itu. Kudengar, aku diangkat menjadi Selir Shu, dan tinggal di Yong Shou Gong, lalu meninggal satu bulan kemudian karena dicelakai oleh Selir Wan. Zhang Min bunuh diri tak lama setelah kepergianku. Anakku diberi nama Zhu Youcheng[14], diangkat menjadi putra mahkota pada bulan sebelas tahun itu; naik tahta sebagai Kaisar dua belas tahun kemudian, dengan nama tahun pemerintahan Hongzhi[15]; memerintah selama delapan belas tahun; menggunakan pejabat-pejabat yang jujur dan berbakat, memerintahkan penghematan dan mengurangi pengeluaran istana, menaklukkan Tulufan dan daerah di sebelah barat Jiaguguan, memperbaiki tembok besar untuk menangkal serangan Mongol; dan… tak ada selir di istana belakangnya, sejak awal hingga akhir, hanya ada seorang permaisuri saja.
Tentu saja, hal-hal yang terakhir ini baru kuketahui 538 tahun kemudian. Dari catatan-catatan sejarah yang kubaca sepulang dari tour ke Beijing Ming Dynasty Waxwork Palace bulan lalu. Beijing Ming Dynasty Waxwork Palace, tempat di mana aku kembali melihat pemandangan hari itu. Hari di mana putra kecilku bertemu dengan ayahnya. Pemandangan yang membuka semua batas mimpi dan ingatan.
Siapa memimpikan siapa? Siapa memerankan siapa? Apakah Zhuangzhou bermimpi menjadi kupu-kupu? Atau kupu-kupu yang bermimpi menjadi Zhuangzhou?[16]
=====================================================
Catatan kaki :
[2] Istana dingin : sebutan untuk tempat mengurung/membuang permaisuri atau selir kaisar yang dihukum atau dicopot jabatannya; istana dingin bukanlah merupakan sebuah tempat khusus, melainkan bisa di mana saja, asalkan ada wanita kaisar yang diasingkan di sana, maka tempat itu adalah “istana dingin”
[3] Guniang (姑娘) : kata sapaan untuk wanita
[4] Hari Duanyang (端阳节) : festival perahu naga, bulan 5 tanggal 5 kalender pertanian (kalender imlek)
[5] Waktu You (酉时) : pukul 17:00 s/d 19:00
[6] niang (娘) : ibu
[7] Terbang ke ujung ranting dan berubah menjadi fenghuang (飞上枝头当凤凰) : perumpamaan yang sering digunakan untuk wanita; artinya: mendapat peningkatan status sosial yang signifikan (dalam konteks cerita ini, artinya menjadi wanita Kaisar atau bangsawan sehingga menjadi lebih terhormat)
[8] tuguan (土官) : pejabat wilayah
[9] istana belakang : istana tempat kediaman wanita-wanita kaisar / selir.
[10] Gunung tak berpuncak, air sungai mengering; Petir musim dingin bersahutan, hujan salju di musim panas; Langit dan bumi menjadi satu, baru dapat berpisah denganmu (山无陵,江水为竭;冬雷震震,夏雨雪;天地和,乃敢与君绝) : bait dalam sajak Shang Ye (上邪), lagu cinta di jaman Dinasti Han yang menggambarkan janji kesetiaan seorang wanita terhadap kekasihnya.
[11] waktu chen (辰时) : pukul 07:00 s/d 09:00
[12] Niangniang (娘娘) : kata sapaan hormat untuk memanggil ibu suri, permaisuri atau selir istana
[13] Selir Wan (万贵妃) : selir dari Kaisar Chenghua (成化), memiliki nama kecil Wan Zhen’er (万贞儿); terkenal kejam dan pencemburu, sering mencelakai selir-selir lain agar keguguran, atau membunuh anak dari selir-selir lain agar tak mendapat saingan, karena anaknya sendiri meninggal waktu masih bayi
[14] Zhu Youcheng (朱祐樘) : kaisar ke 9 dinasti Ming, kemudian dikenal dengan gelar Ming Xiaozong (明孝宗)
[15] Hongzhi (弘治) : nama tahun pemerintahan Zhu Youcheng
[16] Zhuangzhou (庄周) alias Zhuangzi (庄子) adalah seorang filsuf terkenal di jaman Zhanguo (jaman negara-negara berperang). Suatu kali, ia bermimpi menjadi seekor kupu-kupu, dan setelah bangun ia berpikir, apakah dalam mimpi itu, ia yang berubah menjadi kupu-kupu, ataukah kupu-kupu yang bermimpi menjadi dirinya.
Oleh : Jianying – 剑影
Budaya-Tionghoa.Net | Facebook Group Budaya Tionghoa |