Budaya-Tionghoa.Net| Telah disebutkan dalam Kronologis bagian 1 bahwa pada dasarnya hubungan dan arus migrasi dapat dibagi 3 bagian besar yaitu :
1. Jaman pra Han hingga Ming.
2. Jaman Kolonialisme Belanda ( Ming akhir dan dinasti Qing ).
3. Jaman Republik.
Masa pra Han hingga Ming
Pada masa pra Han hingga jaman Ming, mayoritas migrasi lebih karena factor perdagangan dan agama serta huru-hara politik, seperti kejadian Huang Chao 黃巢, kejatuhan dinasti Song dan mencari kehidupan lebih baik, ada juga yang diundang oleh kerajaan Tiongkok dan juga utusan yang dikirim kerajaan Tiongkok ke kerajaan-kerajaan di Nusantara yang pada umumnya membawa rombongan dan tidak semua rombongan itu kembali ke negara asalnya.
Secara garis besar ada empat penyebab arus migrasi :
1. Pelayaran perdagangan masa lampau mengandalkan angin muson sehingga mereka perlu menetap hingga 6 bulan untuk menunggu datangnya angin itu, menyebabkan adanya pembangunan gudang-gudang barang dan untuk itu diperlukan orang-orang yang menetap dalam jangka waktu cukup panjang untuk menjaga gudang itu, selain itu juga bisa melakukan transaksi jual beli atau karena merasa mendapat kehidupan yang lebih baik di tanah baru sehingga tidak kembali ke negara asal.
2. Pergantian dinasti mengakibatkan penguasa baru tidak merasa aman dengan para pejabat dan keluarga dinasti lama dan jika terjadi perlawanan maka akan ditindas, sehingga para pendukung dinasti lama ada yang melarikan diri sampai ke Asia Tenggara atau membentuk gerakan perlawanan di daerah yang jauh dari kekuasaan kerajaan yang baru.
3.Para bajak laut yang melawan kekuasaan kerajaan yang berbasis feodalisme, pada umumnya para bajak laut itu adalah mereka yang kehilangan pekerjaan sebagai tukang atau juga kehilangan tanahnya yang disebabkan oleh para pejabat yang korup. Para bajak laut itu biasanya menjadi buronan sehingga tidak bisa mendarat lagi di pesisir Tiongkok dan menyebar ke Asia Tenggara.
4. Mereka yang menjadi korban penculikan dan dijual sebagai budak di wilayah luar Tiongkok, seperti yang ditulis oleh Zhou Qufei 周去非 pada masa dinasti Song.
Pelarangan berlayar beberapa kali dikeluarkan oleh kerajaan Song, Yuan dan Ming dengan memiliki alasan antara lain adalah mencegah bajak laut, mencegah brain drain, mengontrol perdagangan oleh pemerintah pusat, walau dilarang hingga pada masa dinasti Qing, tidak mengurangi antusias masyarakat untuk berlayar mengarungi lautan menempuh hidup baru. Tapi ada satu alasan lain yaitu dengan tersambungnya ‘kanal besar’ maka transportasi di daratan Tiongkok tidak perlu lagi menyusuri lautan. Larangan melaut pada masa dinasti Ming ini merugikan hubungan diplomatic dan perdagangan antara Tiongkok dan negara-negara di Asia. Masa pelarangan dinasti Song dan Yuan biasanya berumur pendek, tidak berkepanjangan seperti pada masa dinasti Ming dan dilanjutkan pada masa dinasti Qing.
Masa Qing dan Republik
Akhir jaman Qing, ada dua tujuan dari emigrasi, pertama ke Amerika, ke dua ke Asia Tenggara. Pada masa Qing, Asia Tenggara juga disebut Nanyang, termasuk Singapore, Malaysia dan 11 negara lainnya. Asia Tenggara adalah tujuan emigrasi dari masyarakat Tiongkok sejak jaman dahulu. Pada masa dinasti Tang dan Song, perdagangan laut Tiongkok hingga Asia Tenggara itu perdagangannya amat ramai dan padat. Awal abad ke 15, di Jawa dan Sumatra sudah ada kantong-kantong komunitas Tionghoa. Pada masa pertengahan dinasti Ming, pemerintah (Ming) mengeluarkan maklumat pelarangan pelayaran berkali-kali, tapi dikarenakan perdagangan yang amat ramai, orang-orang yang ke Asia Tenggara semakin bertambah tidak berkurang.Kemudian menjadi skala bahkan mempengaruhi kegiatan migrasi hingga sekarang, ini yang menjadi gelombang yang disebut“turun ke Nan Yang” pada periode antara 1840 hingga 1919.
Pada saat Belanda menguasai perdagangan di Nusantara dan membangun Batavia, sering erjadi penculikan dan perampasan terhadap kapal-kapal niaga terutama dari Tiongkok dan para penumpangnya sering diculik untuk dijadikan budak.
Gelombang emigrasi yang disebabkan kemiskinan dan kekacauan oleh perang.
Jika masa pra Qing, arus migrasi jarang disebabkan kekacauan perang dan kemiskinan, hal ini berbeda pada saat dinasti Qing berkuasa yang melakukan represi besar-besaran sehingga mengakibatkan terjadinya pelarian politik besar-besaran dan juga menghindari perang, pemberontakan dan bencana alam. Selain hal itu adalah kolonialisme memerlukan para tukang dan kuli yang kebanyakan diimpor dari Tiongkok, tukang dan kuli itu adalah masyarakat miskin yang mencoba nasib di tanah yang baru dan kemudian menetap dan membentuk kantong-kantong komunitas yang berinteraksi dengan baik dengan penduduk setempat hingga terjadinya huru-hara Batavia 1740 yang melahirkan kantong-kantong komunitas Tionghoa yang disekat dan dibentengi dengan penduduk setempat.
Kekalahan dinasti Qing pada “Perang Candu” mengundang nafsu negara-negara barat untuk mendapatkan wilayah Tiongkok dan menghasilkan perjanjian-perjanjian tidak adil yang menyebabkan keruntuhan ekonomi dan terjadinya pengangguran serta pemberontakan dalam negri seperti pemberontakan Taiping (太平天國起義), perlawanan dari Serikat Hong (洪門起義), Serikat Langit dan Bumi (天地會) dan masih banyak lainnya hingga puncaknya adalah “Gerakan Boxer”( 義和團運動 ) yang bertujuan melawan imperialism barat. Perjanjian-perjanjian tidak adil itu juga menyebabkan adanya “Kuli Kontrak Tionghoa” (契約華工) yang kadang disebut “Menjual Babi untuk Jadi Kuli” (賣豬仔當苦力) untuk menggantikan peran budak-budak dari Afrika yang mulai menurun saat memasuki abad ke 18 dan 19 khususnya di Amerika.
Nasib para kuli kontrak itu menyedihkan dan penuh kegetiran, korban penipuan, pemerasan dan penindasan baik dalam perjalanan menuju dan saat di tanah barunya, sehingga beberapa kali melahirkan perlawanan terhadap penindasan mereka. Pada abad ke 17 dan awal abad 18 diperkirakan ada sekitar 1,5 juta orang Tionghoa di Asia Tenggara dan pada abad ke 19 tahun 60an diperkirakan ada 2 juta ‘kuli kontrak’ Tionghoa di Asia Tenggara, jumlah ini meningkat seiring dengan dibutuhkannya tenaga tukang untuk pertambangan, industry, pertanian di wilayah-wilayah colonial barat dan Amerika di akhir abad 19.
Pada saat berdirinya Republik Tiongkok di tahun 1912, gelombang migrant tetap berlanjut terutama disebabkan oleh perang saudara (era panglima militer 軍閥時代). Pasca perang dunia ke 1, antara tahun 1922 hingga 1939, gelombang migrasi tidak berkurang bahkan mencapai puncaknya. Diperkirakan jumlah migran yang merantau ke luar dari Xiamen ( Amoy ) dan beberapa pelabuhan lainya, jumlah migran melebihi 5 juta dan tersebar ke seluruh dunia. Saat Jepang menginvasi Asia Tenggara, banyak kaum migrant Tionghoa kembali ke Tiongkok.
Dengan melihat perbedaan-perbedaan mencolok arus migrant antara pra Qing dan masa Qing serta pasca Qing hingga tahun 1949, kita bisa melihat bahwa pada masa Qing, mereka yang merantau itu sebagai kuli kontrak dan berjuang keras agar bisa bertahan hidup. Generasi Tionghoa sekarang mungkin tidak bisa membayangkan bagaimana penderitaan dan upaya mereka saat itu untuk bisa bertahan dan menjadi bagian dari wilayah Nusantara.
Jejak Keberadaan Tionghoa
Pada umumnya orang Tionghoa yang merantau ke Nusantara pada masa lampau amat jarang membawa perempuan walau ada banyak pedagang Tionghoa yang membawa ‘geisha’ berlayar meninggalkan tanah kelahirannya tapi itu merupakan kasus langka. Mereka yang menetap itu biasanya memperistri perempuan lokal dan beranak pinak juga ada yang membentuk huiguan 會館 atau gedung perkumpulan yang biasanya berbentuk ‘kelenteng’ seperti misalnya Tianfu Gong di Singapore, Tai Kak Sie di Semarang. Kelenteng itu adalah salah satu jejak artefak keberadaan Tionghoa yang selain bersifat spiritualitas juga merupakan tempat berkumpul dan menyelesaikan serta merundingkan permasalahan yang mereka hadapi.
Untuk bisa melihat dengan gamblang jejak hubungan ini, bisa dengan melihat tabel yang telah dibuat dan semoga dengan kata pengantar dan tabel itu membuat para pembaca menyadari bahwa hubungan yang terjalin itu sudah berlangsung ribuan tahun, pasang surut hubungan selalu ada tapi harmonis itu selalu ada dan semangat “Bhinneka Tunggal Ika” sejalan dengan semangat orang Tionghoa “和而不同” ( harmonis dalam perbedaan ) yang menunjukkan semangat yang sama.
Ini adalah beberapa catatan yang berdasarkan sebagian catatan-catatan Tiongkok tentang hubungan itu yang ditulis sejak dinasti Han hingga sekarang.
( Lengkapnya lihat Tabel Tahun Dinasti )
Baca juga [Bagian 1] dan [Bagian 2]
Oleh : Ardian Cangianto
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa