Bukankah dalam budaya Tionghoa yang berlandaskan Konfusianisme , bakti adalah yang terutama (Pek sian hau uie siu/Bai shan xiao wei shou, yang artinya “Dari berbagai kebajikan, baktilah yang terutama”).
Manusia yang tidak berbakti (put hau/bu xiao) adalah sama saja dengan manusia terkutuk dalam pandangan Tionghoa.
Bakti itu harus ditunjukkan lewat berbagai cara, antara lain dengan menghormati dan merawat orangtua selama hidupnya, memakamkannya dengan berbagai upacara sesuai kedudukan sosial orangtua dan anak- anaknya, pada waktu orangtua meninggal, serta.
Yang tidak boleh dilupakan, mengenang jasa-jasa orangtua yang telah meninggal dengan menghormatinya (bukan memujanya!) di sebuah altar yang disebut “meja abu” pada waktu-waktu tertentu.
Menjaga nama baik orangtua sehingga tidak tercemar oleh perbuatan kita yang negatif juga termasuk perilaku berbakti (hau/xiao) yang wajib hukumnya.
Nah, meratapi orang yang meninggal termasuk ekspresi bakti (hau/xiao) seorang anak terhadap orangtua atau kakek-neneknya.
Juga pemakaian pakaian berkabung (toa-ha/dai xiao) yang dibalikkan, memakai ikatan kepala untuk laki-laki dan penutup kepala untuk perempuan, tidak memakai alas kaki, tidak keramas, tidak tidur di sebelah peti mati menemani jenazah beramai-ramai, tidak memotong rambut selama jangka waktu tertentu, dll. semua termasuk ke dalam simbolisme-simbolisme yang mengekspresikan rasa bakti dan kehilangan orang yang sangat dicintai.
Saya pernah mendengar, dalam budaya Tionghoa tradisional, rasa gembira dan sedih harus diekspresikan dengan suara. Orang Tionghoa jaman dulu tidak bertepuk tangan bila menonton suatu pertunjukan yang bagus, opera atau pertandingan silat, misalnya.
Tapi mereka mengeluarkan suara yang seakan-akan teriak-teriak untuk menunjukkan kekagumannya.
Begitu pula kalau bersedih, mereka mengeluarkan suara ratapan (orang Hokkian menyebutnya “khauw”? ) untuk menyatakan kesedihan mereka.
Berbeda dengan budaya Barat, hanya pada waktu gembira mereka “boleh” berteriak kegirangan, namun dalam suasana duka kesedihan itu sedapat mungkin harus ditahan. Kita lihat itu di film-film keluaran Amrik.
Orang Tionghoa baik di Indonesia, kebanyakan yang di kota-kota besar, yang sangat terpengaruh budaya Barat, terutama sejak 1965-1967, maupun mungkin yang di luar negeri akibat globalisasi (?), menjadi semakin terasing dengan tradisi seperti itu dan lalu menganggapnya aneh.
Kok orang meninggal diratapi! Keras-keras lagi! Padahal itulah budaya Tionghoa tradisional, entah budaya Tionghoa modern bagaimana?
Kiongtjhioe/Gongshou,
DK
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa