Rasisme yang saya anggap ada dalam diri setiap manusia adalah kemampuan untuk membedakan ras, bukan kebencian atas ras. Tidak mungkin kita bisa membenci tanpa sebab jelas. Rasa benci tidak diturunkan gen. Lain halnya dengan rasa takut yang merupakan insting dasar manusia.
Cemburu itu bisa terhadap apa saja dan cemburu merupakan hak manusia.
Kebencian atas ras tertentu sudah jelas di pupuk. Entah dipupuk karena trauma pribadi atau karena digariskan oleh nilai norma yang dianut mayoritas. Masalahnya sebenarnya bukan kecemburuan status ekonomi. Itu hanya kebetulan yang terjadi di Indonesia wilayah Barat saja.
Saya melihat tergantung apa yang menjadi nilai dalam masyarakat. Kalau kawasan itu lebih penting agama, maka agama menjadi pangkal dari pertikaian. Kalau ekonomi, ekonomilah yang ditunding. Kalau yang dihargai itu adalah warna kulit, maka itu akan jadi faktor ‘X’ nya.
Faktor-faktor X itu hanya alasan saja. X itu bisa dicari pembenarannya atau diciptakan seolah menjadi benar. Misalnya dahulu para ilmuwan bisa saja menciptakan teori warna kulit tertentu lebih lemah, jadi harus dihilangkan dan diganti warna kulit lain saja. Kalau tidak suka bangsa A, bikin saja ceritanya. Polanya selalu sama, pasti yang paling mayoritas yang paling benar atau superior. Di negara yang mayoritasnya belum kaya, pasti orang kayanya yang menjadi masalah dan harus diberangus.
Kalau perbedaan itu dipermasalahkan (timbul sentimen atas perbedaan itu), apapun bisa dipicu dari sana. Entah ekonomi, agama, warna kulit, bentuk rambut, susunan gigi sampai mungkin lirikan mata, hembusan napas bisa bikin pertumpahan darah.
Kalau menurut saya, secara alami semua orang itu diskriminatif. Kalau diskriminasinya ditujukan pada ras, maka semua orang itu rasis. Manusia itu dari instingnya sudah diskriminatif, mungkin bahkan sudah terpatri dalam DNA (sudah rumusnya begitu). Sesama tingkat sel saja saling sikat, yang asing langsung dibunuh oleh apa yang disebut antibodi.
Manusia memproteksi diri dengan membentuk keluarga sendiri (kaumnya) yang dianggap “aman” dan menolak orang asing. Makin besar lagi ke society, manusia itu menganggap bangsanya yang “aman”; bangsa luar pasti ancaman bagi bangsanya.
Solusi tergampang (respon alami) agar tidak ada masalah perbedaan adalah menghilangkan perbedaan itu. Oleh karena itu, sejak dahulu ada solusi total untuk menghilangkan perbedaan. Dari sepanjang perkembangan jaman asal manusia (homo sapiens menghabisi hominid lain yang berbeda), sampai solusi total jaman modern: NAZI, Serbia war, Rwanda.
Hal yang sama juga akan terjadi kalau kita terlena dengan batasan paham sekularisme dan toleransi-isme yang mengguyur kita, tetapi menjauhi apa yang seharusnya dipahami, yaitu akar dari perasaan (kebencian) rasis kita.
Kalau kita telah memahami inti dari masalah maka kita bisa menekannya dengan cara lebih tepat. Misalnya seorang yang terlahir dengan kelainan genetis, sebut saja kebotakan, bisa dicegah atau diobati dengan pengobatan tepat yaitu melalui genetis juga, bukan menutupinya dengan rambut palsu atau memakai ramuan penumbuh buatan Rudi yang memberikan temporer solution.
Sama halnya bila kita memilih membungkus (kecenderungan rasis – red) dengan ajaran moral. Hal itu hanya membuat kita hanya memakai rambut palsu, bermain bulu tangkis bersama sampai ada sesuatu nilai atau ajaran yang lebih kuat yang membuat kita berbalik keyakinan seratus delapan puluh derajat.