Budaya-Tionghoa.Net |Pada bulan Desember 1899, setelah beberapa kali percobaan yang gagal untuk membersihkan kota tersebut, Inggris mengumumkan yurisdiksi mereka akan diperluas hingga mencakup pejabat Tiongkok yang berhaluan kiri. Kota ini menjadi terisolasi. Sementara sebagian disewakan untuk aktifitas gereja, lembaga amal, namun banyak bagian yang ditinggalkan sampai rusak dan tak dapat diperbaiki kembali. Pada tahun 1940 hanya tinggal Sekolah Lung Chun, gerbang jalan masuk sekolah tersebut dan satu rumah pribadi yang tersisa.
Ketika Jepang menyerbu dalam perang dunia kedua, mereka menghancurkan bagian tertua dari Walled City , dan temboknya lalu digunakan dalam pengerjaan Bandara Kai Tak. Tapi upaya penghancuran itu tidak mencegah pengungsi Tiongkok yang berbondong-bondong membanjiri situs tersebut setelah perang.
Harga sewa yang rendah, dan tidak ada kekhawatiran tentang pajak, visa atau izin. Pada tahun 1947 terdapat 2.000 kamp liar di tempat itu. Kemudian diikuti oleh bangunan permanen, dan pada tahun 1971, 10.000 orang menempati 2.185 tempat tinggal.
Pada akhir tahun 1980-an, kota itu adalah rumah bagi 35.000 orang. Pemerintah berusaha untuk membersihkan kota beberapa kali, tetapi pada setiap kesempatan warga selalu mengancam akan membuat insiden diplomatik.
Sikap mereka itu berguna untuk melindungi bisnis mereka dari hidung pemerintah – dan adalah bahwa kota tersebut merupakan bagian dari China dan tidak akan pernah menjadi milik Hong Kong. Dan untuk menghindari rusaknya hubungan Sino-British, pemerintah memilih lepas tangan akan masalah tersebut.
Walled City sekali lagi menjadi sarang kegiatan kriminal. Sarang opium dan heroin pun berdiri, rumah bordil dan restoran anjing semua tumbuh dengan pesat dan jumlahnya berlipat ganda di tahun 50an dan 60an, namun polisi biasanya menutup mata. Ada tiga alasan untuk itu – pertama polisi dilumpuhkan secara politik, kedua beberapa disuap dan yang ketiga daerah itu terlalu berbahaya.
Kekuasaan yang sesungguhnya terletak di tangan triad. Tetapi posisi tersebut berubah di 70-an, ketika gelombang kampanye anti-korupsi berhasil menghilangkan elemen kriminal di dalam pihak berwenang. Karena tak lagi mendapat perlindungan, triad menjadi lemah.
Ketinggian Walled City naik seiring dg pertumbuhan bangunan-bangunan di Hong Kong. Pada tahun 1950, perumahan biasanya terdiri dari kayu dan batu yang rendah. Pada tahun 60-an, bangunan beton dari empat atau lima lantai muncul. Dan di 70-an, banyak yang digantikan dengan blok 10 lantai atau lebih.
Tempat ini menjadi berantakan dan berhimpitan, dengan bangunan begitu dekat satu sama lain sehingga dalam beberapa hal sampai tak mungkin membuka jendela.
Harga sewa yang rendah juga berarti banyak pabrik kecil, produsen mainan, barang-barang plastik dan makanan antara produk-produk besar. Pabrik-pabrik tersebut mungkin membawa keuntungan bagi pemiliknya, tetapi mereka juga menghasilkan lebih banyak sampah, bahaya kebakaran dan polusi kota.
Campur tangan terbatas oleh pemerintah juga berarti kesejahteraan yang terbatas. Selain pelayanan kota yang mendasar seperti pengumpulan sampah, warga harus bergantung pada satu sama lain untuk mempertahankan kondisi kehidupannya. Hal ini menghasilkan suatu komunitas orang-orang yang erat hubungannya dan bersedia untuk saling mendukung.
Nasib Walled City akhirnya diputuskan pada bulan Januari 1987, ketika pemerintah mengumumkan rencana untuk menghancurkannya.
Setelah proses penggusuran yang sulit, pembongkaran dimulai pada bulan Maret tahun 1993 dan selesai pada bulan April 1994. Lalu Kowloon Walled City Park dibuka di lokasi pada bulan Desember 1995.
Tetapi beberapa artefak dari Walled City, termasuk bangunan Yamen, tetap dipertahankan. Bangunan tersebut dibangun di awal tahun 1800 dan berfungsi sebagai markas militer. Sisa-sisa Gerbang Selatan juga dilestarikan.
Tetapi walaupun telah dihancurkan, kenangan akan Walled City – dan semangatnya – masih hidup di dalam hati banyak Hongkongers. Bisa dikatakan bahwa sekarang kita telah kehilangan beberapa rasa bermasyarakat dan solidaritas sosial yang pernah terlihat di sana.
Ketika dibesarkan di sana, Albert Ng Kam-po dan teman-temannya naik ke atap dan menerbangkan layang-layang yang hampir dapat menggores perut pesawat saat mereka turun ke Bandara Kai Tak di seberang jalan. “Kami tidak tahu jika itu sangat berbahaya,” kata Ng, 45, sekarang menjadi seorang pendeta Evangelical Community Church di sebuah pulau berbahasa Inggris di Quarry Bay.
“Kami bermain ping-pong di lorong. Anak-anak akan naik ke atap dan melompat dari gedung ke gedung, atau kita akan menyeret kasur yang akan dibuang ke atap dan melompat-lompat di atasnya. Itu adalah masa-masa yang bahagia.”
Ida Shum mantan penduduk sekarang berusia 62 tahun dan tinggal di Hung Hom, setuju bahwa beberapa orang paling buruk dan paling miskin di Hong Kong tinggal di sana. Dia mengatakan itu adalah surga bagi kelompok triad seperti 14K dan Sun Yee On, yang iri menguasai wilayah mereka. Tapi dia juga mengatakan ada lebih di Walled City dibanding hal itu.
Dia ingat bagaimana ketika hujan, jalan itu hampir selalu banjir. Air akan naik ke lutut orang dan sampah akan mengapung di sekitarnya, tetapi penduduk hanya berjalan melaluinya dengan kaki telanjang mereka. Tidak ada masalah buat mereka, tidak peduli betapa sulitnya, dapat mereka atasi.
Shum menggambarkan bagaimana tetangganya selalu membantunya mengurus anak-anaknya dan mereka memasak untuk satu sama lain. Hal ini memungkinkan dia untuk fokus pada pekerjaannya dan mendapatkan uang untuk memberi nafkah keluarganya.
“Kita semua memiliki hubungan yang sangat baik dalam kondisi yang sangat buruk. Bahkan sekarang, banyak orang tetap saling berhubungan satu sama lain meskipun beberapa kawan lama telah pindah ke luar negeri,” kata Shum.
“Orang-orang yang tinggal di sana selalu setia satu sama lain. Dalam Walled City, sinar matahari selalu muncul setelah hujan.”
Diterjemahkan oleh : Diah Putri Chendra
Artikel ini pertama kali muncul di South China Morning Post edisi cetak pada 16 Mar 2013 “Living in the City of Darkness”.
Lihat juga Bagian 1
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa