Chu Teng Ko, tokoh yang membantu Republik Indonesia
Pada masa revolusi fisik ( 1945-1949 ), tidak sedikit orang Tionghoa yang turut terjun membantu kaum republic melawan Belanda. Salah satunya adalah Chu Teng Ko yang membantu perjuangan kaum republic di Medan. Chu adalah mantan tentara KMT ( Kuo Min Tang ) yang meninggalkan Tiongkok pada tahun 1926-1927 pada usia 17 tahun dengan status deserter. Chu adalah orang Shandong yang umumnya bertubuh tinggi besar. Di Medan, Chu bekerja sebagai pedagang yang memasok barang2 dagangan dari Singapore ke Medan dengan kapal2 milik pengusaha Tionghoa lain. Ia termasuk tokoh yang disegani, ringan tangan dan sering membantu usaha orang Tionghoa yang kesulitan karena mendapat gangguan preman dan perlakuan diskriminatif aparat pemerintah.
Chu berteman baik dengan kaum Republiken dari Medan seperti Selamat Ginting, Xarim M.S dan Bedjo maupun kaum Republiken dari Aceh seperti Abdullah Arsjad, M.Natsir dan mayor Maliki. Mereka semua dan pejuang Aceh memanggil Chu, “Tengku”, bukan karena mirip nama belakangnya, tapi panggilan yang diberikan oleh orang2 Aceh sahabatnya.
Selama masa revolusi fisik itu, Chu membantu para pejuang Aceh untuk menjamin ketersediaan barang2 yang diperlukan dan juga bertukar informasi. Chu sendiri berkali2 menyelamatkan orang2 Aceh yang kerap dituduh penyusup dari sergapan patroli PAT dan Belanda sehingga ia dimusuhi oleh PAT dan diintai Belanda, tapi ia tetap mendapat dukungan dari kelompok Shandong.
Ada hal yang menarik, pada tahun 1946-1948, orang2 Tionghoa Medan mengenal nama “Bos Centung” dari suku Lenga Hokian, tapi tidak ada satupun yang tahu siapa sebenarnya boss ini. Boss ini dikabarkan sangat akrab dengan Chu dan boss ini sering membantu pendanaan laskar dalam komando Xarim M.S. Bahkan memuluskan aksi penyusupan laskar ke kota untuk mengamati keadaan dan memetakan posisi pertahanan Belanda. Chu Teng Ko tidak pernah berkomentar siapa Bos Centung itu tapi dari pembicaraan dengan teman2 Chu mengisyaratkan bahwa Bos Centung itu adalah Chu Teng Ko.
Sumber : Nasrul Hamdani,”Komunitas Cina di Medan. Dalam Lintas Tiga Kekuasaan 1930-1960”, 2013, Jakarta : LIPI Press