foto ilustrasi : bing
Penyerbukan Silang Antarbudaya: Sebuah Strategi Kebudayaan
Saat ini ada kebutuhan yang mendesak dalam kehidupan kebangsaan kita. Globalisasi dengan berbagai pernah-perniknya sudah menjadikan kita saling mengenal tidak hanya antar budaya yang ada di Indonesia melainkan juga pertemuan dengan budaya-budaya yang datang dari bangsa-bangsa lainnya. Pertemuan antarbudaya ini tak terhindarkan Sebagai bangsa yang memiliki jumlah penduduk terbesar keempat di dunia adalah keharusan untuk terus-menerus memutakhirkan diri, di mana pertemuan budaya yang terjadi idealnya membawa berkah bukan sebaliknya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya yang berkenaan dengan proses komunikasi dan informasi, akan lebih menjadikan pertemuan antarbudaya lebih fresh dan intensif. Sebuah budaya tidak mungkin dapat bertahan dalam isolasi.[1] Untuk itu kebutuhan akan sebuah strategi kebudayaan menjadi hal yang niscaya dan dengannya kehidupan bersama dapat terus diperbaiki. Demikian pesan Jakob Oetama, pendiri Kompas:
Kita perlu membahas pembangunan kebudayaan dikaitkan dengan upaya memperbaiki kemampuan. Kemampuan untuk apa? Untuk recovery, bangkit dari kondisi serba krisis dan kritis. Bangkit untuk memperbaiki kehidupan bersama. Bangkit untuk kesejahteraan, yakni kebebasan, keadilan, solidaritas.[2]
Di sini kami bermaksud memperkenalkan sebuah strategi baru dalam mendekati persoalan kebudayaan sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya. Strategi ini berangkat dari sebuah asumsi bahwa kebudayaan adalah perilaku bersama yang sudah mendarah daging dalam kehidupan kita sehari-hari. Strategi ini kami namakan Strategi Penyerbukan Silang Antarbudaya (Cross Cultural Fertilization). Strategi ini adalah jalan terbaik untuk bisa mengatasi persoalan budaya yang membuat bangsa Indonesia belum beranjak dari ketertinggalannya. Dengan jalan penyerbukan silang antarbudaya, etos kerja positif yang dimiliki satu kelompok bisa diambil dan diterapkan sehingga melahirkan sebuah budaya baru, etos baru dalam bingkai bangsa dan negara Indonesia. Apalagi Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk dengan tingkat keberagaman yang tinggi.[3]
Keberagaman budaya yang dimiliki bangsa ini bisa menjadi modal besar untuk mendorong kemajuan bangsa ini sampai ke level yang lebih tinggi dari yang ada sekarang. Etos kerja warga Tionghoa yang gigih, tekun dan pantang menyerah bisa dijadikan pelajaran bagi penumbuhan etos kita bersama sebagai sebuah bangsa.[4] Pun begitu dengan warga Batak yang memiliki tekad keras guna meraih mimpinya, serta kesungguhannya di dalam mempelajari ranah hukum, bisa diadopsi oleh warga Sunda yang memiliki kelembutan di dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Sama halnya dengan ketabahan suku Jawa yang bisa dipelajari oleh suku Bugis dan Makassar. Semangat berlajar dan merantau dari Makassar dan Bugis dapat dipelajari juga oleh warga yang berada di Bali. Sungguh sebuah pemandangan yang akan menyejukkan dan berakibat pada bangkitnya budaya Indonesia yang kuat ketika terjadi proses saling-belajar di antara budaya-budaya yang ada. Masing-masing sub-etnik bangsa ini memiliki kelebihan tersendiri. Bila masing-masing kelebihan itu diserbukkan, maka yang akan lahir adalah budaya unggul bangsa Indonesia.
Di samping menyerbukkan budaya-budaya lokal yang ada, juga kita harus terbuka untuk menyerbukkan budaya kita dengan budaya-budaya unggul yang berasal dari bangsa lainnya. Seperti persolan kesungguhan dan kegigihan bekerja, kita bisa belajarnya dari bangsa Jepang. Adapun terkait dengan persoalan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kita bisa belajarnya dari Jerman ataupun Amerika. Jadi melalui penyerbukan silang antarbudaya kita belajar dari dalam negeri (inward looking) dan pada saat yang bersamaan belajar juga dari luar (outward looking).
Ide penyerbukan silang antarbudaya ini berbeda dengan ide asimilasi budaya atau multikulturalisme. Ide asimilasi budaya yang secara politik digulirkan oleh Partai Tionghoa Indonesia (PTI) sejak tahun 1932 yang kemudian mendapat sambutan positif dari pemerintahan sejak tahun 1960 dan dipraktekkan dengan massif pada era Orde Baru berangkat dari pandangan bahwa budaya minor dalam hal ini budaya Tionghoa harus masuk ke dalam budaya mayor.[5] Maka sejak saat itu, banyak warga keturunan Tionghoa yang berubah nama menjadi nama yang Jawa dan lain sebagainya sebagai bagian dari implementasi gagasan asimilasi. Ide ini tidaklah buruk, akan tetapi untuk konteks saat ini perlu ditinjau kembali sesuai dengan konteks kekinian. Dalam konsep asimilasi masih ada anggapan budaya mayoritas dan budaya minoritas, jadi sebuah budaya dilihat bukan dari sisi kualitasnya melainkan dari kuantitasnya. Ini berbeda dengan ide penyerbukan silang antarbudaya yang berangkat dari kualitas masing-masing budaya, sehingga tidak perlu dipersoalkan apakah budaya itu minoritas asalkan ia memiliki keunggulan maka dapat kita pelajari juga.
Ide penyerbukan silang antarbudaya juga berbeda dengan ide multikulturalisme. Praktek multikulturalisme yang diterapkan di Kanada dan Australia juga di sebagian negara-negara Eropa tidaklah cocok bila diterapkan di Indonesia. Ide multikulturalisme yang berangkat dari pandangan bahwa masing-masing budaya diberikan kebebasan untuk tumbuh berkembang sesuai dengan keunikannya masing-masing. Ibarat taman yang ditanami banyak pohon, demikian itulah multikulturalisme. Masing-masing budaya yang ada tumbuh sesuai dengan kediriannya. Tidak ada dialog yang mendalam apalagi usaha saling melebur dalam gagasan tersebut.
Nah, yang dibutuhkan Indonesia dengan berbagai budayanya yang unik adalah penyerbukan silang antarbudaya. Masing-masing budaya positif dapat dileburkan sehingga menjadi budaya unggul yang dapat terus tumbuh mengharumkan tanah Indonesia. Untuk memulainya, kita perlu memaksimalkan pendidikan yang menghargai pembentukan karakter yang dimulai dari level anak-anak sampai kalangan orang tua, termasuk para guru yang terlibat dalam proses pendidikan dan pengajaran.
Implementasi Penyerbukan Silang Antarbudaya
Pendidikan adalah media paling efektif untuk membentuk karakter manusia. Dengan pendidikan yang baik seseorang bisa tumbuh besar menjadi pribadi tangguh yang akan mendorong kebangkitan suatu bangsa. Untuk itu, ide penyerbukan silang antarbudaya akan dimulai dari kesadaran akan pentingnya pendidikan karakter bagi seluruh peserta didik, khususnya anak-anak. Peserta didik diberikan pengetahuan mendasar mengenai pentingnya semangat belajar dari manapun. Ia dididik dari awal untuk mau belajar dan terbuka belajar dari orang lain. Modal pendidikan karakter inilah yang kelak akan berguna bagi lahirnya generasi baru Indonesia yang sadar akan pentingnya penyerbukan silang antarbudaya.
Terkait pendidikan budi pekerti ini sesungguhnya bangsa kita memiliki sumber yang sangat kaya, salah satu di antaranya adalah pendidikan budi pekerti yang diajarkan di sekolah-sekolah Tionghoa. Materi pendidikan budi pekerti tersebut dinamakan Dì Zi Gui.[6] Di dalamnya berisi ajaran nilai-nilai budi pekerti untuk anak-anak dan remaja. Buku tersebut dilengkapi panduan serta tata cara pembelajaran nilai-nilai budi pekerti. Di dalamnya berisikan 34 nilai-nilai utama yang diajarkan bagi para murid, mulai dari ajaran bagaimana bersikap yang baik di hadapan orang tua, cara menyampaikan kasih sayang, sopan santun dengan saudara, menghargai waktu, sikap berlaku hemat, bersikap lembut dan penuh perhitungan, amanah dan jaga lidah, menghindari gossip, introspeksi dan kaji diri, bersikap terbuka, berkepribadian luhur, menghargai orang lain, gairah menuntut ilmu, merapihkan ruan belajar, menjaga penampilan dan lain sebagainya. Menariknya, seluruh ajaran nilai-nilai tersebut disampaikan melalui rangkaian bait puisi dan syair yang indah, yang menandakan keluruhan intelek yang menyusunnya. Misalnya terkait sikap lembut dan penuh perhitungan, Di Zi Gui mengajarkannya dengan pernyataan berikut:
Saat membawa barang tak berisi
Bagaimana membawa barang penuh terisi;
Saat masuk ruangan tak berpenghuni,
Bagaikan ada yang ditemui.
Begitupun ketika mengajarkan hidup hemat, berikut ajarannya:
Makan dan minum seadanya,
Jangan memilih yang enaknya saja;
Makanlah secukupnya,
Jangan mubazir, walau sebutir nasi saja.
Begitupun ketika mengajarkan persoalan menghargai waktu, berikut ajarannya:
Bangunlah lebih awal di waktu pagi
Tidurlah tepat waktu di malam hari;
Waktu yang lalu takkan kembali
Hargai waktu mulai dari kini.
Betapa indah uraian kata-kata bijak tersebut. Ia bukan hanya petuah, melainkan ajaran hidup yang bila diamalkan akan melahirkan individu yang berkepribadian mulia dan berkebudayaan luhur.
Meski berasal dari tradisi Tionghoa, akan tetapi karakter ajarannya universal sehingga bisa diamalkan oleh siapapun, tanpa memandang apa latar belakarng mereka. Di beberapa pesantren pun diajarkan nilai-nilai hidup dalam materi mahfüdhzât, yang bila isinya diamalkan dan diserbuksilangkan dengan materi dari Di Zi Gui maka akan terjadi proses penyerbukan silang yang sesungguhnya. Ajaran waktu dari Di Zi Gui akan semakin kuat bila disatukan juga dengan ajaran menghargai waktu dari tradisi pesantren. Dalam mahfüdzât terdapat bait syair yang mengatakan, “telor hari ini lebih baik daripada ayam esok hari.” Bukankah dua bait yang berasal dari dua tradisi berbeda tersebut berpesan hal yang sama, yaitu perihal menghargai waktu dan memanfaatkannya sebaik mungkin? Maka tidak ada alasan untuk menunda belajar dari keluhuran budaya lain.
Sebagai kesimpulan, kita harus sama-sama menyadari perlunya perbaikan manusia Indonesia dan itu hanya mungkin bila melalui perbaikan kebudayaan. Dan perbaikan kebudayaan akan efektif manakala menerapkan penyerbukan silang antarbudaya sebagai strateginya. Untuk memulainya bisa berawal dari pendidikan budi pekerti dari level anak-anak. Sungai yang keruh memang harus disaring dari HULU!
Daftar Pustaka
Benedict, Ruth. Pedang Samurai dan Bunga Seruni Pola-Pola Kebudayaan Jepang, terj, Pamudji. Jakarta: Sinar Harapan, 1982.
Fukutake, Tadashi. Masyarakat Jepang Dewasa Ini, terj. Haryono. Jakarta: Gramedia, 1988.
Hassan, Fuad. Renungan Budaya. Jakarta: Balai Pustaka, 1992.
Huntington, Samuel P. & LawrenceE. Harrison. Kebangkitan Peran Budaya: Bagaimana Nilai-nilai Membentuk Kemajuan Manusia. Terj. Retnowati. Jakarta: LP3ES, 2011.
Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 1992.
Lubis, Mochtar. Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012.
President and Fellows of HarvardCollege. Indonesia Menentukan Nasib Dari Reformasi ke Transformasi Kelembagaan. Jakarta: Kompas, 2010.
Rosidi, Ajip. Masa Depan Budaya Daerah. Jakarta: Pustaka Jaya, 2010.
Sularto, St. Syukur Tiada Akhir Jejak Langkah Jakob Oetama. Jakarta: Kompas, 2011.
Triyana, Bonnie. Eddie Lembong Mencintai Tanah Air Sepenuh Hati. Jakarta: Kompas, 2011.
Biografi Penulis
Aan Rukmana
Lahir di Kuningan, 13 Januari 1982. Alumnus Pondok Pesantren Daar El-Qolam ini menyelesaikan pendidikan S1 Universitas Paramadina, program studi Filsafat Islam dan S2, pada bidang yang sama di Islamic College for Advance Studies (ICAS), Jakarta. Pernah nyantri beberapa bulan di Qom, Iran untuk mendalami filsafat Islam (2007) dan di Vatikan, Roma (2010). Ia juga aktif dalam bidang kepemimpinan Islam (Islamic Leadership). Beberapa pelatihan kepemimpinan Islam pernah diikutinya, mulai dari Indonesia, Filipina, Malaysia, hingga Australia. Saat ini aktif sebagai Ketua Harian Nabil Society. Di samping menjadi pembicara seminar dan pelatihan di beberapa forum, penulis aktif mengajar sebagai dosen filsafat di Universitas Paramadina. Untuk komunikasi lebih lanjut dapat menghubungi email: [email protected]. Beberapa karya yang terbit di antaranya: Seyyed Hossein Nasr, Penjaga Taman Spiritualitas Islam (Jakarta: Dian Rakyat, 2013) dan Ibn Sina: Sang Ensiklopedik Pemantik Pijar Peradaban Islam (Jakarta: Dian Rakyat, 2013).
Eddie Lembong
Lahir di Tinombo, Sulawesi Tengah, 30 September 1936. Setelah lulus dari Jurusan Farmasi ITB (Mei, 1965), ia mendirikan PT Pharos Indonesia yang bergerak di bidang industri obat-obatan, yang melambungkan namanya sebagai salah satu tokoh farmasi Indonesia. Berbagai konferensi internasional pernah dihadirinya seperti: 4th ISSCO Conference di Taipei, 2001, ISSCO Regional Conference, Seoul, Korea, 2003, 5th ISSCO Conference, Kopenhagen, Denmark, 2004, ISSCO Regional Conference, Bendigo-Melbourne, Australia, 2005 dan ISSCO Regional Conference di Pretoria, Afrika Selatan, 2006. Kepedulian terhadap masalah persatuan bangsa diwujudkan dengan mendirikan Perhimpunan INTI (Indonesia Tionghoa), yang menjadi wadah penyelesaian secara holistik berbagai masalah Tionghoa. Perhatiannya kian melebar ke masalah nation building, pembangunan bangsa, yang memberinya alasan membentuk Yayasan Nabil (Nation Building), wahana yang ia pakai untuk mengembangkan gagasan Penyerbukan Silang Antarbudaya (Cross Cultural Fertlization) antara budaya Tionghoa dengan budaya berbagai suku bangsa lainnya. Di sana pula Eddie lembong terus berjuang merajut Indonesia yang damai dalam bingkai kebhinekaan dan pluralisme. Untuk komunikasi dengan beliau bisa melalui email: [email protected]
[1] Fuad Hassan, Renungan Budaya (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hal. 29.
[2] St. Sularto, hal. 390.
[3] Bonnie Triyana, hal. 9.
[4] Ibid. hal. 10.
[5] Tentang lahirnya konsep asimilasi ini dapat dibaca dalam buku Lahirnya Konsep Asimilasi Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa yang diterbitkan oleh Yayasan Tunas Bangsa Jakarta. tt.
[6] Di Zi Gui adalah ajaran budi pekerti yang disusun oleh Li Yu Xiu pada Jaman Kerajaan Kang Xi, ia merupakan intisari dari ajaran-ajaran universal Kong Fu Zu.