Budaya-Tionghoa.Net |Saya menghadiri perayaan Capgomeh, sekaligus ulangtahun perkumpulan Boen Hian Tong yang ke-138, di pecinan Semarang. Acara utamanya adalah ketopret, ketoprak operet. Sebuah pertunjukan ketoprak humor berdurasi pendek yang mengangkat kisah prajurit wanita Mulan. Pemainnya para pengurus perkumpulan sendiri, ditambah pemain profesional dari perkumpulan wayang orang Ngesti Pandawa.
Sumber foto : https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10202289228525525&set=a.10202289108042513.1073741892.1035484314&type=3&theater
Ini pementasan ketopret yang kedua. Saat pementasan pertama yang mengangkat kisah Siluman Ular Putih, saya ikut main, jadi narator. Seru juga. Saya ikut didandani bareng para pemain. Wajah saya berubah total, pakai kostum merah menyala bersulam naga dan mahkota berumbai-rumbai, kayak kaisar China.
Kali ini saya tidak ikut main. Bersama beberapa pengurus, saya menunggu di depan pintu, menyambut kedatangan tamu-tamu dari berbagai kalangan. Ada anggota perkumpulan yang kebanyakan telah berusia sepuh, ada kolega, ada penyair kondang, ada akademisi, ada mahasiswa, ada juga orang lewat.
“Masuk saja…,” ujar saya kepada tiga anak muda yang berhenti melihat keramaian di depannya.
Lumayan, ada anak muda tertarik. Salah seorang di antaranya membawa kamera.
“Banyak yang bisa difoto…,” imbuh saya.
Akhirnya mereka bertiga masuk dan bertemu sekelompok mahasiswa yang juga akan mengisi acara pembukaan.
Sebelum acara dimulai, saya dan beberapa pengurus, naik ke loteng untuk bersembahyang kepada Dewa Long Kun Ya, yang merupakan dewa musik dan kesenian yang dihoksai (disembah) di gedung perkumpulan ini. Setelah itu kami kembali ke bawah, berdoa kepada Thian penguasa langit, serta kepada arwah para leluhur dan mantan ketua perkumpulan, agar acara malam ini berjalan lancar. Saat bersembahyang kepada dewa dan Thian, kami menggunakan tiga hio. Saat bersembahyang kepada leluhur, kami hanya menggunakan dua hio. Itu aturannya. Saat menancapkan hio ke dalam hiolo atau kuala hio yang terbuat dari kuningan, kami menggunakan tangan kiri. Itu juga aturannya. Bau dan asap hio berkelindan dan mendesis, mengiringi doa yang terucap dan tersirat, ke atas langit-langit, ke atas langit.
Pertunjukan berjalan cukup lancar, meski tata suara terdengar kurang sempurna. Suara para pemain kadang tidak keluar. Kalaupun keluar, acap terdengar ‘mbedhem’, alias tidak jelas. Namun usaha para pemain amatiran yang hanya sempat latihan dua kali, patut dihargai. Meski dengan wajah yang dipoles dandanan tebal dan kostum berlapis-lapis, tak mampu menyembunyikan was-was dan deg-degan yang keras menggempur, serta keringat dingin yang deras mengucur.
Adegan demi adegan mengalir. Akhirnya pertunjukan pun usai. Tamu-tamu mulai pulang. Saya kembali berdiri di depan pintu, memberi salam dan mengucap terima kasih kepada para tamu dengan bersoja setinggi pangkal hidung. Sebuah bahasa tubuh ala Tionghoa yang mengisyaratkan hormat.
Seorang tamu yang notabene adalah dalang wayang potehi yang terkenal dan telah berusia sepuh, berjalan perlahan dengan menggunakan tongkat dan digandeng seorang wanita muda. Mungkin anaknya. Saya dan seorang pengurus lain yang tadi ikut main ketopret, membantu sang tamu keluar dan mencarikan becak tumpangan. Setelah sang tamu naik becak, saya masuk ke dalam.
Saat hendak masuk, seorang pria berusia sekitar empat puluh tahunan, mendekati saya, lalu berkata, “Bisa bicara, Koh?”
Dari gerak-gerik dan nada suaranya saya mahfum. Saya mengangguk pendek. Melihat isyarat itu, si pria langsung menyambung, “Saya bingung…, saya hanya butuh…, untuk keluarga…, bisa bantu ndak, Koh?”
Saya terdiam. Terus terang saya kurang bisa menghargai hal-hal seperti ini. Kenal saja belum, kok sudah minta bantuan. Saya tidak menghiraukannya lagi. Wong dari perawakan masih sehat, masih bisa bekerja, kok sudah meminta-minta. Payah.
Saya kembali berdiri di depan pintu, mengucap salam. Tak lama kemudian, saya melihat seorang wanita tua dengan baju seadanya, menjinjing sebuah kresek hitam di pergelangan, sedang berbicara dengan seorang karyawan perkumpulan yang bertugas menjual buku di dekat pintu. Si wanita tua dengan rambut dipotong pendek yang nampak kering kemerahan, berkata dengan terbata-bata, sambil tangan kirinya menuding ke arah buku ‘Pecinan Semarang’ yang dijual. Tangan kanannya mengenggam sejumlah uang kertas yang nampak kumal.
Awalnya saya tidak mengerti apa yang dikehendaki si wanita tua. Awalnya saya pikir ia hendak meminta-minta. Tapi kemudian si karyawan menjelaskan bahwa si wanita tua itu berniat membeli buku seharga dua ratus ribu yang dipajang. Saya menjadi tertarik. Saya hendak mendekat, tapi seorang pengurus yang nampaknya mengenal si wanita tua itu mencegah saya dan berkata, “Jangan diladeni, Pak…, dia memang agak…”; sambil telunjuk kanannya memberikan tanda menyilang di dahi.
Saya tersenyum, tapi saya tetap mendekati si wanita tua yang kadung keluar.
“Mau beli buku to, Cik?,” tanya saya.
Si Encik mengangguk.
“Duite cuman segini…, entuk ndak… (Uangnya cuman segini…, boleh tidak),” ujarnya seraya mengangsurkan segenggam uang kertas kumal.
Saya terdiam menatap si Encik. Maaf saja, kalau dilihat dari tongkrongan dan caranya ngomong, agak aneh bahwa ia tertarik membeli sebuah buku setebal 480 halaman yang isinya soal sejarah dan pernak pernik kebudayaan Tionghoa yang panjang dan mendalam.
“Buat apa to, Cik?,” tanya saya lagi.
“Aku mau belajar kuo-ie…(Pengin belajar mandarin),” tukas si Encik.
Hmm, mau belajar kuo-ie.
“Segini cukup ndak…?,” sambungnya lagi sambil mengangsurkan uang.
Sesaat saya ragu, kemudian saya bertanya, “Berapa itu?”
“Goban…(Lima puluh ribu),” jawabnya.
Saya mengangguk dan meraih uang dari tangannya.
Saya masuk ke dalam, menyerahkan uang kepada karyawan yang bertugas, lalu mengambil sebuah buku sambil berkata, “Sisanya nanti saya bayar.”
Saya keluar dan menyerahkan buku kepada si Encik yang sudah menanti. Si Encik menerima buku dari saya dengan tangannya yang berkuku kehitaman, lalu tanpa berkata apa-apa, ia langsung pergi.
Saya kembali masuk ke dalam untuk membayar sisa uang buku.
“Tadi uangnya cuman empat puluh ribu…, lho pak…, bukan lima puluh ribu…,” ujar si karyawan sambil menunjukkan lembaran uang yang sudah dirapikan di tangannya.
Saya mengangguk. Sambil mengeluarkan uang dari dalam dompet, saya berpikir, jangan-jangan saya salah. Jangan-jangan saya sebaiknya tidak menerima uang dari si wanita tua itu sama sekali. Namun saya merasa senang, sudah bisa membantu si wanita tua membeli buku yang diinginkannya. Dan kalau dipikir-pikir, si wanita tua itu juga tidak enak-enakan menadahkan tangan. Ia juga berusaha, ia juga mengeluarkan modal. Tidak sekedar bermodal abab atau wajah melas.
Mungkin, membantu seseorang tidaklah harus berlebihan, yang malah akan menjerumuskan ia dalam kubang syukur penuh rasa terima kasih yang berlebihan, yang malah akan menenggelamkan harga dirinya dalam keminderan, atau menyesatkannya dalam zona nyaman yang mematikan daya juangnya. Membantu seseorang – cukup mengangkatnya dari sebuah lubang kesulitan menuju ke tepian, lalu biarkan ia mengangkat diri sendiri; biarkan ia bangkit, biarkan ia berdiri dan berjalan, meski dengan tertatih-tatih, tapi dengan usaha dan ikhtiar dari dalam. Dan berharaplah, suatu saat ia akan kembali berjalan tegap, bahkan berlari cepat.
Semalam saya tidak sempat menatap langit hari kelimabelas Imlek. Adakah purnama? Jangan-jangan tertutup abu gunung Kelud yang kemarin baru saja meletus. Tapi saya yakin, meski terhalang debu, purnama capgomeh pasti setia menggantung di langit pecinan, menerangi hati insan-insan yang senantiasa mau menunduk, merendahkan hati, saat belajar meniti kehidupan, sambil menyantap lontong capgomeh ala semarangan yang ‘haojek sencingping’ (enaknya edian tenan).
Oleh : Harjanto Halim
Pebruari, 2014
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa