Imigran pertama datang dari bagian selatan daratan Cina seperti Hokkien di Provinsi Funan kemudian menetap di Batavia. Imigran lain, orang-orang Hakka, datang dari Kwantung; orang-orang Punti datang datang dari Kanton; orang-orang Hoklo dari Swatow; dan orang Haifoeng atau Hai-lam, dari Pulau Hainan.
Pergaulan dan bahkan percampuran dalam bentuk pernikahan dengan penduduk setempat memberi pengaruh dalam kehidupan masyarakat lokal. Pengaruh itu bisa dilihat bukan hanya dari kegiatan ekonomi, tetapi juga makanan, bentuk bangunan, seni ukir, ragam hias tekstil, sampai gaya pakaian.
***
CINA berulang kali menjadi sumber inspirasi para perancang di berbagai belahan dunia. Setiap kali, selalu ada interpretasi baru, disesuaikan dengan perkembangan zaman. Ia terasa tetapi sekaligus tak nyata.
Jean Paul Gaultier misalnya, menggunakan tema Cina untuk koleksi musim semi dan panas adibusana 2001-nya. Mulai dari rambut, garis potongan, hingga ke materi kain, semua kental dengan nuansa Cina. Tetapi, gaun-gaun rancangan Gaultier tidak ada hubungannya dengan busana yang dipakai perempuan di daratan Cina. Perempuan di Cina tidak akan pernah bisa memakai gaun adibudana rancangan Gaultier. Pun dandanan rambut Gaultier tidak akan dipakai perempuan Cina sebab tidak praktis maupun karena tampak berlebihan.
Gaultier hanyalah meminjam sebuah citra untuk mendapatkan kesan baru yang ia proyeksikan pada masyarakat urban yang barangkali menginjakkan kaki di daratan Cina pun belum pernah. Itulah mode, yang oleh sejumlah pemikir postmodernisme seperti Baudrillard dipandang sebagai simbol masyarakat kapitalis lanjut.
***
PENGARUH budaya Cina pun merupakan bagian dari karya perancang Indonesia. Teknik sulam adalah salah satu bentuk pengaruh budaya Cina di Sumatera Barat. Inilah yang direkam Didi Budiardjo untuk shawl ekstra besar-aksesori yang umum pada busana Barat-yang muncul dalam pergelaran Didi pertengahan tahun 2001 lalu dengan motif bunga peoni merah berukuran besar. Didi juga mendapat inspirasi dari busana gaya cheongsam serta pohon bambu yang sering diidentikkan dengan Cina, untuk koleksi rumah busana Prajudi tahun 2002.
Kebaya yang sekarang menjadi “baju nasional” perempuan Indonesia, menurut Rens Heringa dalam tulisannya Batik Pesisir as Mestizo Costume (Fabric of Enchantment, 1997) kemungkinan merupakan sumbangan yang diberikan oleh para pendatang dari India, Persia, dan Cina. Semuanya menyumbang pada bentuk baju yang dipakai perempuan Cina yang dilahirkan di Jawa dari orangtua imigran.
Disebutkan Heringa, ada yang menyebut gaya kebaya berasal dari kota pelabuahn Cambay di India, meskipun sebenarnya Cambay hanyalah merupakan kota pelabuhan asal impor kain yang dipakai untuk kebaya di Jawa. Sementara itu, istilah kebaya merupakan kata yang berasal dari bahasa Persia cabay untuk jenis baju yang mirip kebaya.
Imigran Cina Muslim abad ke-15 berjasa memperkenalkan baju ini ke pantai utara Jawa. Gaun panjang yang longgar dengan lengan panjang gaya kebaya dengan bukaan depan yang bertemu pada sisi-sisinya, mirip dengan bei-zi, yang berfungsi sebagai baju upacara masyarakat Cina kelas bawah pada masa Dinasti Ming.
Kebaya kemudian menjadi baju untuk kaum peranakan Cina maupun perempuan Belanda, meskipun yang disebut terakhir ini menggunakan kebaya dan sarung tidak dalam acara resmi. Kebaya keduanya sama-sama menggunakan renda untuk tepian, tetapi orang Belanda memilih berpotongan sederhana berwarna putih. Sementara itu, perempuan Cina memilih kebaya dalam warna-warna pastel, sering dengan motif bunga-bunga kecil, dan ujung sisi bawah yang dipanjangkan serta meruncing. Untuk merapatkan sisi-sisi belahan depan, mereka menggunakan kroncong, tiga peniti atau rantai yang bisa terbuat dari emas dan dihiasi batuan berharga.
Ramli terkenal sebagai perancang yang mengkhususkan diri pada bordir, dan kebaya-kebayanya pun menggunakan bordir pada sisi-sisi belahan depannya. Sementara itu rumah kain Bin House mencoba memperkenalkan kembali busana nonya kepada orang-orang Singapura dalam sebuah pergelaran akhir tahun lalu di negara pulau itu, seperti yang diperlihatkan dalam pergelaran di Jakarta sebelum keberangkatan ke negeri tetangga itu.
Pengaruh budaya Cina, seperti juga budaya-budaya pendatang lain seperti India dan Islam, tampak sangat jelas pada ragam hias, materi maupun teknik pembuatan kain di Nusantara, terutama di Jawa, Sumatera dan Kalimantan, yaitu pulau-pulau di mana imigran dari bagian selatan Cina kemudian menetap. Iwan Tirta dalam bukunya Batik Ap Play of Light and Shades menyebutkan, sulaman pada awal-awal kedatangan imigran Cina ke Nusantara ikut mendorong tumbuhnya batik. Selama berabad-abad, kain altar dan kain hiasan dinding dengan hiasan bersulam didatangkan dari daratan Cina. Ketika benang yang halus itu mulai retas atau ketika semakin sulit mendapatkan kain yang asli, maka muncul kebutuhan atas teknik alternatif yang bisa menyediakan kain dengan motif yang sama. Menurut Iwan Tirta, baik warna maupun motif tersebut dengan mudah bisa dipenuhi melalui teknik batik.
Di Sumatera, Sriwijaya yang berkembang pada abad ketujuh merupakan tempat persinggahan pedagang maupun pendeta Budha Cina yang akan berangkat ke India, sedikit banyak mempengaruhi corak kain songket setempat, terutama dengan benang emasnya. Ghea S Panggabean yang kini menaruh minat pada pengembangan songket palembang sebagai busana kontemporer. (nmp)
(NMP)
———————–
Artikel Terkait
{module [184]}
———————–
Sumber :