Budaya-Tionghoa.Net | Seorang paman pernah bertutur, tentang dari mana asal usul orang Tionghua. Dia mengatakan kebanyakan mereka datang dari CiangCioe, bahkan kebanyakan datang dari satu kecamatan HaiTengKoan saja.
Dari mana dia bisa berpendapat demikian ?
Agaknya beberapa batasan harus dibuat terlebih dahulu agar supaya pendapatnya itu menjadi masuk akal. Sepertinya di tahun 50’an, pernah terjadi semacam pembahasan tentang dari mana datangnya orang Tionghua Hokkian di Jawa. Dan itu rupanya yang menjadi sumber pendapatnya.
Tetapi benarkah demikian ?
Orang Tionghua di Indonesia memang kebanyakan datang dari Hokkian, tetapi Hokkian ini adalah nama propinsi yang relative cukup besar. Yang bahkan dalam satu propinsi inipun ada banyak dialek lokal. Saat ini penggunaan nama orang Hokkian ini untuk menyebut orang Tionghua yang terutama berasal dari daerah CiangCioe (Changzhou) atau CoanCioe (Quanzhou).
Sementara mereka yang datang dari propinsi Hokkian ini yang terkenal ada beberapa misalnya, yang disebut orang Hokcia (FuQing) orang HingHua (PuTian) orang HokTjioe (FuZhou). Pemilahan ini terjadi karena bahasa yang dipakai cukup berbeda, sehingga terkadang pada waktu jaman dulu, terutama, bisa sedikit sulit komunikasi antara orang Hokkian dan orang HingHua misalnya atau juga dengan HokCia, walaupun sama2 datang dari satu propinsi.
Yang kemudian juga relative banyak adalah orang KongFu, untuk menyebut mereka yang berasal dari GuangZhou, orang Khek untuk menyebut mereka yang datang dari daerah sekitar MeiXian dan orang TioTjioe untuk mereka yang datang dari ChaoZhou.
Rupanya gelombang kedatangan orang TiongHua juga dipengaruhi oleh dari mana asalnya mereka datang. Yang di Pontianak misalnya berbeda dengan yang di Riau juga dengan yang di Jawa. Bahkan di Jawapun bisa berbeda juga. Karena itu sekarang sering disebut orang Hokkian Medan, orang TioTjioe dari Pontianak dllsb. Mereka datang untuk kepentingan2 yang berbeda.
Belum lagi kalau di tambah dengan mereka yang datang dari propinsi yang lain. Ada teman yang bilang kalau ayahnya bilang mereka adalah orang Tujia di Hebei. Atau cerita yang lain bahwa mereka datang dari sebuah desa di Yunnan dekat perbatasan dengan Vietnam. Atau yang menyebut datang dari Santung (Shandong). Pada umumnya mereka yang datang dari kelompok kecil ini dengan cepat akan mengadaptasikan diri dengan kelompok dimana mereka tinggal. Kalau di Jawa Tengah atau Jawa Timur ya mereka berusaha belajar bahasa Hokkian supaya bisa diterima di kalangan Tionghua lokal.
Karena itulah bahasa Hokkian dialek CiangCioe atau CoanCioe ini se akan2 menjadi linguafranca waktu itu. Sungguhpun komunikasi masih bisa terjalin dengan menunjukkan hanzi yang sama. Tetapi tingkat pemahaman jumlah hanzi yang bisa dikuasai sangat tergantung tinggi rendahnya pendidikan seseorang.
Salah satu buku pernah menyebutkan bahwa di pertengahan tahun 1860’an seorang Tionghua asal Sukabumi pernah datang ke Jawa Timur dan merasa kaget karena rendahnya pemahaman huruf hanzi. Hal ini yang menimbulkan tumbuhnya sekolah sekolah TiongHoaHweKoan waktu itu. Dari cerita banyak orangtua memang waktu itu di kota2 Jawa Tengah dan Jawa Timur anak anak disekolahkan di rumah dengan memanggil guru ke rumah.
Tentu saja pola demikian sangat membatasi tinggi rendahnya pendidikan seseorang. Di satu pihak keluarga yang mampu dapat membuat anak cucunya menguasai pemahaman huruf hanzi yang cukup banyak sementara yang kurang mampu secara keuangan bisa tidak menguasai sama sekali. Munculnya TiongHoaHweKoan di pertengahan tahun 1860’an membawa juga perubahan yang lain. Pendidikan bisa lebih merata.
Bagaimanapun ada satu masalah yang mengganjal, pada waktu itu di Tiongkok diperintah oleh dinasti Boancioe (Mancu, Qing) yang tidak disetujui oleh sebagian orang Tionghua di sini. Karena itu masalah pendidikan bahasa menjadi pertanyaan apakah dialek Hokkian atau dialek Mandarin ? Persoalan ini makin terjawab ke belakang hari ini terutama sejak SunYatSen dan apalagi setelah RRT memutuskan untuk menggunakan PuTongHua dengan dialek Beijing sebagai standar bahasa.
Walaupun demikian dialek Hokkian CiangCioe atau CoanCioe sudah terlanjur menjadi lingua franca bagi orang Tionghua yang tersebar di Asia Tenggara ini.
Cerita di atas dapat menggambarkan varian yang bisa terjadi di kalangan orang Tionghua yang ada di Indonesia. Jika jumlah masanya cukup banyak mereka akan menggunakan dialek yang sama dengan yang dipakai oleh mereka, kalau mereka datang dengan jumlah yang sedikit masuk ke dalam kelompok lokal yang sudah ada maka mereka terserap ke dalam kelompok dialek lokal yang ada.
Walaupun demikian justru dialek CiangCioe dan CoanCioe inilah yang banyak dipakai di banyak buku yang diterbitkan sebagai karya sastra awal orang Tionghua di Indonesia, karena pengguna dialek ini lebih banyak waktu itu. Tetapi yang benar CiangCioe atau CoanCioe atau campuran keduanya ? Cerita di bawah menanyakan hal itu. Mungkin ada yang bisa menjawab dengan lebih baik.
Ayah seorang teman pernah bercerita hal yang sama, bahwa banyak orang TiongHua datang dari CiangCioe, terutama dari kecamatan HaiTengKoan. Satu pendapat yang menarik. Mereka keduanya sama sama berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Atas pertanyaan lebih lanjut , dijelaskan bahwa memang hal ini pernah jadi pembicaraan di tahun 50’an dulu. Jadi rupanya ada semacam kesimpulan dari pembicaraan beberapa tokoh waktu itu.
Dulu waktu masih kecil sering mendengar cerita dari orangtua yang bercerita tentang orang yang terlebih tua, ada misalnya cerita yang menyebut ncek ini atau mpek itu yang sering pulang ke Emui. Berangkat kesana membawa barang dari Jawa satu kapal, dan kembali ke Jawa setahun kemudian membawa barang satu kapal. Tetapi dimana Emui itu ?
Emui ternyata adalah sebutan Hokkian untuk menyebut kota XiaMen. Bahkan di beberapa peta yang lama, kota ini masih ditulis dengan nama Amoy, satu cara penulisan berdasar bahasa Inggris untuk Emui. Emui sendiri adalah penyebutan dengn dialek CoanCioe untuk huruf Hanzi nama kota tersebut. Kalau dengan dialek CiangCioe harusnya dibaca Emng. Toh kota ini terkenal dengan sebutan Emui untuk orang orang Tionghua dari generasi yang lama.
Waktu berjalan jalan di Emui dan sekitarnya termasuk pergi ke daerah Ciangcioe saat ini, penggunaan dialek CiangCioe ataupun CoanCioe atau yang biasa disebut MinNan makin tergerus. Di kalangan yang berpendidikan makin menggunakan PuTongHua, bahasa standar nasional. Tetapi semakin ke desa, dimana banyak penduduk lebih menggunakan dialek ibunya atau dialek lokal, dialek CiangCioe atau CoanCioe masih banyak dipakai. Terutama di kalangan yang lebih tua atau yang berpendidikan lebih kurang, atau bagi mereka yang tidak makan sekolahan.
Orang CiangCioe masih bisa paham jika bicara dengan mereka menyebbut Emng Nang, atau menggunakan dialek yang makin condong ke TioCioe. Tetapi kalau berjalan semakin ke utara ke arah CoanCioe mereka lebih tegas menyebut Emui Lang. Orang TioCioe yang nota bene berada di selatan CiangCioe menyebut Lang dengan Nang.
Waktu berada di pedalaman Hunan dan berbicara dengan orang lokal, mereka menyebut diri mereka bukan HuNan Ren tetapi lebih terdengar bagi telinga orang luar Tiongkok sebagai FuLan Ren . Nan bisa terdengar dari Nan sampai Lan bahkan sampai Lam. Hu bisa terdengar sebagai Hu sampai U atau bahkan Fu. Cerita ini menggambarkan varian yang bisa terjadi.
Waktu berada di CoanCioe, mengunjungi salah satu kelenteng yang ada disana, barulah ditemui kelenteng yang mempunyai karakteristik yang sama dengan kelenteng yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kelenteng dengan karakter seperti ini boleh dibilang tidak pernah ditemui di Tiongkok sebelah utara.
Agaknya banyak contoh yang menunjukkan lebih banyak kemiripan dengan CoanCioe dibanding dengan CiangCioe, tetapi banyak orang lebih menyebut dari CiangCioe, mungkin karena itu adalah pendapat yang terbentuk dari pembicaraan di tahun 50’an.
Jawa Timur mempunyai hubungan dagang dengan Tiongkok sejak jaman sebelum Majapahit yang pada waktu itu pelabuhan utama Tiongkok berada di CoanCioe. Setelah tahun 1500’an pelabuhan CoanCioe mengalami pendangkalan dan mulai digantikan oleh pelabuhan Emui. Mungkin ini sebabnya.
Salam,
Harry Alim
*** Update King Hian
Selain dialek Ciangciu (漳州) dan Cuanciu (泉州), ada juga dialek Emui/Emng (Xiamen). Orang Emng sendiri menyebut kotanya dengan sebutan Emng, bukan Emui. Dialek Emng terdapat di kota Emng dan pulau Kimmng/Kimmui/Quemoy/Jinmen (金门). Dialek Hokkian Bagan adalah dialek Emng.
Haitengkuan (海澄县) artinya adalah kabupaten Haiteng, huruf kuan (县) berarti kabupaten, dalam dialek Emui diucapkan knuai, dalam dialek Cuanciu diucapkan knui. Sekarang tidak ada yang namanya Haitengkuan, karena Haitengkuan dan Liongkekuan (kabupaten Liongke, 龙溪县) digabung menjadi Lionghaikuan (kabupaten Lionghai, 龙海县) dan sekarang menjadi Lionghaisi (kota Lionghai, 龙海市).
Umumnya, Orang Hokkian yang lebih dulu datang ke Jawa adalah orang2 Ciangciu. Sedangkan orang2 Cuanciu, lebih belakangan datang. Bisa dikatakan bhw di Jawa kelompok Hokkian Totok adalah orang2 asal Cuanciu, sedangkan kelompok Hokkian Peranakan adalah orang2 yang leluhurnya berasal Ciangciu.
Bisa dikatakan hampir seluruh latinisasi istilah2 Hokkian (menggunakan huruf Latin) di Jawa, menggunakan dialek Ciangciu. Hal ini bisa dilihat dari terjemahan cerita silat, terjemahan kitab2 agama Samkao (Buddha, KHC, dan Tao), dan penulisan nama dan marga orang Tionghoa di Jawa.
Organisasi Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) yang pertama adalah THHK Batavia yang didirikan tahun 1900. Tahun 1901 THHK Batavia mendirikan sekolah THHK di Patekoan (Sekarang Jl. Perniagaan Jakarta), yang kemudian lebih dikenal sebagai sekolah Pahua.
kiongchiu,
KH
———————–
Artikel Terkait
{module [184]}
———————–
Sumber :
- http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/55333 [Harry Alim]
- http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/55356 [King Hian]