Budaya-Tionghoa.Net | Oen Tjun Kim (40) baru saja naik dari sawah, dan melepas kepenatan di kursi panjang depan rumah. Tak jauh dari tempatnya, The Pin Nio – perempuan berusia (58) — sibuk memetik tangkil, dan mencari keperluan untuk masak sayur asam.
“Kehidupan petani mah, ya begini ini,” ujar Tjun Kim dengan logat Sunda yang kental.
Ia mengisap kreteknya dalam-dalam, menghembuskan asapnya, seraya memperbaiki letak duduknya, sebelum melanjutkan pembicaraan. Sedangkan Pin Nio masih terus sibuk di kebun.
Tjun Kim dan Pin Nio adalah dua dari sekian ratus penduduk Desa Cukanggalih, Kecamatan Panongan, Kabupaten Tangerang, yang disebut Cina Benteng pedalaman – atau Cina udik.
Keduanya menempati rumah berarsitektur sama, yaitu Rumah Kebaya. Bedanya, rumah Tjun Kim telah mengalami renovasi. Lantai rumah berlapis keramik, dan atap bagian depan dibuat lebih menjorok.
Pen Nio, perempuan asal Curug yang dipersunting Oen Kong Tjoan, menghuni Rumah Kebaya yang masih asli. Lantai rumah masih tanah. Dinding dan tiang-tiang rumah nyaris belum tersentuh cat, atau pernis.
Tjun Kim tidak mewariskan banyak cerita soal leluhurnya. Yang ia tahu, dirinya – dan seluruh keluarganya – adalah keturunan ketujuh marga Oen yang datang ke Panongan.
“Marga Oen yang datang ke ini adalah Oen Jin Seng,” ujar Tjun Kim. “Jin Seng yang kali pertama membangun rumah ini.”
Yang juga diingat Tjun Kim adalah orangtuanya bernama Oen Tiang Sui. Ia masih memiliki mamah, yang telah berusia 80 tahun dan mulai terkena osteoporosis.
Ia bukan satu-satunya pewaris rumah itu, karena masih ada Oen Tjong Pin (56), kakaknya. Keduanya bangga menjadi pewaris rumah kongsi marga Oen sebenarnya.
Setiap keluarga Cina Benteng di Panongan memiliki lahan lebih dari dua hektar; berupa sawah dan lahan kering di sekitar rumah. Tidak ada penguasaan lahan skala besar di satu tangan — seperti lazim ditemui di wilayah pesisir Tangerang — yang menyebabkan terjadinya penumpukan kekayaan oleh satu keluarga.
Tanah-tanah di Kecamatan Panongan, dan wilayah lain di sekitarnya, seolah telah terbagi secara merata kepada setiap keluarga sejak nenek moyang mereka menempati wilayah itu. Lebih menarik lagi, tidak terjadi transaksi pengalihan kepemilikan tanah antarwarga desa. Atau yang memiliki banyak uang membeli lahan lain di luar wilayah mereka.
Cina Benteng panongan tidak mengenal pemimpin. Dalam tradisi Cina, hanya orang paling kaya yang berhak menjadi pemimpin. Kapitan-kapitan Cina di Batavia, mulai dari Souw Beng Kong sampai Kho Kim An, adalah orang paling kaya saat itu.
Tanpa pemimpin, atau figur menonjol, membuat masyarakat Cina Benteng di Panongan tidak memiliki organisasi sosial selama tujuh generasi. Di masa kolonial, setelah Kesultanan Banten jatuh dan wilayahnya dicaplok VOC, Cina Benteng Panongan juga tak punya majelis Kongkoan — seperti yang ada Batavia dan wilayah lainnya.
Masyarakat Cina Benteng Panongan seolah terasing dari komunitas besar Tionghoa yang hidup di Batavia, dan di sekujur Tangerang. Mereka cenderung egaliter, karena tidak megenal sistem kekuasaan sejak turun-temurun.
Mereka bicara dalam banyak bahasa; Sunda, Betawi, dan terkadang Jawa Serang. Partikel mah, ge, dan suku kata terakhir yang dilantunkan sedikit panjang, kerap mendominasi.
Cina Benteng adalah masyarakat tanpa kelas di wilayah pusaka nenek moyangnya. Mereka tak ubahnya masyarakat agraris tadah hujan lainnya; Betawi dan Madura.
Kalau pun ada yang menempati kelas sedikit lebih tinggi mungkin hanya pemuka agama Konghucu. Itu pun terbatas pada saat mereka membutuhkannya untuk bertanya soal tradisi-tradisi persembahyangan, upacara perkawinan, dan lainnya.
Di sawah, mereka menanam padi, di kebun samping dan belakang rumah mereka menanam sayuran untuk kebutuhan sehari-hari.
Jika air cukup, atau curah hujan normal, setiap keluarga bisa panen dua kali dalam setahun. Jenis padi yang ditanam adalah varietas IR 22 sampai 64 yang tahan wereng, dengan produksi gabah antara empat sampai lima ton per hektar.
Hasil panen tidak langsung dijual, tapi disimpan di dalam lumbung untuk kebutuhan makan selama satu musim. Setiap rumah keluarga Cina Benteng di Cukanggalih, dan desa-desa lain di Panongan dan kecamatan lain, memiliki lumbung padi, dan pelataran cukup luas untuk menjemur gabah.
“Kami baru menjual ke luar jika ada kelebihan hasil panen,” ujar Tjong Pin (56), kakak Tjun Kim. “Saat itulah kami bisa mendapatkan uang untuk membeli kebutuhan-kebutuhan kami.”
Namun jika hasil panen tidak mencukupi, atau sawah kekurangan air karena curah hujan rendah, setiap keluarga harus bisa mengatur agar persediaan padinya cukup untuk makan sampai panen berikut.
“Ya, sebisa mungkin diatur-atur lah,” kata Tjong Pin dengan lobat Betawi pinggiran yang kental.
Mereka jarang ke pasar. Kebutuhan lauk-pauk dipenuhi dengan mencari ikan; memancing, memasang jebakan ikan (bubu), atau menyembelih ternak berupaya ayam.
Yosep, generasi muda Cina Benteng Cukanggalih, mengatakan mereka ke pasar hanya waktu-waktu tertentu untuk menjual ternak; babi, ayam, dan jenis hewan lainnya, lalu membeli garam, gula, kopi, teh. Rokok dibeli di warung-warung pribumi.
Meski memiliki tabung gas, dan telah mengenal minyak tanah sejak lama, setiap rumah seolah tak hendak menghilangkan kebiasaan memasak dengan kayu. Ketika Republika meninggalkan Cukanggalih pada sore hari, Tjun Kim sedang mengumpulkan
kayu bakar, bersama istrinya.
Bercocok tanam menjadi satu-satunya mata pencaharian mereka. Terlalu sedikit, bahkan sulit ditemui, generasi Cina Udik yang berdagang dan sukses. Mereka yang keluar dari desa, dan menetap di sekitar Tangerang, kebanyakan bekerja di
pabrik-pabrik.
“Pernah ada beberapa dari penduduk di sini yang mencoba berdagang hasil bumi, tapi hampir seluruhnya bangkrut,” kata Kong Tjoan.
Tjun Kim menghabiskan lima tahun berdagang di Pasar Curug, tapi berhenti seketika pasar itu terbakar. Ia tidak memiliki modal untuk mendapatkan tempat berdagang lagi.
“Saya memutuskan kembali ke Cukanggalih,” ujarnya.
Berbeda dengan masyarakat pribumi, yang cenderung membagi habis warisan kepada semua anak-anaknya, masyarakat Cina Benteng mewariskan tanah dan rumah keluargakepada anak lelaki paling tidak beruntung di dalam keluarga.
Oen Tjun Haow, misalnya, telah ditunjuk ayahnya; Oen Kong Tjoan, sebagai pewaris. Lelaki berusia 37 tahun itu hanya mengenyam sekolah dasar. Sempat duduk di bangku SMP kelas dua, tapi keluar akibat persoalan ekonomi.
Seorang adik perempuannya juga mengalami nasib yang sama, tapi empat lainnya relatif bisa menamatkan SMK. Adik perempuannya telah menikah dan dibawa suaminyake Kampung Melayu. Dua lainnya juga sama. Satu adik lelakinya beruntung menamatkan SMA.
Tjun Haow telah mengambil alih sebagian pekerjaan di sawah dan kebun. Ia mengurus ternak; babi dan ayam. Ia juga telah dipersiapkan sebagai tuan, dan menjadi penjaga meja abu.
Hampir setiap keluarga Cina Udik berupaya menyekolahkan anak-anaknya, tapi segalanya sangat tergantung hasil panen. Sebagian anak-anak Tionghoa di Panongan mengenyam pendidikan SMA, dan sedikit lainnya meneruskan ke perguruan tinggi.
Mereka yang beruntung mendapatkan pendidikan lebih tinggi berupaya keluar, meninggalkan tanah pertanian keluarga, dan berupaya mandiri. Mereka menyebar di wilayah Tangerang, dan berusaha tak kembali untuk menjadi petani.
Seluruh anggota keluarga baru berkumpul saat Imlek. Saat itulah, menurut Ari Novi Purnama – mantan Camat Panongan 2006/2007 – Panongan menjadi ramai. Setiap halaman rumah begitu ramah. Mereka yang sukses di luar datang dengan mobil bersama keluarganya.
Namun, mereka yang sukses di luar relatif tidak peduli lagi akan kelangsung kampung halaman mereka sebagai pusaka leluhur.
Tradisi Asli
Tjun Kim, Tjong Pin, dan Kong Tjoan, adalah pewaris seluruh tradisi asli leluhur yang sebagian telah hilang di banyak tempat. Mereka menjalankan semua itu,seperti upacara persembahyangan sehari-hari, sampai rangkaian tradisi Imlek, sebagi bakti kepda leluhur.
Ada meja hio setinggi dada yang bisa dipindah-pindah di bagian depan rumahnya. Ada pula hiolo di salah satu tiang depan rumah, serta meja abu.
“Meja abu ini untuk persembahyangan di pelataran,” ujarnya.
Sembahyang di pelataran adalah untuk thian (Tuhan YME). Hiolo di tiang pintu untuk persembahyangan kepada dewa rumah. Persembahyangan di meja abu untuk paraleluhur. Meja abu dilengkapi lampu lilih, dan foto-foto keluarga.
Tjun Kim menjalankan semua persembahyangan dengan khidmat, meski tidak tahu apa yang diucapkan saat mengangkat hio. Ia, seperti yang lain, diwarisi tradisi melalui tindakan, bukan ajaran.
Di Cukanggalih, semua rangkaian tradisi Imlek – atau perayaan Tahun Baru dalam kalender Cina – masih dijalankan dengan ketat. Bersama sanak-keluarganya, TjunKim selalu pergi ke Lithang. Ia masih mengikuti upacara cheng beng, makan kue bulan, sembahyang ciokho atau rebutan, dan lainnya.
Cukanggalih hanya satu dari sekian enclave Cina Benteng pedalaman di Kabupaten Tangerang. Cina Benteng pedalaman ainnya tersebar di Desa Rancakelapa, masih di Kecamatan Panongan, sejumlah desa di Kecamatan Curug, Legok, Tigaraksa, Kelapadua, dan Balaraja.
Jika beruntung, di kantong-kantong ini pula kita dapat menemukan tradisi paling langka dalam masyarakat Cina, yaitu upacara perkawinan chiao thau. Menurut IwanSentosa, dalam salah satu tulisannya, upacara ini relatif telah sulit ditemukan di Cina daratan.
Chiao-thau adalah rangkaian upacara perkawinan yang rumit, karena segalanya harus dilakukan menurut perhitungan. Upacara bisa saja harus dilakukan siang, malam, atau bahkan dini hari.
Tjun Kim menikah dengan cara itu. Sebagai pengantin pria, Tjun Kim harus mengikuti semua aturan kapan harus keluar rumah, dan melangkah.
Pengantin pria mengenakan baju hitam tanpa kancing depan, celana panjang, serta topi caping – tak ubahnya di vampir di fim-film horor Cina. Mempelai wanita mengenakan hwa-kun, berupa pakaian terusan, lengkap dengan tirai penutup wajah.
Hampir tidak ada yang tanggal dalam tradisi Cina Benteng di Panongan, meski Orde Baru melarang ekspresi kebudayaan Tionghoa selama 32 tahun. Kalau pun ada yang hilang, Cina Benteng tidak memiliki Lithang – tempat ibadah masyarakat Konghucu.
Hampir seluruh penduduk usia lanjut, dan yang berusia di atas 40 tahun, menggunakan nama Tionghoa. Sedangkan generasi yang lahir saat Orde Baru berkuasa banyak yang menggunakan nama pribumi.
Yosep, mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Tangerang berusia 22 tahun, adalah salah satunya. Tjun Haow juga sempat memperkenalkan diri dengan nama Agus.
Yosep tidak tahu mengapa orangtuanya tidak memberi nama Tionghoa. Ia tidak mempersoalkannya, tapi kerap terganggu ketika rekan-rekan sesama Tionghoa menanyakan nama aslinya.
“Setelah kuliah, saya bertanya kepada babah (panggilah ayah) mengapa saya diberi nama non-Tionghoa. Ayah saya mengatakan karena takut Orde Baru,” ujar Yosep. “Bahkan ayah saya tidak tahu jika Yosep itu nama Katolik.”
Yang bisa dilakukan Yosep adalah mengidentifikasi diri sebagai keturunan marga Oen. Ini amat penting dalam hubungan dengan masyarakat Cina Benteng yang berada di luar, karena komunitas mereka melarang perkawinan satu marga.
Rekan-rekannya, yang juga telah menggunakan nama non-Tionghoa, harus melakukan hal yang sama. James Dananjaya, dalam satu makalahnya, menyebut orang-orang seperti Yosep sebagai Asnawi Karnadipanegara — kependekan dari asli cina betawi tukar nama dipaksa negara.
Aditya, 55468
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua