Budaya-Tionghoa.Net | Membaca tulisan Handoko Widagdo berjudul Engkong, yang dimuat beberapa waktu lalu oleh AK Bromokusumo, membawa kenangan yang lain. Satu episode sejarah Tionghua peranakan yang pernah ada di tanah Jawa. Sejarah itu sebentar lagi terlupakan dan tidak terekam, menjadi bagian masa lalu.
Di pertengahan abad 19, mungkin di awali sekitar tahun 1850’an ada semacam gerakan di kalangan orang Tionghua di Jawa Timur dan Jawa Tengah untuk memberi nama anaknya dengan nama campuran, nama Jawa atau nama Melayu. Dari cerita itu ada 2 contoh nama See Seneng Nio dan Kwee Cilik Hian, dan beberapa nama lagi. Dan belakangan di kalangan orang TiongHua mereka juga menggunakan nama Belanda seperti Kwee Anna Nio atau Tan Ross Nio. Banyak contoh yang bisa di ambil.
Apa yang menjadi latar belakang dan dasar pemikiran gerakan ini ? Gerakan ini tampaknya bukan suatu gerakan yang timbul karena komando seseorang, karena nampaknya gerakan ini tidak tercatat dalam sejarah. Gerakan ini juga nampaknya dilakukan bukan dalam gegap gempita, tetapi dilakukan oleh banyak orang Tionghua di Jawa dengan diam2 . Yang pasti gerakan ini bukan gerakan ganti nama seperti yang dianjurkan atau diharuskan di sekitar tahun 1965.
Lantas apa yang menjadi dasar gerakan ini ?
Untuk mencoba memahami, sebaiknya mencoba memahami situasi di Jawa waktu itu. Dan bagaimana situasi politik orang Tionghua di Jawa pertengahan abad 19 itu ?
Di tahun 1855 pulau Jawa baru saja melewati masa 25 tahun sesudah terjadi geger Jawa yang berikutnya, perang Diponegoro dari tahun 1825 sd 1830. Seperti di tahun 1970 untuk kejadian perang dunia yang selesai di tahun 1945, jadi bagi banyak orang ingatan akan perang itu masih relative segar, karena masih ada pelaku langsung. Di tahun itu Jawa baru 40 tahun kembali tangan Belanda setelah dari th 1811 ke 1815 jatuh ke tangan Inggris.
Dan sebenarnya baru sejak tahun 1800 atau 1799, pemerintah Belanda resmi masuk ke Jawa, sedang sebelumnya ada ditangan VOC, perusahaan dagang. Itu terjadi karena VOC sebagai perusahaan menjadi bangkrut, sehingga diambil alih oleh pemerintah Belanda. Dan tahun 1855 adalah 100 tahun setelah perjanjian Giyanti yang menandai munculnya dan memecah Mataram menjadi dua yaitu kesunanan Surakarta dan kesultanan Yogyakarta.
Perjanjian Giyanti inilah yang dapat dikatakan menandai peran politik VOC yang menjadi cukup besar dan lebih significant terhadap Solo dan Jogya. Satu perjanjian yang menandai selesainya 15 tahun atau satu periode kekacauan di Jawa yang dimulai dengan pembantaian orang Tionghua di Batavia tahun 1940.
Untuk mereka yang di tahun 1855, kejadian seratus tahun lalu itu sepertii jika orang di tahun 2011 mengenang kejadian kejadian di awal Budi Utomo dulu, tidak ada pelaku langsung lagi, bisa jadi banyak yang sudah lupa atau mulai lupa.
Di tahun 1855 Program Cultuur stelsel atau yang dikenal di buku sejarah sebagai tanam paksa sudah dijalankan selama 25 tahun, sejak mulai dilaksanakan di Jawa pada tahun 1830. Terbentuk pusat pusat kota baru di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah, terutama yang dekat dengan pabrik gula. Tahun ini juga menandai 150 tahun pesisir Jawa bagian utara mulai dikendalikan oleh VOC.
Tahun 1855 juga menandai 100 tahun pemisahan perkampungan orang Tionghua menjadi pecinan di daerah yang dikendalikan langsung oleh VOC. Tahun ini juga menandai 100 tahun keharusan orang Tionghua memakai surat jalan jika meninggalkan daerah tempat tinggalnya. Ada yang berpendapat kebijakan ini untuk memisahkan orang Tionghua dengan orang Jawa, karena mereka sebelumnya telah bekerja sama dan mengakibatkan perang selama 15 tahun dari 1740 sd 1855. Perang itu dimulai ketika pelarian Tionghua dari Batavia yang menghindar pembantaian yang terjadi disana berkumpul dan berlindung di Welahan dan kemudian menyerang dan merebut kota Semarang.
Pada tahun 1855 Tiongkok diperintah oleh kaisar XianFeng, Kaisar ke 7 dinasti Qing yang memerintah Tiongkok. Pada waktu itu Tiongkok 55 tahun setelah meninggalnya Kaisar KianLiong. Tahun ini adalah tahun ke 5 pemberontakan TaiPing, yang sedang dalam keadaan jaya dan menuju ke kemenangan. Pada tahun 1855 berita tentang kekalahan Tiongkok di perang Candu yang pertama dari tahun 1839 sd 1842 bisa diperkirakan sudah menyebar ke kalangan orang Tionghua di Jawa karena sudah mempunyai jarak lebih dari 10 tahun.
Pada tahun 1855 ini Inggris sedang jaya dibawah Queen Victoria, dan Amerika dibawah Presiden Franklin Pierce. Beberapa tahun kemudian terjadi perang saudara di Amerika Serikat, tepatnya tahun 1860. Periode Industrialisasi sedang mulai berjalan di Eropa, dan dampaknya segera akan juga dirasakan di Jawa, terutama dengan munculnya banyak pabrik gula di Jawa.
Belum ada radio, jadi berita menjalar melalui orang ke orang. Belum ada surat kabar di Jawa. Berita menjalar dari warung kopi ke warung kopi.
Komunitas orang Tionghua sudah tersebar di Jawa bahkan sampai ke pedalaman pedalaman desa di Jawa. Seperti yang digambarkan dalam cerita Engkong. Pada umumnya mereka yang dipedalaman bekerja menjadi pengumpul komoditas baik untuk kebutuhan ekspor maupun kebutuhan pangan dan kebutuhan lain orang kota. Mereka yang tinggal di desa berhubungan langsung dengan petani atau masyarakat penghasil. Kemudian komoditas yang dikumpulkan itu di jual lagi ke pedagang yang lebih besar lagi yang tinggal di kota. Mereka juga menjadi pedagang perantara menjadi penyalur komoditi yang dibuat dan datang dari kota lebih besar.
Komunitas Tionghua tidak hanya menyerap kebudayaan lokal tetapi juga memperkenalkan ke komunitas lokal pernak pernik budaya, termasuk di dalamnya peran kuliner seperti tahu taoge kecap dll. Bahkan di Jawa Timur banyak kuliner yang sudah menjadi lokal dengan bahan lebih dari setengah datang dari komunitas Tionghua, seperti sambal tahu.
Pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Timur walaupun sudah 150 tahun dikendalikan oleh VOC dan sekarang oleh pemerintah Belanda di Hindia Belanda, bagaimanapun juga secara tradisional tetap berorientasi ke Solo.
Karena itu pada umumnya orang Tionghua di Jawa Tengah dan Jawa Timur juga berorientasi ke Solo atau ke Jogja. Orientasi orang Tionghua ini diperlihatkan dengan kegemaran mereka memakai ikon ikon budaya Jawa untuk mengekspresikan diri mereka. Baik dari cara berpakaian dengan kebaya, maupun penggunaan gamelan dan wayang sebagai alat ekspresi budaya. Baik wayang kulit maupun wayang orang dipakai sebagai alat penghibur jika orang Tionghua melakukan sesuatu hajatan, seperti mantu misalnya.
Sudah jamak pula beberapa bupati di pesisir utara Jawa adalah keturunan orang Tionghua terutama sebelum tahun 1750’an. Ini bakan sudah cukup lama, bahkan sejak pemerintahan Amangkurat beberapa orang Tionghua di Jawa tercatat menjadi bupati di daerah pesisir dan menjadi Jawa. Yang bahkan bisa jadi jauh sebelum masa itu, karena memang agaknya tidak dipersoalkan benar bagi kalangan orang Tionghua untuk menjadi orang Jawa atau sebaliknya, karena pada dasarnya saat itu belum ada politik identitas.
Menurut buku J Stockton seorang Inggris yang melakukan perjalanan dari Singaraja Bali ke Surabaya di tahun 1812 hampir di setiap kota yang disinggahi di pesisir bagian tapal kuda di Jawa Timur, seperti Situbondo, AsemReges, Probolinggo, Pasuruan selalu ditemui orang TiongHua yang menjadi pemimpin agama lokal.
Inilah situasi di Jawa dan di dunia pada saat itu. Inilah saat dimana Jawa sedang mulai menangguk sukses dari sistim cultuur stelsel. Dan pada saat inilah muncul semacam gerakan menggunakan nama tengah yang berasal dari Jawa atau berasal dari Melayu. Apa yang menjadi alasan dan dasar dari gerakan ini ?
Apakah ini pengaruh yang datang dari ThaiLand atau Philipine ? Baik ThaiLand dan Philipine adalah dua negara di Asia yang penduduk keturunan Tionghua nya diketahui mengadopsi dan berasimilasi dengan penduduk lokal, terutama dengan dimulai mengadopsi nama lokal. Walaupun kemungkinan itu ada tetapi di tahun 1855, baik pengaruh dari Manila maupun Bangkok harusnya lebih kecil, karena tingkat produksi mereka lebih rendah waktu itu dibanding pulau Jawa. Memang Manila secara tradisionil terletak di jalur pelayaran antara Tiongkok dan Jawa, sampai dengan munculnya kapal api kemudian. Dan tahun 1855 belum ada kapal api di Hindia Belanda, baru beberapa tahun kemudian muncul kapal api di Nederland East Indies.
Apakah karena Tiongkok diperintah oleh dinasti Mancu? Dan mereka orang2 Tionghua di Jawa merasa menjadi musuh dari dinasti itu ? Apakah karena sedang ada pemberontakan TaiPing disana ? Apakah karena muncul paham Nasionalisme di kalangan orang Tionghua di Jawa Tengah dan Jawa Timur ?
Pada tahun 1855 belum muncul gerakan Nasionalisme atau Sosialisme atau Marxisme atau keagamaan. Paham paham ini baru muncul beberapa tahun kemudian di paruh kedua dari abad 19.
Apakah karena pengaruh yang datang dari Singapore HongKong atau ShangHai ?
Pada tahun 1855 ini kota Singapore, HongKong dan ShangHai baru mulai muncul, pada waktu ini kota Batavia bahkan lebih besar dari semua kota itu. Bahkan Surabaya dan Semarang sudah menjadi pelabuhan lebih penting pada masa itu. Ini terutama karena di AsiaTimur Jauh, Pulau Jawa mulai menduduki tingkat utama di dunia karena sukses sistim cultuur stelsel, yang mengakibatkan produksi dari Jawa mengisi dunia.
Pada tahun 1855 bahkan Tokyo baru saja dipaksa buka oleh Commodore Perry.
Lantas apa yang menjadi dasar orang TiongHua memilih mulai menggunakan nama tengah Jawa atau Melayu untuk anak anak nya ?
Tetapi Jawa agaknya sedang berubah. Ini ditengarai dan di analisa oleh Peter J Carey di buku Changing Javanese Perception of the Chinese Communities in Central Java, 1755 – 1825, sebagai akibat politik pemisahan komunitas orang Tionghua dengan Jawa, yang dimulai setelah tahun 1755, selesainya periode perang selama 15 tahun di Jawa.
Sampai dengan tahun 1855 belum tercatat ketegangan yang bersifat rasial conflict di Jawa. Walaupun menurut buku Benny G Setiono pernah terjadi pembantaian orang Tionghua di Ngawi pada waktu perang Diponegoro.
Walaupun demikian ternyata gelombang menggunakan nama tengah Jawa atau Melayu tidak surut bahkan cukup besar, lantas apa sebabnya ?
Dalam pemberian nama ke anak, memang tidak ada peraturan baku, yang ada biasanya hanyalah semacam konsensus, antara saudara misalnya. Contohnya pemakaian nama tengah atau nama kedua. Bisa jadi dalam satu keluarga itu sudah ditentukan oleh para pendahulu beberapa generasi di atas, yang harus diikuti oleh mereka anak keturunan yang laki2, karena membawa nama marga. Kebiasaan ini suka disebut syair generasi.
Sedangkan untuk nama ketiga, kalaupun ada kebiasaan, bisa jadi karena orangtua pertama kali melihat sesuatu pada saat anaknya lahir dan kemudian memberi nama ke anak nya berdasar penglihatan itu.
Terkadang pemberian nama kedua, syair generasi sudah ditentukan sampai 7 generasi ke depan, tetapi bagaimana setelah lewat generasi ke 7 ? Bisa jadi kasus ini banyak dihadapi keluarga Tionghua yang sudah lebih dari 7 generasi ada di Jawa. Mereka bisa memulai dengan syair yang baru, bisa juga tidak.
Jadi harus disimpulkan bahwa gerakan pemberian nama tengah Jawa atau Melayu itu bukan karena pengaruh dari luar, tetapi satu gerakan yang muncul dari dalam. Juga bukan karena anjuran seseorang. Jadi bukan karena Nasionalisme atau paham isme yang lain. Agaknya penjelasan yang paling masuk akal adalah tanpa pretensi apa2, tanpa maksud apa2.
Ataupun kalau ada maksud, maka maksud itu sangatlah mungkin agar dengan demikian lebih dapat mencapai harmoni dengan lokal, lebih karena orientasi budaya ke lokal tempat bumi dipijak, tanpa harus merasa mempunyai beban yang lain seperti kehilangan identitas sebagai orang TiongHua misalnya. Toh paham atau politik identitas sebetulnya memang belum muncul di jaman ini. Dan bisa jadi itu adalah semangat Tao sendiri yang sudah menyatu dalam kehidupan sehari hari, harmoni dengan alam.
Ini adalah satu gerakan yang timbul tanpa pemimpin, juga timbul bukan karena adanya anjuran atau perintah, juga bukan timbul karena ingin menyenangkan satu pihak. Yang timbul begitu saja. Mungkin mereka belajar dari alam. Dari kehidupan. Dari Tao.
Salam,
Harry Alim