Istilah Kelenteng dalam bahasa Indonesia
Ardian Cangianto
Pendahuluan
Bahasa merupakan bagian dari budaya. Bahasa Indonesia terutama bahasa-bahasa daerahnya memiliki kekhasannya yang unik dalam memberikan penamaan terhadap benda-benda atau warna. Contoh kategorisasi warna : kuning langsat; merah jambu; kuning gading; merah darah. Sedangkan “bunyi” ( onomatope ) juga sering digunakan untuk menunjukkan benda. Contohnya : kentongan; gong; mie tek-tek; meong[1].
Bahasa itu dilihat bukan hanya sebagai sarana untuk mengkomunikasikan ide dan pemikiran, tetapi sebagai intrinsik terhadap informasi mereka ( Berry, Portinga dkk, 2002 : 149 ). Dengan begitu kita bisa melihat bahwa penggunaan “bunyi” ( onomatope ) sebagai kata penunjuk benda merupakan hal yang wajar dalam bahasa Indonesia.
Dalam perkembangan lintas budaya seringkali menemukan kata-kata serapan dari bahasa asing tapi dalam masalah istilah warna dalam bahasa Indonesia itu ada yang menarik, yaitu warna “coklat” yang berasal dari bahasa Belanda ialah chocolade yang sebenarnya menunjukkan jenis makanan coklat. Sedangkan warna coklat dalam bahasa Belanda adalah bruin . Apakah ini berasal dari pohon coklat atau makanan coklat sulit ditelusuri lebih mendalam asal muasal kata warna coklat ini. Tapi yang jelas hal ini menunjukkan bahwa indeks istilah warna itu berdasarkan budaya suatu kelompok masyarakat dalam mempersepsikannya ( lih. Berry, Portinga dkk, 2002 : 154 ). Menurut penulis hal tersebut juga berlaku untuk “bunyi” ( onomatope [2]).
Tempat Ibadah Tionghoa
Sulit diketahui sejak kapan kelenteng sudah ada di Nusantara ini. Tapi diperkirakan sudah ada sejak migrasi orang Tionghoa ke Nusantara ini dan semakin meluas seiring berkembangnya masyarakat Tionghoa di Nusantara, terutama di Palembang dan sepanjang pesisir pantai utara pulau Jawa. Kota-kota pelabuhan di pantai utara pulau Jawa pada masa dinasti Ming ( 1368-1644 ) itu antara lain adalah Banten, Cirebon, Tuban, Gresik[3].
Secara umum istilah-istilah tempat ibadah Tionghoa dalam bahasa mandarin atau juga dalam dialek Minnan itu beragam berdasarkan fungsi maupun afiliasinya pada agama mainstream yang ada di Tiongkok. Adapun agama mainstream ini adalah : Buddhisme, Taoisme. Sedangkan agama Konghucu atau Ruisme itu lebih pada agama yang dianut oleh kaum aristokrat dan tidak berkembang meluas di rakyat jelata. Berbeda dengan agama Buddha Mahayana maupun agama Tao yang memberikan pengaruh luas pada masyrakat bahkan menjadi dua agama besar yang berkembang di Tiongkok. Sebut saja beberapa tempat ibadah yang bernuansakan agama-agama Tionghoa yang ada di Semarang. Contoh : Dajue si 大覺寺 ( Taikak sie ); Xihe gong 西河宮( See Hoo kiong ); Lingfu miao 靈福廟( Linghok bio ); Sanbao dong 三寶洞( Sampo Kong ). Sedangkan untuk di Jakarta ada yang terkenal yaitu Jinde Yuan 金德院 ( Kimtek Ie ). Dari beberapa istilah seperti si寺, gong 宮, miao 廟, dong 洞, yuan 院 menunjukkan adanya beberapa perbedaan-perbedaan istilah yang digunakan oleh orang Tionghoa dalam menyebut tempat ibadahnya.
Pengkatogerian tempat ibadah orang Tionghoa secara singkat :
1.Buddhisme, secara umum disebut siyuan 寺院 :
1.2 Yuan 院, pengertian ini lebih luas daripada si vihara, karena mencakup tempat pendidikan, pelatihan diri untuk para bhiksu atau biara. Contoh Jinde yuan 金德院 ( Kimtek ie, Jakarta ).
1.3 An 庵, banyak orang beranggapan an ini khusus untuk bhiksuni, tapi secara umum bisa diartikan bahwa an adalah tempat kaum perempuan melatih diri, bisa bhiksuni 尼姑, bisa daogu 道姑[4], bisa zhai jie 齋姐. Khusus zhaijie atau yang lebih sering dikenal dengan sebutan caici ini adalah pendoa perempuan khas etnis Hakka dan di Semarang ini ada dua tempat para caici tinggal dan melakukan aktifitasnya. Yaitu di jalan Kenanga, Semarang.
1.4 Ta 塔 ( pagoda ), bangunan ini bernuansakan Buddhisme, dimana pagoda ini adalah tempat untuk penyimpanan relics Buddha, kitab suci atau juga para bhiksu-bhiksuni yang sudah parinibbana[5]. Di Bandung kita bisa melihat di kelenteng Ling Guang si memiliki dua pagoda untuk mengenang suhu (bhiksu atau bhiksuni ) yang sudah meninggal. Pagoda bisa ada dalam lingkup vihara atau berdiri sendiri, seperti pagoda Lei Feng 雷峰塔 di Hang Zhou.
- Taoism, secara umum disebut gong guan 宮觀2.1 Gong 宮, artinya adalah istana. Xihe gong 西河宮 ( See Hoo Kiong ) adalah salah satu contoh yang berada di kota Semarang.
2.2 Guan 觀 , artinya adalah mengamati, penyebutan ini terkait dengan panggung obervasi langit 觀臺 pada jaman pra dinasti Tang. Fungsinya mirip dengan yuan 院 .
2.3 Dong 洞, artinya adalah gua. Biasanya adalah tempat para pertapa. Contohnya adalah Sampokong[6].
2.4 Dian 殿, artinya aula. Statusnya lebih rendah dari gong 宮.
3.Ruism ( Agama Konghucu )
3.1 miao 廟, artinya adalah tempat penghormatan leluhur24. Kadang juga digunakan untuk tokoh yang berjasa, seperti misalnya Kong Miao 孔廟, kelenteng untuk menghormati Kong Zi. Tapi tidak semua miao 廟termasuk kategori Ruism. Wenmiao 文廟 dan wumiao 武廟 masih dapat dikategorikan sebagai kelenteng agama Konghucu.
3.2 ci 祠, secara umum diartikan rumah abu, dimana bisa menjadi rumah abu yang bersifat ke margaan atau juga untuk tokoh yang dihormati. Atau juga bisa bersifat umum seperti Gongde ci 功德祠 ( Kongtek Siu ) Semarang.
3.3 Li tang 禮堂, secara umum artinya adalah aula penghormatan, penggunaan kata li tang sebagai tempat ibadat Ruism ini belum saya temui di negara lain kecuali di Indonesia.
4. Kepercayaan rakyat, pada umumnya mereka menggunakan istilah miao 廟, tapi dalam banyak tempat ibadah kepercayaan rakyat, kita bisa melihat penggunaan gong, ci, tang. Istilah lain yang sering digunakan, antara lain adalah tang 堂 yang berarti aula, biasanya itu adalah kelenteng kecil bersifat pribadi. Yang lainnya adalah shentan 神壇 yang berarti aula dewata juga berukuran kecil, dian 殿 ( aula yang luas ). Tang dan shentan kadang dimiliki oleh pribadi tapi terbuka untuk umum, pada umumnya memiliki fungsi pelayanan sebagai pendoa. Kelenteng yang menggunakan istilah dian ini saya tidak menemukannya di Indonesia. Tang pada umumnya orang mengkaitkan dengan Fotang 佛堂tapi ini juga tidak selalu karena ada yang dari Taoisme menggunakan istilah tang ini. Sedangkan shentan pasti bernuansa Taoisme maupun agama rakyat. Contoh penggunaan tang adalah Fude tang 福德堂 ( Hoktek tong ) di Parakan, Jawa Tengah.
Pada umumnya tempat ibadah orang Tionghoa pada jaman dahulu terutama yang berada di pedesaan dan di perkotaan memiliki fungsi yang luas selain tempat ibadah, antara lain adalah sekolah, tempat kegiatan komunitas rakyat. Tempat ibadah yang memiliki fungsi tempat pendidikan antara lain adalah Fuan gong 福安宮 ( Hokan Kiong ) Muntilan dan Fude tang 福德堂 ( Hoktek tong ) Parakan. Tapi sayangnya yang masih bertahan sampai sekarang ini hanya di kota Parakan saja.
Salah satu ciri unik dari beberapa tempat ibadah orang Tionghoa adalah adanya tokoh-tokoh lokal yang masuk dalam tempat ibadah orang Tionghoa. Sebagai contoh adalah figur eyang Suryakencana dan prabu Siliwangi di beberapa tempat ibadah orang Tionghoa di daerah Jawa Barat. Hal ini tidak perlu diherankan karena kepercayaan orang Tionghoa bersifat inklusif.
Istilah Kelenteng
Menurut KBBI ( Kamus Besar Bahasa Indonesia ), arti kelenteng adalah : biji buah randu ( kapuk ) dan penulis tidak menemukan arti kelenteng maupun klenteng dalam KBBI yang mengartikan sebagai tempat ibadah orang Tionghoa. Sehingga kata “kelenteng” itu bermakna ganda atau ambigu dalam bahasa Indonesia. Istilah kelenteng sebagai tempat ibadah orang Tionghoa tidak dikenal di berbagai pulau selain di pulau Jawa. Di Sumatera mereka menyebutnya bio; di Sumatera Timur mereka menyebutnya am dan penduduk setempat kadang menyebut pekong atau bio; di Kalimantan di etnis Hakka mereka sering menyebut thai Pakkung, pakkung miau, shinmiau. Tapi dengan seiring waktu, istilah “kelenteng‟ menjadi umum dan mulai meluas penggunaannya.
Asal usul penggunaan kata “kelenteng” untuk tempat ibadah orang Tionghoa tidak diketahui sejak kapan adanya. Dan ada beberapa penjelasan yang dicoba untuk menjelaskan asal muasal kata “kelenteng” itu. Pertama menurut Nio Joelan adalah dari kata Guanyin ting 觀音亭 atau gazebo Guanyin[7]. Jika menggunakan dialek Hokian[8] berbunyi “kwan im teng”. Kedua adalah pendapat Li Zhuohui 李卓輝 yang mengatakan kata kelenteng berasal dari tempat pembelajaran atau sekolah yang dalam bahasa mandarinnya disebut jiaorentang 教人堂 atau kaulangtang. Sedangkan yang ketiga adalah dari bunyi genta yang ada di tempat ibadah Tionghoa. Point pertama itu menurut penulis amat lemah karena pada umumnya kelenteng-kelenteng yang bertebaran di pulau Jawa adalah kelenteng untuk dewa bumi atau Fude zhengshen 福德正神 ( Hoktek Chengsin dalam dialek Hokian ). Dari bunyi kwan im menjadi ke len itu amat jauh. Sedangkan untuk pendapat ke dua, istilah kata ren 人 dalam dialek mandarin itu bisa menjadi dua nada bunyi dalam dialek Hokian. Pertama berbunyi jin dan yang kedua berbunyi lang. Kedua bunyi dalam dialek Hokian ( Minnan ) ini walau memiliki arti yang sama yaitu : manusia atau orang tapi penggunannya berbeda. Dalam bahasa Mandarin maupun dialek Minnan dikenal dua sistem tata bahasa, yaitu wenyan dan baihua. Bunyi jika memakai wenyan dan baihua:
教, minnan wenyan = kàu, minnan baihua = kà
人, minnan wenyan = jîn, minnan baihua = lâng
堂, minnan wenyan = tông, minnan baihua = tn̂g.
Dan bunyi kata teng atau tn̂g itu menggunakan e pepet bukan e taling. Seperti penggunaan kata elang. Menurut penulis, istilah kelenteng pada awalnya lebih banyak digunakan oleh orang Jawa daripada oleh orang Tionghoa sendiri. Hal ini didasarkan karena pada umumnya orang Tionghoa menyebut tempat ibadahnya itu adalah bio ( miao 廟 ). Dan penyebutan istilah bio tidak menyulitkan bagi lidah orang Tionghoa. Dan dengan melihat “bunyi” ( onomatope ) yang digunakan dalam bahasa Indonesia maupun bahasa daerah maka tidak menghilangkan kemungkinan penggunaan kata kelenteng dengan e taling itu berasal dari kalangan non Tionghoa. Penggunaan genta dan tambur di kelenteng baik yang dilakukan setiap pagi dan sore maupun pada saat-saat upacara ritual tertentu mengeluarkan bunyi “teng” untuk genta dan “dug” untuk bunyi tambur.
Fenomena onomatope yang menarik belum lama ini adalah “telolet” sebagai kata ganti untuk bunyi klakson bis. Jadi penggunaan kata “kelenteng” ini lambang atau petunjuk bagi konsep yang dilambangkan atau yang ditunjuk dan tidak bersifat arbriter ( lih.Chaer, 2012 : 47 ). Melalui alat indralah manusia memperoleh pengetahuan dan semua kemampuan untuk berinteraksi dengan dunianya ( Rakhmat, 1986 : 62 ), demikian juga bagi masyarakat non Tionghoa saat melihat tempat ibadah orang Tionghoa dan mencoba menggambarkannya dengan bunyi “teng” yang diulang berkali-kali. Serupa dengan penyebutan “kentongan” yang berbunyi “tong” saat dipukul atau mie tek-tek dimana kata “tek-tek” berasal dari bunyi wajan yang dipukul oleh penjual mie tek-tek.
Kesmpulan
Penyebutan kelenteng adalah alat untuk penyebutan orang non Tionghoa pada khususnya di pulau Jawa untuk menunjukkan tempat ibadah orang Tionghoa secara umum. Penyebutan istilah kelenteng itu sudah melampaui batasannya dan diterima secara umum oleh masyarakat Tionghoa sebagai sebutan tempat ibadah kepercayaan Tionghoa yang memiliki ragam macamnya itu. Kelenteng sebagai penanda dan petanda tempat ibadah orang Tionghoa dan berasal dari kalangan non Tionghoa.
Daftar Pustaka
Berry, John W et.al ( 200 ).Cross-Cultural Pschology. New York : Cambridge
University Press
Chaer, Abdul ( 2012 ). Linguistik Umum ( edisi revisi ). Jakarta : Rineka Cipta.
Rakhmat, Jalaluddin ( 1968 ). Psikologi Komunikasi.Bandung : Remaja Karya CV.
Ardian Cangianto ( 2012 ). Menghayati Kelenteng Sebagai Ekspresi Masyarakat
Tionghoa. Paper. Tidak diterbitkan. Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan : Bandung.
[1] Meong dalam bahasa Sunda artinya adalah kucing.
[2] Onomatope adalah kata tiruan bunyi.
[3] Hal ini dapat dilihat pada catatan Mahuan maupun Feixin yang mengikuti ekspedisi Zheng He. Dan juga catatan Chen Qingzhao pada masa dinasti Qing.
[4] Daogu adalah pendeta perempuan dari agama Tao.
[5] Parnibanna adalah istilah Buddhisme untuk mereka yang meninggal dan dipercaya memasuki alam nibbana ( surga ).
[6] Khusus istilah Sampokong itu adalah salah kaprahnya masyarakat, karena penyebutan yang tepat adalah Sampotong dalam dialek Minnan ( Hokian ).
[7] Guanyin adalah bodhisatva ( atau lebih mudahnya saya artikan dewi ) dari agama Buddha Mahayana dan lebih sering dikenal sebagai dewi welas asih.
[8] Dialek Hokian adalah dialek yang banyak digunakan oleh orang Tionghoa di pulau Jawa.