Perubahan Konsep Tempat Ibadah
Masyarakat Tionghoa dan
Pengaruhnya dalam Identitas
oleh:
Ardian Cangianto
Pendahuluan
INPRES 14 tahun 1967 yang dikeluarkan pasca kejadian G 30 S/ PKI mengenai pembatasan kepercayaan orang Tionghoa serta peleburan paksa kepercayaan-kepercayaan mereka ke dalam agama Buddha membuat mereka mengalami perubahan-perubahan sosial. Permasalahan lain adalah pandangan masyrakat yang salah kaprah tentang kepercayaan orang Tionghoa yang selalu dikaitkan dengan agama Konghucu[1] juga tidak tepat. Mencari fakta-fakta sosial dalam kepercayaan orang Tionghoa terutama pada pasca G 30 S itu seperti yang diutarakan Durkheim ( dalam Rizter, 2014 ) mengacu pada : dalam bentuk material dan dalam bentuk non material. Selain itu juga fakta sosial mencakup ( Rizter, 2014 ) struktur dan pranata sosial. Dalam hal “kelas” masyrakat, para penganut kepercayaan Tionghoa itu menjadi kelas “paria” yang mana kepercayaannya sendiri dilecehkan oleh banyak oknum dari semua agama resmi negara dan tempat ibadah kepercayaan mereka yang pada masa Orde Lama bebas berdiri sendiri digiring untuk masuk dalam naungan agama Buddha.
Kendala yang dialami oleh orang Tionghoa dan kepercayaannya terkait dengan faktor kekuasaan dan juga program “kambing hitam” mengurung mereka dalam penjara “idea” sehingga membuat banyak orang Tionghoa mengalami krisis identitas dan terpaksa melakukan perubahan-perubahan dalam kepercayaan mereka. Mereka melakukan pendobrakan dari penjara “idea” dengan melakukan perubahan-perubahan terhadap “idea” mereka. Untuk memahami proses-proses perubahan ini penulis mengacu pada paradigma sosial Rizter ( Rizter, 2014 ) yakni: fakta sosial, definisi sosial dan perilaku sosial.
Dalam hal mengatasi permasalahan-permasalah dan penjara “idea” itu para tokoh kepercayaan Tionghoa melakukan upaya mengatasi permasalahan itu dengan aktif dan kreatif dengan cara menilai dan mencari alternatif-alternatif tindakan serta evaluative ( lihat Voluntarisme Parson dalam Ritzer, 2014 ). Semua itu akhirnya melahirkan PTITD ( Persatuan Tempat Ibadah Tri Dharma )[2] sebagai wadah atau institusi yang memayungi tempat ibadah kepercayaan Tionghoa dan bersinergi dengan lembaga agama Buddha yakni WALUBI ( Perwakilan Umat Buddha Indonesia ) yang diakui sebagai bagian dari agama Buddha.
Agama Sebagai Identitas
Menurut Van Schie ( Schie, 1994 ) agama adalah : “keseluruhan mitos,ritus, dan tata hidup yang merupakan pernyataan serta pengungkapan kepercayaan manusia, dan bahwa GAYA MISTERIUS mempengaruhi semua aspek kehidupannya” dan menurut Olaf Herbert Schuman bahwa: “komponen dasar agama adalah adanya yang disembah dan menyembah, dimana yang disembah itu adalah faktor primat sehingga memiliki kuasa atau paling tidak memiliki pengaruh dalam relasi itu”. Seperti kita ketahui bahwa definisi agama atau kepercayaan[3] itu beragam ( Oppong,2013 ) dan dalam pandangan penulis sebenarnya tidak memiliki perbedaan-perbedaan mendasar antara keduanya jika menilik pada pengertian agama dari Schie dan Schuman. Dan hingga kini terjadi perdebatan apakah agama bagian dari budaya atau budaya bagian dari agama ? Mana yang melahirkan agama atau budaya ? Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa agama adalah bagian dari budaya karena komponen-komponen kebudayaan memiliki unsur religius dan iman ( Tylor dan Eppink, lih. Schie, 1994 ). Steward Harrison Oppong ( lih. Oppong, 2013 dan King, 2003 ) mengatakan bahwa hingga sekarang ini amat sedikit sekali penelitian atau tulisan yang mengeksplorasi masalah agama dan spiritualitas sebagai saluran untuk pengenalan identitas dan formasi dengan agama .
Agama tradisional dan kepercayaan masyarakat Tionghoa memiliki perbedaan menyolok dengan agama-agama Abrahamic. Salah satu perbedaan itu adalah bersifat inklusif dalam artian bisa menerima “dewa-dewi” di luar budaya Tionghoa dan bisa menyerap komponen-komponen di luar kepercayaan mereka. Dan di sisi lain, tempat ibadah orang Tionghoa juga memiliki fungsi struktural. Fungsionalisme struktural menurut Merton( dalam Rizter, 2014 ) menekankan fungsi-fungsi dibandingkan motif-motif dan dalam tempat ibadah kepercayaan orang Tionghoa banyak memiliki fungsi-fungsi sosial ( Ardian, 2012 ) antara lain adalah : kontrol sosial; fungsi pendidikan; pertahanan keamanan; panti asuhan; panti jompo; penginapan gratis dan berbagai macam hal lainnya. Tapi fungsi yang terutama adalah ekspresi budaya Tionghoa yang dituangkan dalam tempat ibadah mereka seperti misalnya : seni kaligrafi; seni pertunjukan; seni ukir; sastra; origami; arsitektur. Faktor lainnya yang mana penulis dan juga C.K Yang ( Yang, 1967 ) setuju adalah dua pembagian besar jenis agama menurut Joachim Wach dan Emil Durkheim, yaitu agama bersifat institutional[4] dan agama yang bersifat diffused. Pada umumnya kepercayaan masyarakat Tionghoa di Indonesia pra Orde Baru bersifat diffused religions. Dimana kepercayaan mereka itu penyembahan leluhur merupakan faktor utama dan juga menjadi bagian penting dalam budaya mereka.
Berdasarkan paparan singkat yang disampaikan penulis di atas maka penulis beranggapan bahwa tempat ibadah dan kepercayaan orang Tionghoa itu dahulu melekat dengan identitas diri mereka sehingga bisa dikatakan menjadi “identitas agama” sekaligus juga “identitas budaya” mereka. Identitas suatu etnis secara umum dapat dibagi tiga bagian besar, yaitu : identitas social, identitas cultural dan identitas genetis. Pengertian identitas secara umum adalah : ciri-ciri atau tanda baik bersifat fisikal maupun psikis yang melekat pada seseorang sehingga menjadi khas.
Ada dua kelompok identitas yaitu : personal dan kolektif. Identitas yang melekat pada seseorang tidak pernah bersifat tunggal tapi bersifat majemuk. Identitas yang melekat itu beragam dan ada identitas yang terkait dengan kekuasaan. Hall ( dalam Chang 2012 :xIii ) menuliskan bahwa identitas muncul dalam kuasa-kuasa tertentu. Hall juga ( Chang 2012, xIii ) menyatakan : karena identitas terbentuk di dalam berbagai representasi, alih-alih mencerminkan “siapa kami” atau “darimana kami berasal”, identitas lebih baik digambarkan sebagai “bagaimana kami mungkin menjadi’, “bagaimana kami telah direpresentasikan”, dan “ bagaimana hal itu berkaitan dengan bagaimana kami mungkin merepresentasikan diri”. Singer ( dalam Danandjaya, 1994 ) membagi penelitian Antropologi Psikologi menjadi tiga kelompok permasalahan besar :
- Kelompok Hubungan kebudayaan dengan sifat pembawaan manusia ( human nature ).
- Kelompok hubungan kebudayaan dengan kepribadian khas kolektif tertentu ( typical personality ).
- Kelompok hubungan kebudaayan dengan kepribadian individual ( individual personality ).
Redfield (Danadjaja, 1994) mengutarakan teori “Gaya Hidup Petani Desa” dan ada tiga macam masyarakat di dunia, yakni : masyarakat folk, masyarakat pertanian dan masyarakat perkotaan. Dalam hal kepercayaan[5] orang Tionghoa memiliki khasnya yang bersifat kolektif dimana budaya Tionghoa dan system kepercayaannya dipengaruhi oleh budaya pertanian. Moel ( lih.Oppong, 2013 ) berargumen bahwa ada dua jalan tentang konsep identitas dalam ilmu sosial, pertama mengkonseptualisasikan identitas berhubungan dengan gagasan tentang ketetapan, atau setidaknya inti kepribadian yang berubah perlahan-lahan yang memanifestasikan dalam semua aspek dari usaha individu, terlepas dari pengaruh berbagai role model; yang kedua adalah berurusan dengan diri yang sementara dan mampu beradaptasi sebagai individu yang berpindah dari satu lingkungan sosial ke yang lain, memberikan identitas yang agak berbeda pada setiap kesempatan.
Agama mengandung peran penting dalam pemeliharaan keteraturan, pengendali moralitas, kendaraan untuk pembenaran dan juga pemberi sanksi sosial dalam masyarakat. Demikian pula halnya tempat ibadah orang Tionghoa yang secara umum disebut ‘kelenteng’ dan kata ‘kelenteng’ ini menurut penulis adalah istilah ‘generik’ bagi tempat ibadah Taoisme; Ruisme dan Buddhisme Mahayana, yang mana salah satu ciri khasnya adalah mengandung unsur arsitektur Tiongkok. Dalam masyarakat Tionghoa pada umumnya, mereka tidak ‘memperdulikan’ konsep agama institutional tapi mereka lebih mengarah pada agama ‘diffused’ yang mana tidak seperti agama-agama yang pada umumnya. Agama Tionghoa lebih bersifat inklusif dan juga mengandung unsur budaya Tionghoa yang amat sangat kental. Terbitnya Inpres 14/1967 yang membatasi kebebasan berekspresi orang Tionghoa dalam kepercayaannya terutama di kelenteng-kelenteng kemudian diikuti oleh aturan bahwa harus dibawah naungan DitJen Hindu Buddha ( dahulu ) kemudian diikuti perubahan besar-besaran penggantian nama tempat ibadah mereka terutama di daerah Jawa Barat agar menggunakan sebutan vihara dan penggunaan bahasa Sansekerta sebagai nama tempat ibadah mereka. Contohnya vihara Satya Bhakti Bandung yang dahulu bernama Xiatian Gong, vihara Dhanagun Bogor yang dahulunya adalah Fude Miao dan masih banyak lagi.
Pembatasan-pembatasan itu diiringi dengan masuknya ajaran Buddha Theravada diberbagai kelenteng-kelenteng[6] yang jauh sekali hubungannya dengan kepercayaan orang Tionghoa membuat mereka menjadi gamang dan terjadinya pergeseran identitas keagamaan mereka. Berdasarkan pengamatan penulis, mayoritas orang Tionghoa yang tetap memeluk kepercayaan Tionghoa itu kemudian mengisi kolom agama di KTP adalah agama Buddha kemudian juga pelajaran agama Buddha yang diberikan itu mayoritas adalah Buddhisme Theravada yang memiliki budaya jauh berbeda dengan budaya Buddhisme Mahayana.
Kesimpulan
Jika pada masa Orde Lama kelenteng-kelenteng itu berdiri sebagai institusi mandiri atau bergabung dengan Samkaw Hwie[7] bebas intervensi dari institusi legal keagamaan tapi pada masa Orde Baru mereka mau tidak mau harus berada dibawah naungan lembaga agama Buddha tapi ada sebagian dari kelenteng-kelenteng itu mengadakan perlawanan dengan mendirikan PTITD ( Persatuan Tempat Ibadah Tri Dharma ) dan berada dibawah naungan DitJen Bimas Hindu Buddha.
Daftar Pustaka
Li Shen 李申. (2000).Zhongguo Rujiao Shi中國儒教史 ( Sejarah Agama Ru
Tiongkok- penulis ). Cet.III. ( Vol.1-2 ) Shanghai: Shanghai Renmin
Chubanshe上海人民出版社.
Ma Xisha 馬西沙dan Han Bingdong 韓秉東 ( 2004 ). Zhongguo Minjian
Zhongjiao Shi 中國民間宗教史 ( Sejarah Agama Rakyat di Tiongkok ). ( Vol.1-
2 ) . Beijing : Zhongguo Shehui Kexue Chubanshe 中國社會科學出版社.
Chang-Yau Hoon ( 2012 ). Identitas Tionghoa Pasca-Soeharto : Budaya, Politik, Media ( Budiawan, Penterjemah ). Jakarta : Yayasan Nabil dan LP3ES.
Oppong, Steward Harrison ( 2013 ). Religion and Identity. American International Journal of Contemporary Research, vol.3, no.6: June 2013, hal.10-16. Doi : http://aijcrnet.com/journal/index/476.
King, Pamela Ebstyne ( 2003 ). Religion and Identity : The Role of Ideological, Social, and Spritual Contexts. Applied Developmental Science, vol.7, No.3, hal. 197-204. Doi:https://pdfs.semanticscholar.org/9344/19332d8cd2c5e1fa6c57f1738a60b7870139.pdf.
Setiadi, Elly.M dan Kolip, Usman ( 2011 ). Pengantar Sosiologi Pemahaman Dan Gejala Permasalahan Sosial : Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Cet.II. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Danadjaja,James ( 1994 ). Antropologi Psikologi:Teori, Metode dan Sejarah Perkembagannya. Cet.II. Jakarta : PT RajaGrafindo Perkasa.
Rizter, George ( 2014 ). Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda ( Alimandan, penterjemah ). Cet.XI. Jakarta : PT.Rajagrafindo Persada.
Schie, G.Van ( 1994 ). Rangkuman Sejarah Gereja Kristiani dalam Konteks Sejarah Agama-Agama Lain. Jilid I. Jakarta : Penerbit OBOR.
Yang, C.K, ( 1967 ). Religion in Chinese Society : a Study of Contemporary Social Function of Religion and Some of Their Historical Factors. Berkeley dan Los Angeles : University of California Press.
Ardian Cangianto ( 2012 ). Menghayati Kelenteng Sebagai Ekspresi Masyarakat Tionghoa. Paper. Tidak diterbitkan. Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan : Bandung.
[1] Agama Konghucu sebenarnya agama yang dianut oleh kaum aristocrat Tiongkok. Memiliki perbedaan-perbedaan menyolok dengan agama atau kepercayaan orang Tionghoa pada umumnya. Nilai-nilai agama atau filsafat Ruisme atau agama Konghucu inilah yang menyebar dalam masyarakat Tionghoa.
[2] Tri Dharma adalah kepercayaan masyarakat Tionghoa yang bersifat idelogi sinkretis. Agama-agama itu adalah Taoisme, Buddhisme dan Ruisme atau yang disebut agama Konghucu di Indonesia.
[3] Masyarakat Tionghoa memiliki kepercayaan ( cult ) kedaerahan yang tidak selalu terkait dengan agama-agama insititusional seperti agama Taoisme, Buddhisme ataupun agama Konghucu.
[4] Agama institutional adalah agama yang memiliki struktur organisasi keagamaan; struktur rohaniawan yang jelas; kitab suci yang terstruktur dengan rapih. Jika menilik konsep ini maka agama-agama institusional dalam kepercayaan Tionghoa hanya Taoisme, Buddhisme Mahayana dan juga agama-agama rakyat. Yang termasuk agama-agama rakyat dan berkembang di Indonesia antara lain : Yiguan Dao, Maitreya, Kasogatan. Sedangkan agama Konghucu tidak memiliki system seperti itu ( bandingkan tulisan Ma dan Han, 2004 juga tulisan Yang, 1967 ). Ma Xisha mengupas bahwa agama-agama rakyat Tiongkok sebenarnya adalah sinkretisme agama-agama institutional ( dalam tulisan Ma, 2004 ditulis sebagai agama arus utama atau mainstream ).
[5] Penulis gunakan istilah kepercayaan orang Tionghoa untuk membedakan dengan agama Tionghoa.
[6] Buddhisme Mahayana masih memiliki kedekatan dengan kelenteng-kelenteng tapi mereka sendiri sangat sedikit masuk ke dalam kelenteng-kelenteng.
[7] Perkumpulan Tridharma yang mengacu pada tiga agama orang Tionghoa. Yakni : Taoisme, Buddhisme dan Ruisme. Ironisnya Perkumpulan Tridharma ini mengacu pada kitab-kitab Theravada dan tidak ada pemahaman sama sekali tentang Taoisme.