Budaya-Tionghoa.Net | Saya ingin bertanya tentang makanan khas Hakka, yang menurut saya Numero Uno uenaknya. Tadi sempat obrol-obrol di conference BT di Yahoo bareng beberapa rekan khek, jadi nostalgia mengenai makanan khas Khek. Dan muncullah top 5 makanan yang boleh dibilang langka dipasaran. Mungkin sebentar lagi punah (di Indonesia).
1. Sun Pan
2. Lo Phie Yen
3. Su Fun Pan
4. Mien Kiaw
5. Mi Kau Pan
Apakah bung Ophoeng dan rekan rekan semilis pernah makan makanan yang disebutkan diatas? Atau ada nama khusus yang lebih benar pelafarannya. Soalnya saya cari di google tidak ada yang sesuai ketjoeali Sun Pan yang ternyata lumayan terkenal. Dan memang menurut saya (pendapat pribadi) Sun Pan adalah yang terlezat dari 5 diatas. Makanya saya taruh di nomor 1.
Makanan diatas, cuma bisa saya makan kalau pulang kampung (itupun harus meminta khusus mama bikinin). Mengingat sangat susah / mustahil mencari penjualnya di Jakarta (boleh bagi-bagi kalau ada yang tahu).
Apakah di daerah luar Indonesia, masih ada makanan seperti ini dan apa namanya? Juga ada 2 jenis kue yang kita bahas:
1. Mak Pan
2. Fat Pan
Kalau Mak Pan saya tidak tahu apa nama padanannya dalam dialek lain. Dan dari perbincangan kami tadi tidak juga mendapat konklusi kue apa itu, hanya kalau dari gambaran ya sesama Hakka pasti ngerti.
Bentuknya kayak bolu tapi lebih keras dan padat, mungkin gambarannya lebih tepatnya kayak Muffin gitu.
Fat Pan, kalau dalam dialek Fujian disebut Huat Kue. (alias kue kembang), yang ini biasanya cukup familiar soalnya sering dipake buat sembahyang. Warnanya merah muda dan mirip cup cake, cuma atasnya belah. Kalau tidak belah namanya produk gagal.
Bung Ophoeng dan rekan-rekan milis pakar kuliner tradisi khas, mungkin bisa sharing sedikit memberikan pencerahan kepada kami-kami yang tahunya cm samar-samar tersamar. (John Doe)
Tanggapan Dari Ophoeng
Bung John Doe dan TTM semuwah,Hai, apakabar? Sudah makan? Hehehe….. saya jadi geli mendapat predikat ‘pakar’ makanan di mari. Lha, wong saya benernya cuma pendoyan makan enak, dan setelah makan, kerana perut kenyang hati pun senang, barulah saya cuap-cuap asal bunyi ceritakan tentang enaknya makanan yang baru saja saya nikmati itu.
Jadi, kalau ditanya nama makanan itu dikenal atau tidak, apalagi pakai dialek basa tertentu, tentu saja saya tidak tahu apa-apa. Apalagi kalau deskripsi-nya gak jelas. Padahal makanan itu just like a man, punya karakter, punya rupa, punya warna, punya rasa dan aroma. Walau pun mungkin berbeda-beda sebutannya, namanya, tapi bisa saja itu untuk jenis makanan yang sama.
Contoh saja, nama bola-bola itu (di Cirebon dan beberapa daerah lain) benernya sama untuk onde-onde (di Jatim?) yang merujuk ke cemilan yang berbentuk bola, seukuran bola tenis, berbahan tepung beras dan aci, digoreng, dengan center fill berupa tumbukan kacang hijau kupas dibentuk pasta, dan sekujur tubuhnya dilapisi biji wijen.
Tapi, nama ‘onde-onde’ yang sama (namanya saja), di Cirebon adalah nama untuk ronde berkuah, berbahan tepung beras ketan, tanpa isi, kecil-kecil, seukuran gundu, diberi pewarnaa merah, hijau dan putih tanpa pewarna, atau lebih besar sedikit dengan center fill kacang tanah tumbuk (di Malaysia dan Singapore ada yang isi wijen, kacang merah, bunga matahari, dll), direbus, lalu diberi kuah air gula pasir saja, atau ada juga yang diberi jahe. Ronde atau onde-onde ini benernya berbahan, berbentuk dan berrasa sama seperti mochi, muachi, hanya saja diberi kuah air gula + jahe tuh ya?
Sistem penamaan, atau nomenklatur, untuk makanan, biasanya sih mencerminkan rupa atau rasa makanan itu sendiri. Mereka, para pendahulu kita, rupanya menamai makanan cukup sederhana, dengan melihat hasil akhirnya: bentuk atau rupanya, dan rasanya, sebagai cerminan si makanan, sehingga mudah mengingatnya. Just as simple as that ajah sih, jeh!
Kalau namanya memakai basa dialek daerah tertentu, tentu saja sulit bagi orang yang tidak mengerti basa dialek tsb. untuk menebaknya, kecuali kalau bisa dituliskan Hanzi-nya, itu pun baru sekedar menebak saja. Kalau ada deskripsi rupanya atau bagus lagi fotonya, rasanya dan aromanya, apalagi kalau disebutkan bahannya, tentu lebih baik lagi. Syukur-syukur lagi kalau bisa diceritakan sedikit proses membuatnya – dikukus, direbus, dipanggang, dibakar, digoreng dan seterusnya
Sebagai contoh saja, pernah ada filem serial TV dari Singapore. Kayaknya sponsornya tukang bakso ikan, sebab ceritanya berkisar di seputar baso ikan melulu. Media TV ‘kan benernya audio visual, jadi, anda bisa denger suara dan bisa lihat gambar. Basa Inggris untuk baso ikan adalah fish ball, lantas
penerjemah yang mesti membuat subtitle menerjemahkannya secara ‘mentah-mentah’ menjadi bola ikan.
Gak salah, tentu, fish = ikan, ball = bola. Padahal, kalau si penerhemah mau ikut nonton filmnya, tentu dia tahu yang dimaksud itu adalah bakso ikan – istilah yang sudah kita kenal di mari, karena bentuknya sama dengan bakso atau baso, putih, dibuat dari ikan. Begitu juga dengan ‘meat ball’ – ini tak lain adalah bakso atau bakwan (sebutan bakso oleh orang-orang Jatim, Surabaya, Malang dan sekitar-nya), tapi kalau resepnya berbasa Inggris, maka penerjemah cukup secara gampang saja menyebutnya ‘bola daging’, gampang dan tak salah secara semantik.
Fish ball, kalau gak salah dalam dialek Hokkian adalah hi-wan, memakai ‘wan’ (bola) yang sama dengan bak-wan (bakso).
Karena ada banyak ‘bak’ yang berasal dari dialek Hokkian untuk banyak jenis makanan, dan secara umum orang Tionghua banyak makan daging babai, maka lantas timbul persepsi di masyarakat – tidak saja yang non Tionghua, tapi juga cukup banyak orang Tionghua, yang secara salah kaprah menganggap anything with ‘bak’ is surely connected with that particular babai or pork, bak = pork.
Contohnya: bakso, bakpau, bakphia, bakmi, dan ‘bak’ yang lain-lain, kecuali bakwan yang benernya sebutan salah kaprah lagi untuk perkedel jagung atau hephia – gimbal (Semarang) atau bakwan udang, yang digoreng.
Kalau merujuk ke deskripsi Bung John Doe untuk nama kue yang terakhir ini:
“Fat Pan, kalau dalam dialek Fujian disebut Huat Kue. (alias kue kembang), yang ini biasanya cukup familiar soalnya sering dipake buat sembahyang. Warnanya merah muda dan mirip cup cake, cuma atasnya belah. Kalau tidak belah namanya produk gagal.”
Saya cuma bisa menebak-nebak, bisa salah bisa juga gak bener, mungkin itu yang kita kenal dengan nama kue mangkuk. Warnanya merah muda, seperti bunga – mekar, kalau gak mekar itu produk gagal aka bantet, biasa untuk sembahan pada waktu sembahyang. Mirip cup cake – hanya citakannya saja yang berbeda tuh ya.
Kalau saja disebutkan ukurannya (gak perlu diukur pakai penggaris, tentunya), bahan dan aromanya, rasanya, ‘bajunya’ aka kemasannya – wadahnya, maka kita bisa mengetahui dengan pasti. Sebab ciri khas kue mangkuk ya karena memang dibuatnya pakai wadah berbentuk ‘mangkuk’ (cup) kecil yang sebenernya itu adalah cawan – cangkir kecil untuk minum teh atau arak. Dan, bahannya tepung beras yang kalau gak salah diberi (air) tape, jadi hasil akhirnya berrasa manis agak-agak masam rasanya, dimasak dengan cara dikukus.
Tapi, kue berwarna pink (merah muda) begitu, mekar juga, ada yang dikemas dalam wadah takir mini dari daun pisang, yang kedua ujungnya disisipi biting (tusuk lidi), berbahan tepung beras juga, dikukus juga, manis juga, tapi tidak diberi air tape, dan mekar juga seperti bunga, dengan teksturnya lebih padat mirip muffin. Ada juga versi lain yang dibuat dengan campuran gula merah (gula Jawa) berwarna soklat. Namanya apa, saya sudah lupa lagi, tapi mungkin ada yang bisa nebak setelah baca deskripsi dari saya tuh, jeh!
Deskripsi tersebut sekilas mirip dengan deskripsi Bung John Doe yang berikut:
“Kalau Mak Pan saya tidak tahu apa nama padanannya dalam dialek lain. Dan dari perbincangan kami tadi tidak juga mendapat konklusi kue apa itu, hanya kalau dari gambaran ya sesama Hakka pasti ngerti. Bentuknya kayak bolu tapi lebih keras dan padat, mungkin gambarannya lebih tepatnya kayak Muffin gitu.”
Sejarah makanan Tionghua di Indonesia cukup panjang, tentu saja sepanjang datangnya gelombang pengembara dari Tiongkok yang datang ke Nanyang dulu. Dengan banyaknya suku bangsa dan dialek, sulit sekali menebak nama makanan berdasarkan dialek untuk namanya saja. Ada makanan yang terus menyandang nama dalam dialek tersebut., ada juga yang lantas diterjemahkan dalam basa Indonesia.
Makanan Kheq sendiri, di Indonesia mungkin diwakili oleh orang-orang Tionghua yang mukim di Aceh, Bangka Belitung, juga Singkawang. Yang dari Aceh mungkin jarang bisa kita (di Jawa) temui, it’s so far away, sulit berinteraksinya. Yang banyak, tentu saja dari Bangka-Belitung dan belakangan juga Pontianak, seiring dengan makin banyaknya perantau baru yang berniaga di Jakarta.
Untuk melacak makanan Hakka atau Kheq itu, mungkin bisa anda coba cari di kawasan Little BB – Bangka Belitung di seputaran Jelambar di kawasan Empang Bahagia – Prof. Dr. Latumeten, Jakarta barat, bahkan di situ ada agen tiket kapal dan pesawat dengan rute khusus ke PP – Pangkal Pinang. Kalau pagi ada pasar kaget dengan gelaran dagangan masakan rumahan ala Babi Hong + Ham-coi-kon buwatan pakmei-pakmei. Ada satu resto khusus Bangka dengan menu andalan Tew-fu-koq. Juga anda bisa pesan babai panggang (asin) khas Bangka yang terkenal garing keripik kulitnya itu, air flown directly from the country of origin tuh, euy!
Dan untuk makanan Hakka lainnya, mungkin anda bisa dapati di Little Ponti yang berada di kawasan Pecah Kulit – P. Jayakarta, Jakarta utara. Yang di Littele Ponti, tentu saja berbaur dengan makanan Tiociu. Lha, wong kalau anda bertanya kepada seseorang yang baru anda kenal, asalnya dari mana? Mungkin dia jawab dari Pontianak, sementara dia bercakap dalam dialek Hakka, sebab dia berasal dari Singkawang dan sekitarnya yang mayoritas memang orang Hakka.
Tapi, saya setuju dengan Bung John Doe, bahwa banyak makanan yang sudah ‘malang’ nasibnya, menjadi ‘malang’ – makanan langka, dan bisa saja suatu saat punah. Karena makanan itu sudah tidak dikenal lagi, atau tidak adayang mebuatnya lagi, dan tentu saja karena mungkin karena tidak ada lagi peminatnya.
Mumpung mendekati Imlek, mungkin ada baiknya dari masing-masing anda, khususnya yang masih punya ema, engkong, atau mamah-papah atau mertua yang masih ‘asli’ atau keturunan langsung dari ‘sono’, yang masih punya resep andalan keluarga, baik itu masakan atau cemilan kuwih-muwih, yang biasanya akan keluar sebagai penyambut suasana Imlek, boleh mulai siap-siap mencatat namanya, resepnya, cara buatnya dan fotonya, deskripsikan secara singkat, jelas, padat, lalu simpan sebagai catatan saja atau berbagi dengan kita semua di milis BT ini.
Kalau soal pakar, saya sih benernya ya sama saja seperti Bung John Doe dan teman-temannya, cuma tahu secara samar-samar dan tersamar juga sih ya. Dan, menjawab pertanyaan apakah saya pernah makan 5 top makanan khas Hakka itu, tentu saja saya cuma bisa menggeleng-geleng kepala, berhenti sejenak, lantas bilang: sorry, I have no idea…. **minjam gaya profesor antropologi di film iklan tentang coke, yang menemukan satu botol coke di antara bebatuan dalam gua dan ditanya mahasiswanya, botol apakah itu gerangan.**
Begitulah saja kira-kira…
Salam makan enak dan sehat,
Ophoeng , 55391
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua