Budaya-Tionghoa.Net | ”Sementara sedari tanggal 10 orang bisa dapet liat rerotan anak-anak dengen roepa-roepa mainan tengloleng di sepandjang straat jang meroepaken berbagi-bagi benda, binatang, boeroeng dan sebaginja lagi, jang dalemnja dinjalahken lilin, saolah-olah pesta kembang di waktoe malem.” (Liem Thian Joe,Riwajat Semarang, Boekhandel Ho Kim Yoe, 1933, Semarang-Batavia).
|
JURNALIS Harian Warna Warta Liem Thian Joe mendeskripsikan suasana Capgome di Semarang tempo doeloe semacam itu. Tak cuma sehari, kemeriahan berlangsung setiap malam mulai bulan pertama tanggal 10 Imlek hingga 15 saat berakhir rangkaian perayaan Sin Cia.
Anak-anak keluarga kaya mengadakan arak-arakan dengan kendaraan hias berbentuk kuda-kudaan dan warak-warakan yang ditarik dengan tenaga orang. Saat berkeliling, mereka diiringi para pembawa lampu teng hingga menimbulkan kemeriahan. Dalam tulisannya, Liem menyebut kemeriahan semacam itu berlangsung hingga awal abad ke-20.
Pada masa berikutnya, Sin Cia dan Capgome masih tetap dirayakan dalam suasana suka cita. Paro kedua abad ke-20 misalnya, warga Tionghoa di Pecinan Semarang memanfaatkan malam Capgome dengan berpesiar di dalam kota.
Mereka yang berada memilih berkendara mobil sedangkan lainnya cukup menumpang becak atau naik praoto (truk) bersama-sama.
Penggubah cerita silat, Gan Kok Hwie (66), mengisahkan, sebagian besar di antara mereka adalah anak muda. Setelah puas berkeliling, warga berhenti di beberapa tempat, antara lain Pantai Semarang, Kelenteng Gedongbatu, Tanjakan Gombel, dan Makamdowo. Di tempat-tempat itu mereka menikmati suasana malam yang indah berhias bulan purnama.
Dansa Dansi
Di Gombel dan Makamdowo, orang bisa menikmati udara sejuk sambil menyaksikan kelap-kelip lampu kota. Di Gedungbatu, mereka menyaksikan aneka ragam hiburan. Antara lain pentas drama kelompok Ribut Rawit dan Srimulat.
Sementara itu di pantai, sebagian ada yang menghabiskan malam dengan dansa-dansi. Itu semua dilakukan hingga pagi hari. ”Yang dansa-dansi adalah orang-orang golongan mampu. Mereka menari-nari di dalam sebuah gedung, tak jauh dari menara mercusuar pelabuhan lama. Saya inget, mereka pakai piringan hitam. Lagunya ada yang milik Elvis Presley, Pat Bun, Nat King Cole dan sebagainya,” ujar adik kandung Gan KL itu.
Selain tempat-tempat tersebut, kemeriahan juga dapat ditemukan pada hampir semua kelenteng di kawasan pecinan. Tak hanya aktivitas sembahyang, pengelola kelenteng juga mengadakan pentas hiburan. Kelenteng Besar Tay Kak Sie biasa mementaskan drama lakon-lakon klasik Tiongkok, seperti Gu Lung Cit Li (Perjodohan Putri Tenun dan Si Gembala) atau Po Lian Ting (Lentera Pusaka). Sementara itu, Kelenteng Hoo Hok Bio depan Pasar Gang Lombok menyajikan orkes Kho Tje Hian dengan biduan yang amat kondang pada masa itu, Mak Sam.Kendati demikian, sore hari sebelum pelesiran, mereka tak lupa menyantap lontong capgome dan melakukan ritus persembahyangan.
Pada 1965, kemeriahan Capgome dan perayaan-perayaan Tionghoa yang lain berakhir. Pasca-G30S PKI, rezim penguasa melarang orang-orang Tionghoa melakukannya. Dan, itu baru berakhir pada era reformasi.
(Rukardi) , Minggu, 12 Februari 2006 via HKSIS
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing List Budaya Tionghua 17358