Budaya-Tionghoa.Net | Malam hari, 25 September 1965, saya bergabung dengan sembilan mahasiswa Inggris lain mendarat di Bandara Beijing. Ada Rose yang sedang mendalami sejarah kesenian dan arkeologi Cina di London, ada pula Beth yang baru lulus dari Cambridge dan terpaksa meninggalkan suami serta anjingnya. Rombongan dari Leeds University, di antaranya Gerry dan Jim, serta Sarah yang baru saja melewati tingkat II.
|
Kami diangkut dengan bus menuju Foreign Language Institute di barat laut Beijing. Di kawasan itu terdapat berbagai perguruan tinggi dan institut, tak jauh dari Beijing University. Kami menuju asrama. Banyak mahasiswa asing di sana. Mereka yang dari negara maju belajar bahasa, sementara kebanyakan mahasiswa asal Asia dan Afrika belajar teknik dan kedokteran.
Asrama kami berlantai dua berwarna abu-abu, bagian dalamnya dilabur warna putih yang masih baru. Karena kualitas labur tidak bagus, lama-kelamaan rontok.
Paginya, usai sarapan, kami dibawa ke Kedubes Inggris yang terletak di kawasan diplomatik di sisi tenggara kota, Jianguomen wai. Pejabat kedutaan menasihati kami cara hidup sebagai orang asing agar tidak terjerumus dalam kesulitan.
Di kawasan diplomatik terdapat toserba Friendship Store yang menjual aneka barang asing keperluan sehari-hari. Tak jauh dari situ terdapat kompleks perumahan diplomat yang dijaga Tentara Pembebasan Rakyat bersenjata lengkap. Setiap rumah punya balkon, setiap keluarga memiliki tukang masak dan perawat anak yang disediakan oleh Public Security Bureau.
Setiap Jumat sore kami dijemput minibus untuk menuju The Bell, pub di Kedutaan. Sedangkan Sabtu pagi biasa diisi kegiatan senam tajiquan di lapangan kampus.
Hari Sabtu pertama diisi pemeriksaan kesehatan. Meski di negara asal kami sudah diperiksa, dan ada surat keterangannya, pihak berwenang di kampus tidak mau tahu. Lucunya, kaum laki-laki tidak perlu diperiksa darah, sementara para mahasiswi diambil darahnya untuk maksud yang tidak kami ketahui.
Sering di malam hari di lapangan terbuka diputar film. Beberapa film sempat saya saksikan. Haixia, misalnya, berkisah tentang bayi di keranjang yang ditemukan oleh pasangan nelayan yang lantas hidup sengsara. Kampungnya diserbu tentara Kuomintang pimpinan Chiang Kai-shek, keluarganya disiksa dan dibunuh. Sampai akhirnya Tentara Pembebasan Rakyat menyelamatkan dia, dan sejak itu hidup bahagia.
Catatan Rinto : Ini artikel lama yang pernah saya forward ke milis tahun lalu. Tentara Merah di sini adalah Pengawal Merah (Red Guards) bukan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA). Satu sudut pandang Revolusi Kebudayaan dari seorang mahasiswi Barat di Tiongkok. Semoga dapat mencerahkan.
Catatan Admin : Tulisan ini dipecah menjadi beberapa bagian dengan Judul yang sama
Budaya-Tionghoa.Net | [Bagian 1] [Bagian 2] [Bagian 3] [Bagian 4 ] [Bagian 5]