Budaya-Tionghoa.Net | Kami menjalani seleksi agar bisa melanjutkan kuliah di Universitas Beijing, meski hanya untuk beberapa bulan. Ujian tidak terlalu sulit, namun birokrasinya berbelit. Malah setelah dua bulan menunggu, di musim dingin akhir tahun 1975 itu, tiba-tiba universitas melakukan seleksi tambahan.
|
Beruntung, saya lulus. Juga Beth dan Rose. Mahasiswa asal Albania dan Korea Utara paling banyak jumlahnya. Di perguruan tinggi yang acap disebut “Beida” (singkatan dari Beijing Daxue) itu tergabung sekitar 7.000 mahasiswa. Berbeda dengan di Institut, di tempat baru suasana revolusioner amat terasa. Poster dan selebaran berganti-ganti setiap hari. Beida menjadi ajang kampanye dan adu kepentingan.
Di asrama saya memperoleh teman sekamar gadis Beijing berusia 25, Yang Huimei. Ia bekerja di otoritas transportasi, dan kuliah untuk mencari kredit poin demi kenaikan jenjangnya. Setiap Sabtu sore ia pulang, meninggalkan saya bengong di kamar sepanjang hari Minggu.
Di sela-sela kuliah sejarah dan “kebudayaan” (saya beri tanda kutip karena materi kuliah bersifat indoktrinatif, membatasi hanya karya sastra dan budaya terbitan tahun 1965 ke atas), saya sering bersepeda dengan Beth dan beberapa teman menyusuri jalanan Beijing. Sesekali ada kunjungan wajib ke peninggalan sejarah dan kawasan pertanian.
Memasuki bulan Maret, cuaca mulai hangat. Saya ikut berbagai perayaan dan arak-arakan, juga berkumpul di Lapangan Tiananmen. Pihak Kedutaan sampai memperingatkan agar kami tidak terjerumus pada kepentingan partai. Saat itu nama Deng Xiaoping banyak disebut-sebut, sementara oleh
kroni Mao ia dianggap tokoh yang tidak sejalan. Mao lebih menyukai Hua Guofeng, padahal banyak orang Cina kurang menyukainya.
Di akhir Juli yang panas, kuliah selesai. Kami mengisi liburan dengan pergi berombongan ke pedalaman naik kereta api. Celakanya, terjadi gempa
bumi. Pusatnya di kota pertambangan Tangshan, sekitar 60 km timur laut Tianjin atau 150 km dari Beijing. Getarannya terasa sampai ibukota, kendati tak menimbulkan korban jiwa.
Pulang naik KA Transsiberia
Saat kepulangan saya tiba ketika Beijing sedang dalam kondisi darurat pascagempa bumi. Pasokan barang tersendat, kantor-kantor memindahkan pelayanan di halaman. Saya berencana pulang jalan darat naik kereta api Transsiberia. Nina, gadis Denmark yang sekelas waktu di Institut Bahasa, ingin pergi bersama-sama. Untuk mengurangi bawaan, saya mewariskan beberapa baju kepada teman. Itu pun saya masih harus membeli “kopor” tambahan berupa keranjang bambu untuk menaruh pakaian.
Tak banyak acara perpisahan. Program saya tak memberlakukan ujian akhir karena mungkin dianggap tidak penting. Dokumen yang saya terima hanya kertas bertuliskan “Sertifikat Kehadiran”.
Suatu hari Rabu, ditemani Huang Laoshi, kader partai yang bertugas melepas kepergian saya, Transsiberia yang saya tumpangi pun berangkat. Kereta yang penuh asap menyusuri rel ke luar Kota Beijing, menanjaksampai melewati Tembok Besar dekat Green Dragon Bridge, kemudian melalui dataran menuju Mongolia. Penjaga perbatasan tertawa melihat keranjang bambu yang saya jadikan kopor pakaian. Juga topi pandan saya.
Mongolia sangat sepi. Lebih dari lima jam yang tampak hanya padang rumput. Baru di dekat stasiun ada seorang lelaki berkuda mengangkat papan bulat bergagang. Rupanya, ia petugas sinyal kereta.
Sepanjang jalan saya banyak membordir. Ketika masuk perbatasan Rusia, kami istirahat cukup lama karena roda kereta api harus diganti akibat perbedaan jarak antar-rel kereta Cina dan Rusia. Tubuh kami dipaksa beradaptasi karena sepanjang empat hari perjalanan telah melewati enam zona waktu.
Di Moskow kami berganti kereta. Naik semacam mobil wagon panjang menuju Stasiun Finlandia. Nina menuju negaranya, dan saya ke Inggris melalui Polandia dan Jerman Timur. Di Berlin Timur lagi-lagi penjaga perbatasan terkesan pada kopor bambu dan topi pandan saya. Juga jaket model Sun Yat-sen dan celana baggy biru tua.
Perjalanan di Eropa daratan berakhir di Ostend, untuk dilanjutkan dengan feri ke Dover, pelabuhan di Inggris. Akhirnya, seminggu setelah dari Beijing, saya pun menginjakkan kaki di London.
Dua minggu setelah saya pulang, tepatnya 9 September 1976, Ketua Mao wafat. Saya pergi ke Kedubes Cina di Portland Place, London, dan menuliskan nama saya dalam buku duka cita. Seandainya masih di Cina, saya pasti ikut perkabungan nasional dengan segala upacaranya.
Saya mulai bekerja di perpustakaan School of Oriental and African Studies sambil terus mengikuti perkembangan Cina. Pada 21 Oktober saya mendengar kabar “Kelompok Empat” ditangkap dua minggu sebelumnya. Mereka adalah Jiang Qing, janda Mao, serta Yao Wenyuan dan Zhang Chunqiao, dua tokoh menonjol di Shanghai selama Revolusi Kebudayaan. Seorang lagi adalah Wang Hongwen, penjaga keamanan dari Pabrik Pemintalan No. 17 di Shanghai yang memobilisasi para buruh tekstil selama Revolusi Kebudayaan.
Terus terang selama di Cina, istilah “Kelompok Empat” tidak pernah saya dengar. Yang ada hanya beberapa tokoh yang sangat ditakuti karena berada di pusat kekuasaan. Tapi sejak empat tokoh itu ditangkap, aneka interpretasi dan publikasi berkembang bagai tak terkendali.
Secara pelahan Deng Xiaoping naik menuju kekuasaan. Pemikirannya yang dulu tidak diakui kini diamini. Yang amat terasa adalah suasana kampus karena tak ada lagi “sekolah terbuka” di daerah pertanian. Tak ada lagi mahasiswa dengan kategori tiga pilar politik: pekerja-petani-tentara. Ujian seleksi perguruan tinggi diberlakukan lagi untuk umum. Mahasiswa tak perlu lagi ikut mengikat sayuran, dan area penanaman padi tidak
harus ke utara Sungai Yangtze agar tidak menentang alam.
Seruan Deng Xiaoping, “Menjadi kaya itu mulia,” mengubah wajah Cina secara dramatis. Pakaian dan tata rambut warga berubah. Observatorium yang didirikan rohaniwan Jesuit di Jianguomen, yang dulu menjadi satu-satunya monumen tinggi, kini diapit hotel dan gedung pencakar langit. Ketika suatu saat saya kembali ke sana membawa rombongan turis Eropa, atau kedatangan berikutnya mendampingi delegasi parlemen Inggris, Revolusi Kebudayaan cuma menjadi cerita yang sayup-sayup terdengar. Mungkin cenderung dilupakan.
Catatan Rinto : Ini artikel lama yang pernah saya forward ke milis tahun lalu. Tentara Merah di sini adalah Pengawal Merah (Red Guards) bukan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA). Satu sudut pandang Revolusi Kebudayaan dari seorang mahasiswi Barat di Tiongkok. Semoga dapat mencerahkan.
Catatan Admin : Tulisan ini dipecah menjadi beberapa bagian dengan Judul yang sama
Budaya-Tionghoa.Net | [Bagian 1] [Bagian 2] [Bagian 3] [Bagian 4 ] [Bagian 5]