Budaya-Tionghoa.Net| Waktu terus berjalan, tahun baru Imlek kedua setelah masa reformasi baru saja berlalu, suasana perayaan yang hiruk pikuk telah usai. Namun perasaan yang bergolak dalam hati setiap tahun setiap kali “Sin cia” hadir masih belum juga reda. Setelah perayaan, selesai menghadiri perjamuan perjamuan, banyak hal yang aku renungkan, namun sangat sulit untuk melukiskan perasaanku yang sangat komplek ini hanya dengan satu kalimat sederhana.
|
Tahun baru imlek disini lazim disebut “Sin cia”. Ini adalah dialek hokkian, sedangkan istilah mandarin yang umum di pakai adalah “chun jie”(春节). “Chunjie “berarti hari raya musim semi( spring festifal). Pada awalnya perayaan ini diadakan oleh masyarakat yang agraris, diadakan setiap awal tahun penanggalan imlek, juga awalnya musim semi, dimana musim cocok tanam sudah mulai tiba. Bagi para perantau yang sudah beberapa generasi tinggal di luar daratan Tiongkok, makna asli dari hari raya ini sudah tidak dipahami lagi. Namun bagaimana pun “sin cia” tetap mempunyai arti tersendiri bagi masyarakat tionghoa di Indonesia. Masyarakat Tionghoa di Indonesia begitu majemuk, makna “sin cia” bagi masing masing individu sudah pasti ber-beda beda, lantas, apa makna hari raya ini bagiku?
“Chun jie” pertama yang masih dapat aku ingat kira kira waktu umurku lima tahun. kala itu “sin cia” bagi kami anak anak adalah identik dengan kegiatan “pai cia”. kami diwajibkan mendampingi papa mama mengunjungi para orang tua, baik yang masih famili maupun yang bukan. Sebagai imbalanannya adalah beramplop amplop angpao yang kami terima dari orang orang yang kami beri hormat dengan pai. Acara ini sebenarnya cukup membosankan bagi kami anak kecil, meskipun dapat memakai pakaian baru dan dapat angpao, rasa gembiranya masih kalah dibanding menonton sebuah pertunjukan film di bioskop. Pada masa itu uang dalam bungkusan angpao hanya punya arti biasa biasa saja bagiku, mungkin karena aku tidak pernah terlatih membelanjakan uang. Di dalam keluarga kami anak anak dilarang jajan sendiri di luar, sedangkan mainan di luarpun tidak sesemarak sekarang sehingga selalu menarik minat konsumsi anak, kami sudah cukup puas dengan mainan sederhana yang dibelikan orang tua, atau mainan buatan sendiri. Maka kami hanya dapat menabung saja hasil “pai jia” ini. Saat “chun jie”memang selalu ada tarian barongsai dan naga yang pasti menarik minat anak anak, namun kegiatan ini cukup sering berlangsung meski bukan pada saat “chun jie”, sehingga bagi kami anak anak tidak terasa luar biasa lagi.
Umur bertambah, lebih banyak acara “chun jie” yang dapat aku ikuti, seperti menikmati pertunjukan kesenian, sandiwara atau opera dalam bahasa mandarin, bahkan ikut menari dalam acara sekolah. Sejak dikelas dua SD aku sudah sangat gemar mengoleksi buku , dimulai dari buku komik tentunya. Uang yang aku tabung mulai mendapat tempat untuk dibelanjakan. Ini yang menimbulkan sedikit rasa suka terhadap acara “pai cia”. Namun sesuai dengan meningkatnya umur, pengaruh pendidikan di sekolah pun juga meningkat. Kami bersaudara semuanya sekolah di sekolah mandarin . Pada masa itu sekolah sekolah mandarin umumnya berorientasi ke RRT, kurikulumnya pun ke kiri kirian. Di sekolah kami memperoleh pendidikan yang cukup progresif, dari cerita cerita guru kami mendapat kesan bahwa perayaan tahun baru imlek adalah mewakili semangat feodal, sudah semestinya diganti dengan tahun baru internasional yang lebih modern. Sejak saat itu perasaanku terhadap “sin cia” mulai tumbuh negatif, perayaan perayaannya tidak pernah lagi melibatkan diriku secara emosional, perasaan ini berlangsung cukup lama sampai aku remaja.
Pendidikan sekolah mandarinku tidak berlangsung lama, karena tahun bencana itu hadir pada masa pertumbuhanku. Ingatanku pada tahun 66 adalah ingatan akan hari dimana aku menyaksikan segerombolan demonstran hingar bingar lewat depan rumahku, sambari berteriak teriak mereka berbaris menuju ke arah bangunan sekolah kami . Hari itu terasa kiamat telah tiba, meski masih kanak kanak, aku sungguh sangat terguncang, adegan itu tak pernah dapat terhapus dari ingatanku, luka yang tergores di hati sampai sekarang masih saja membekas. Sekolah kami mereka serbu, bangunan dirusak lalu diserahkan pada tentara untuk diduduki! Aku terpaksa putus sekolah pada saat kelas empat SD.
Dengan berkuasanya rezim militer orde baru, pelan pelan namun pasti segala hak kaum Tionghoa mulai dilucuti, satu persatu peraturan pelarangan bermunculan. Perayaan “sin cia” juga terkena imbasnya. Pada awalnya, keluarga kami masih juga meliburkan usaha untuk merayakannya. Meskipun perayaan umum tidak ada lagi, acara kunjungan mengunjung masih berlangsung seperti biasa. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan makin meningkatnya usaha represif pemerintah, kami tidak berani lagi meliburkan usaha, acara “pai cia” hanya dilakukan antar keluarga dekat saja. Setelah papa meninggal, setiap tahun, berapa hari menjelang “chun jie”, kami sekeluarga selalu mengadakan acara ziarah ke makam. Malam menjelang tahun baru imlek, mama mengadakan acara sembahyang untuk memperingati almarhum, sesudah itu kami sekeluarga kumpul bersama makan masakan hasil sesaji . Suasana ini tidak bisa dikatakan sepenuhnya ceria, selalu ada saja rasa duka yang membayangi. Tidak setiap tahun aku dapat pulang mengikuti acara ini, namun selalu saja ada suatu perasaan kehilangan di sini. Yang pasti bayangan tentang hari raya ini lambat laun menjadi muram.
Mungkin aku termasuk manusia yang tidak pernah punya hari raya, ulang tahunku yang jatuh pada tanggal 29 febuari tahun kabisat, menyebabkan aku tidak punya kebiasaan merayakan ulang tahun. Karena tidak menganut suatu agama, aku juga tidak merayakan natal, idulfitri atau waisak. Ketika melihat orang lain bersukacita, aku sering merasa kesepian. Tiba tiba aku menyadari, kami orang Tionghoa sebetulnya masih punya hari raya “sin cia”, yang tak pernah dirayakan lagi hanya karena terpaksa . keinginan untuk kembali menikmati kehangatan masa lalu tiba tiba muncul kembali tanpa aku tahu mengapa.
Karena di dalam negeri kami tidak mungkin lagi dapat menikmati suasana perayaannya, aku bersama teman mencoba menikmati suasana “chun jie” di daratan Tiongkok, sambil mengunjungi seorang kawan yang sedang mudik ke Hangzhou . Waktu itu udara masih sangat dingin, waktu hari kedua aku di Hangzhou salju tiba tiba turun, sepanjang hari langit hanya kelabu. Persiapan pakaian yang kurang menyebabkan kami menggigil di jalanan. Tengah malam pergantian tahun kami ikut dalam perjamuan “chun jie” yang diadakan keluarga kawan di rumah orang tuanya disebuah apartemen kecil.
Esok hari kami megunjungi taman kecil di tengah kota berbaur dengan penduduk kota yang berekreasi, di tengah jalan nampak penduduk kota yang lain sedang ber-duyun duyun berjalan menuju ke arah kuil Yinling yang terkenal untuk memanjatkan harapan untuk tahun yang baru. Setelah Hangzhou kami melanjutkan perjalanan ke Shanghai, Suzhou dan Nanjing dengan kereta api. Karena masih merayakan “chun jie”, toko toko di Shanghai banyak yang masih tutup, yang terlihat adalah hiasan hiasan di sepanjang jalan. Banyak manusia berjubel di jalanan pusat kota, dari pakaiannya nampak mereka bukan orang kota, mungkin orang orang orang desa sekitar shanghai yang datang bertamasya.
Pengalaman yang paling seru adalah ketika kami menumpang kereta api dari Suzhou ke Nanjing; karena sudah menginjak hari ke lima chunjie, arus balik liburan mulai meningkat, kami terpaksa membeli tiket kereta lewat calo, seorang nenek tua. Di dalam ruang tunggu penumpang penuh sesak, waktu kereta datang, penumpang berebut naik dengan berdesakan dan dorong mendorong, suasananya mirip perang. Setibanya di atas kereta, kita baru tahu bahwa kami mendapat kereta kelas kambing. Dengan susah payah kami mencari nomor duduk, sementara di tengah koridor penumpang yang tidak punya tempat duduk memenuhi lantai, suasananya mirip kereta pengungsi. Suasana seperti ini mungkin mirip dengan Indonesia saat lebaran, namun bagi kami yang tidak ikut merayakan lebaran, pasti selalu menghindari hari hari padat untuk merencanakan perjalanan, situasi seperti ini masih merupakan pengalaman yang cukup menyiksa.
Pengalaman merayakan “chun jie” dengan keluarga orang di negeri orang suatu pengalaman yang baru, namun keramaian keramaian di sana tidak pernah benar benar membuat diriku terlibat, di dasar hati aku tetap merasakan ini adalah perayaan masyarakat mereka, keluarga mereka, bukan diperuntukkan bagiku, “chun jie”nya mereka ternyata bukan “sin cia” nya kami. Sekembalinya dari sana bukan perasaan gembira, melainkan perasaan kosong yang aku dapatkan, aku merasakan ada sesuatu yang hilang. Dalam hati selalu ada pertanyaan: dimana seharusnya tempat kami? Ada sebuah syair kecil yang aku tulis tentang Telaga Barat yang terkenal di Hangzhou, mungkin dapat sedikit mengungkapkan suasana hatiku saat mengunjunginya:
Mengapa kau begitu pucat
saat hujan merapat
ketika ku ketuk pintumu
hanya dingin yang menderu
Di mana ada bunga teratai
lelah kususuri tanggul Su dan Bai
legam air membunuh semua puisi
musim semi tak selalu hadir di sini
Rupanya, setelah ber tahun tahun aku mengacuhkan hari raya ini, sekarang tiba tiba aku merasa membutuhkannya, dan aku tak dapat memenuhi kebutuhan ini di negeri orang lain. Ada apa dengan ku? apakah ini sekedar kecengengan manusia yang suka bernostalgia dengan masa lampau? bukankah aku dulu tidak begitu menikmati suasana perayaannya? Setelah aku renungkan dalam dalam, aku baru sadar, kebutuhanku akan “sincia” adalah suatu kerinduan tentang kebebasan, kebebasan untuk lepas dari kekangan, kebebasan untuk mengekspresikan diri!
Selama orde baru, bersamaan dengan pelarangan perayaan “sincia” juga pelarangan semua pendidikan dan kebudayaan Tionghoa, termasuk tulisan kanji dan semua bacaan beraksara kanji. Kebiasaan ku dari kecil untuk membaca cerita komik dalam bahasa mandarin secara tak terasa telah membuat diriku sangat menggemari sastra mandarin. Ketika pelarangan buku mandarin menjadi kenyataan, aku merasakan suatu kehilangan yang sangat.
Dengan berbagai cara aku masih dapat mendapatkan buku buku itu secara sembunyi sembunyi. Perasaan waswas dan tertekan selalu menyertaiku saat melewati para petugas pemeriksa di bandara, hanya karena di dalam kopor dibawah pakaian pakaian kotor selalu tersembunyi berbagai judul buku dalam huruf mandarin. Sungguh sangat absurd di muka bumi ini ada pelarangan suatu jenis huruf, dan pelarangan ini tercantum di atas formulir isian penumpang pesawat bersamaan dengan bacaan porno, narkotika dan senjata api! Perasaan tertekan ini dengan sendirinya membuat kebencianku terhadap penguasa yang menciptakan belenggu dan rambu tak terhindarkan lagi.
Akhirnya, aku juga menjadi maklum dengan perasaan pedih dan kehilangan dari masyarakat Tionghoa yang lain, yang dipaksa untuk melepaskan tradisi yang telah melekat turun temurun, dan berusaha meredam semua keinginan, meredam antusiasme untuk merayakan “sincia” setiap tahunnya. Mengapa ada suatu pemerintah yang tega merampas hak rakyatnya untuk bergembira dalam menikmati kebudayaannya sendiri?
Angin reformasi bertiup, orde baru jatuh secara tiba tiba, masyarakat Tionghoa mulai menuntut kembali haknya. Exsistensi “sincia” diperjuangkan untuk diakui, seketika tarian barongsai berada dimana mana. Saat menyaksikan barongsai beraksi dalam perayaan “sincia”, pertama kali setelah dilarang, tak dapat aku menahan rasa haru yang bergejolak dalam dada, hatiku miris menangis, pertanyaan pertanyaan berkecamuk: apa salahmu sehingga dalam tahun tahun yang begitu panjang engkau harus bersembunyi? mengapa engkau sampai diharamkan? Sekarang setelah engkau muncul kembali dengan tubuh penuh luka, apa yang masih dapat engkau lakukan? Engkau menghentak hentakkan tubuhmu dengan penuh tenaga, meliuk liuk dengan penuh nafsu, se akan akan seluruh perasaan pedih tertekan yang terpendam selama bertahun tahun hendak kamu lepaskan serentak, bunyi tambur seperti menyuarakan jerit protesnya.
Sudah pasti, kemunculanmu merupakan suatu tamparan keras bagi penguasa yang pernah membelenggumu. Kemunculanmu juga menyadarkan kita, bahwa suatu kebudayaan meski coba diredam dengan paksa selama 32 tahun, dia tidak lalu mati, begitu angin perubahan bertiup, dia pasti akan hidup kembali! Ini mengingatkan kita pada sebuah syair yang sangat klasik dari penyair dinasti Tang Bai Juyi (白居易) :
离 离 原 上 草
一 岁 一 枯 荣
野 火 烧 不 尽
春 风 吹 又 生
Rimbun merumpun rumput di atas padang,
semusim melayu satu musim berkembang.
Api belantara tak sanggup tuntas membakar,
angin musim semi bertiup tumbuhlah kembali.
Di tengah suasana kegembiraan, aku selalu masih memendam suatu kekhawatiran. Apakah suasana kebebasan ini hanya gejala sesaat? dan mungkinkah suatu ketika kekuasaan yang begitu represif akan kembali hadir? Andaikan, pemerintahan di masa yang akan datang masih saja demokratis dan tidak diskriminatif, apakah sentimen rasialis yang sudah tertanam dalam dalam selama ber abad abad dalam masyarakat juga dapat lenyap seketika? Apakah saat ini kita sudah dapat merayakan “sincia” dengan begitu tenteram tanpa rasa was was? Aku kira pertanyaan diatas seharusnya juga menjadi pertanyaan bagi seluruh bangsa, harus terus diajukan, dan menjadi peringatan terus menerus dalam hati, agar kita selalu waspada. Kita sama sekali tidak boleh melupakan pengalaman pengalaman pahit yang menyakitkan di masa lampau, ingatan tentang masa lalu sangat baik untuk menjadi bekal kita dalam melangkah. Kita akan selalu diingatkan, pergulatan melawan diskriminasi dan rasialisme adalah pergulatan panjang yang tak mengenal kata lelah, pekerjaan sepanjang masa ini harus dilakukan seluruh anak bangsa dari generasi ke generasi! Di tengah eforia kebebasan, setelah pesta usai, masih banyak pekerjaan yang harus kita lakukan, alangkah baiknya kita dapat merenungkan sebuah syair yang ditulis penyair Xin Qiji ( 辛弃疾 ) dari dinasti Song, dimana dia menulis untuk malam perayaan “ yuan xiao”( 元宵 ) atau “ capgomeh”, akhir dan puncak perayaan tahun baru imlek.
东 风 夜 放 花 千 树
更 吹 落 , 星 如 雨 。
宝 马 雕 车 香 满 路 。
凤 箫 声 动 , 玉 壶 光 转
一 夜 鱼 龙 午 。
Angin timur memekarkan ribuan bunga malam,
dan meniup jatuh, bintang-bintang bagai hujan.
Kuda pusaka kereta kencana harum sepanjang jalan.
Suara seruling mengalun, piring rembulan berputar,
Ikan ikan naga naga menari nari semalaman.
蛾 儿 雪 柳 黄 金 缕
笑 语 盈 盈 暗 香 去 。
众 里 寻 他 千 百 度 , ——
蓦 然 回 首 , 那 人 却 在
灯 火 阑 珊 处 。
Capung-capung, umbul-umbul dan rumbai emas,
canda-tawa langkah gemulai meninggalkan wangi.
Lama mencari dia dalam kerumunan manusia, —–
seketika menoleh ke belakang, insan itu ternyata
berada di tempat sinar lentera hanya temaram.
Ini sebuah essay yang aku tulis beberapa tahun yang lalu, pernah dimuat di majalah Media Kerja Budaya, mungkin bisa mengambarkan sedikit apa artinya sebagai Cina di indonesia.
(Zhou Fuyuan )
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa 2452