Barusan saya mengikuti acara internal sekolah anak saya, dan mendapatkan suatu pertanyaan umum yang sejatinya setiap tahun ditanyakan oleh orang tua maupun oleh anaknya kepada orang tuanya. Pertanyaan itu adalah: mengapa saya harus belajar mata Pelajaran A kalau saya ingin menjadi B? – contohnya mengapa saya harus belajar Sejarah kalau saya mau jadi arsitek?
Pertanyaan ini sangat klasik, selalu diturunkan dari generasi ke generasi tanpa seorangpun memahami kok tidak pernah diketemukan jawabannya? Ada yang salahkah dengan pendidikan kita?
Pendidikan salah atau tidak itu masalah lain yang tidak saya bahas saat ini. Sebagai salah satu dosen yang mengajar Sejarah seni, saya sangat maklum terbitnya pertanyaan ini. Saya tidak dilahirkan sangat tergila-gila Sejarah. Ada 2 fase dalam kehidupan saya yang membuat saya menjadi dosen Sejarah seni, berfokus pada budaya Tionghoa. Pertama, lewat sebuah buku referensi berjudul Renaissance, diterjemahkan dan diterbitkan oleh Pustaka Ilmu. Buku referensi ini saya pinjam dari perpustakaan kelas 5 SD karena perpus sedang mengalami perbaikan, buku anak-anak menghilang, sehingga kami meminjam referensi tebal, berat, dan sulit dibaca. Apakah saya membaca buku itu? Tentu TIDAK. Saya hanya melihat gambar bangunan yang cantik-cantik, dekorasi interior yang mewah. Saya jatuh cinta.
Titik kedua terjadi pada masa SMA dimana saya dipertemukan oleh guru Sejarah yang hafal luar kepala gelar lengkap Raja Hayam Wuruk yang saya tulis di buku catatan saya sampai 5 baris panjangnya dengan tulisan kecil-kecil. Impresi saya terhadap Sejarah berubah, dari yang mengesalkan menjadi tantangan.
Pada akhirnya saya mengambil Desain Interior sebagai ilmu yang ingin saya tekuni, setelah juga mengambil Akuntansi sebagai ladang mata pencaharian yang mudah. Lalu, mengapa lulus malah jadi dosen? Itu bahasan panjang lain – yang intinya adalah panggilan hidup.
Intinya, sampai detik ini saya masih belajar. Sejarah, Desain, Teknik, sedikit Fisika Bangunan, Ilmu Ekonomi, sedikit Filsafat, dan sekarang Sustainability. Kalau saya sekarang bukan guru Sejarah, buat apa saya belajar Sejarah? Tentu seperti jawaban si ibu yang bertanya: buat mengajarkan anak saya. At least saya paham apa yang ditanyakan anak saya dan saya bisa membantu mencari jawabannya. Ga perlulah untuk menjawab kapan Indonesia Merdeka, anak saya menggunakan ChatGPT.
Terutama untuk belajar Sejarah, jika para orang tua melihat buku matpel anak-anaknya, maka entah bab 1, 2, atau 3 pasti ada baba tau sub bab berisi Sejarah. Sejarah ekonomi, Sejarah Indonesia, Sejarah Fisika, Sejarah antropologi, Sejarah olah raga, dll. Sejarah bukan ilmu mandiri, Sejarah adalah timeline dari sebuah proses peradaban manusia. Maka suka atau tidak, kita harus mengetahuinya. Kalau tidak suka, tanyakan bagaimana guru sejarahnya mengajar….
Bagi saya dan semua orang tua sekalian, tidak ada ruginya kita belajar dasar dari semua ilmu. Saya percaya sampai tingkat SMA yang anak-anak kita pelajari adalah hal umum dan dasar (walaupun kadang ada guru yang ingin muridnya mengetahui dan memahami lebih detail – ingat Pak Bu, harus dimoderasi yah, jangan membebani). Percayalah, pada waktu Perguruan Tinggi yang dipilih, mereka belajar hal yang lebih spesifik dan 4 tahun belum tentu cukup mendalami bahkan 1 jurusan.
Dan bercermin pada pengalaman pribadi, dan pengalaman orang tua sekalian, seberapa banyak nasib dan takdir membawa kita semua sesuai dengan yang kita cita-citakan waktu SD, SMP, atau bahkan SMA? Lebih dari 50% mungkin yang belajar A tapi kerja B. Dan bukankah mungkin suatu saat nanti kita memerlukan pengetahuan Jaman Batu Tua (Paleolthic), Jaman Batu Madya (Mezolithic), dan Jaman Batu Muda (Neolithic) itu?
JADILAH PEMBELAJAR SEUMUR HIDUP. LEARN AND RE-LEARN
Greysia