Photo Ilustrasi : Ang Jan Goan
Sengaja saya salinkan tulisan (LIHAT LAMPIRAN) yang dibuat oleh Nio Joe Lan di bawah koordinasi Tjee Tong Lim, Tan Boen Seng, Ang Jan Goan, ANg Tjin Thay, Go Siang Tiat, Nio Joe Lan dan Mr. Souw Hong Tjoen dalam peringatan 40 tahun THHK. Sengaja juga saya tuliskan dalam langgam bahasa Indonesia modern untuk memudahkan pembaca mengenali makna yang ada di dalam tulisan tersebut, tanpa harus memutar otak duluu membaca langam lama yang banyak di antaranya kurang dikenal pada masa sekarang ini, khususnya bagi pembaca asal luar Jawa.
Ada bagian sangat kecil yang saya lewat (karena sangat teknis ditambah tidak merubah sistematika isi), sementara bagian yang relevan terkait hubungan THHK dengan Khongkauw (yang nantinya akan berkorelasi dengan KKH) sengaja saya tulis dengan huruf kapital.
Sebenarnya saya mau menuliskan kembali ringkasan pendapat Micchone van Rees (Kwee Tek Hoay dan Sam Kauw Hwee) dan dari Eric Oey (Santapan Rohani: Tulisan-tulisan Keagamaan Kwee Tek Hoay), serta tulisan-tulisan Charles A. Choppel dalam buku “Studying Ethnic Chinese in Indonesia” (misalnya Khong Kauw: Confucian Religion in Indonesia, Contemporary Confucianis in Indonesia, The Origins of Confucianism as an Organized Religion in Java 1900-1923, Yoe Tjai Siang: Portrait of a Syncretist, From Christian Mission to Confucian Religion: The Nederlansche Zendingsvereeniging and the Chinese of West Java 1870-1910 dan juga Peranakan Construction of Chinese Customs in Late Colonial Java), ditambah dengan sinopsis drama “Korbannja Kong Ek” dan “Atsal Moelahnja Pergerakan Tionghoa….”
Serta tulisan kenang-kenangan dari Kwee Yat Nio (Ny. Tjoa Hin Hoey, Visakha Gunadharma) selaku anak Kwee Tek Hoay yang semuanya bisa menggambarkan bagaimana “pertarungan” antara KKH dan SKH sudah berakar sangat lama dan saling mempengaruhi dalam konstelasi keagamaan Tionghoa.
Namun karena bahannya sangat banyak dan saya agak kekurangan waktu sampai beberapa minggu ke depan, terpaksa saya urungkan dulu niat itu dan menuliskan ulang pernyataan THHK di atas dengan harapan bahwa ada pemahaman mengapa THHK pernah punya jejak yang sangat kuat.
Namun sekaligus juga kemudian pudar akibat sejumlah masalah, baik karena faktor politik di Indonesia, pengaruh eksternal yang mewarnai perang dingin (termasuk memanfaatkan instrumen agama sebagai “pengendali”), dan khususnya pengkotak-kotakkan yang dibuat oleh kalangan Tionghoa sendiri (dan kali ini justru karena agama!!! menggantikan konflik karena propinsialisme. Adakah faktor ekstern selain masalah intern? Banyak teori di baliknya).
Meski demikian, saya coba saja tuliskan simpulan saya sementara ini mengenai kajian atas KKH dan SKH:
I
Pendiri KKH memiliki korelasi erat dengan orang-orang THHK, namun mereka itu banyak yang dipengaruhi oleh gerakan teosofi abad ke-20 yang berpusat di Solo sehingga setelah menilai adanya kebutuhan mengawal THHK dengan Rujia-nya, membentuk kongregasi sendiri tahun 1918 dan menginisiasi pembentukan KKH di
Bandung, Bogor, Malang, Ciamis, dan banyak kota lain (termasuk ketika bergabung dalam KK Tjong Hwee tahun 1923 dengan Bandung sebagai pusat). Ada beberapa tokoh KKH yang sebenarnya adalah penyokong THHK sampai akhir hayatnya, namun banyak juga generasi “baru” yang merasa bahwa THHK masih kurang Khonghucu karena terlalu longgar membiarkan murid-muridnya dalam pengajaran tidak diawasisehingga menjadi “bule”. Meskipun demikian, baik KKH maupun KKTjongH pada dasarnya adalah pendukung berbagai aktifitas THHK, dan bahkan memiliki akses yang sangat kuat dalam menjaga berbagai kelenteng Tionghoa di tanah Indonesia.
Selepas kemerdekaan Indonesia 1945, ada berbagai kondisi yang menyebabkan THHK mengalami keguncangan, baik karena sisa penutupan oleh Jepang di tahun 1942-an dan banyaknya tokoh THHK yang mati di tangan Jepang (salah satunya adalah Khouw Kim An), sehingga konsolidasi THHK terhambat dan menimbulkan tantangan terhadap penyatuan kembali dasar filosofis pendidikan Tionghoa di Indonesia.
Tantangan yang paling hebat muncul dari SKH yang mendirikan kongregasinya pada tahun 1953 dan mencoba mengajak kalangan Tionghoa ke dalam gerbong SKH.
Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan itu, adalah pertemuan dari sejumlah kalangan Tionghoa di Solo yang kemudian mendirikan Perserikatan Khung Chiao Hui Indonesia pada tahun 1955.
Pada kongres ke-4 tahun 1961 PKCHI diganti menjadi Lembaga Sang Khongcu Indonesia (Laski), tahun 1963 diadakan konperensi di Solo yang mengganti nama Laski menjadi Gabungan Perkumpulan Agama Khonghucu se-Indonesia (Gapaksi), lalu tahun 1964 pada kongres di Tasikmalaya, kepanjangan Gapaksi diganti menjadi Gabungan Perhimpunan Agama Khonghucu se-Indonesia (Gapaksi)
Dan kemudian saat Orde Baru, pada kongres VI tahun 1967 di Solo, nama Gapaksi diganti menjadi Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa MATAKIN memiliki konteks yang agak bebreda dengan KKH, meskipun ada sedikit pertalian sejarahnya yang sama-sama diinisiasi di Solo.
Titik pemisahnya adalah tahun 1955, di mana gerakan yang dimulai di Solo ini (meskipun sama-sama juga mendorong pendirian KKH) benar-benar berkonsentrasi ke arah pelembagaan Khongkauw, sementara KKH yang awal lebih kepada kajian Khongkauw untuk keperluan penyadaran budaya.
Meski demikian, dalam tulisan Charles A. Choppel, sudah diuraikan bagaimana KKH dipengaruhi oleh gerakan Kristenisasi sehingga untuk menjawab tantangan tersebut, KKH berpikir untuk mengadaptasi model katekumenis Nasrani dengan tetap mempertahankan sistem indoktrinasi Khonghucu (dalam bahasa lembutnya: Mengambil kepraktisan Barat, mempertahankan filosofi Tionghoa). Tidak mengherankan apabila kemudian KKH terlihat “mirip” misa di gereja, namun dengan isi yang Konghucuis, baik dalam bentuk model ruangan, kitab suci, lagu-lagu, kotbah, dsb.