Budaya-Tionghoa.Net | Apakah ada yang masih ingat kota KayHong (Kaifeng) ? Apakah ada yang masih tahu macam kota ini? Apakah ada yang masih peduli dengan kota KayHong? Kalaupun sempat melihat, masihkah hati tergerak?
Wajar saja kalau tidak ada yang ingat lagi kota KayHong. Ini kota yang lebih banyak disebut sebut saja. Tidak banyak cerita silat pernah mengambil setting di kota ini. Sepertinya bahkan hanya Liang Ie Shen. Itupun sudah lupa judulnya, entah si Tangan Kilat atau Pendekar Latah. Yang teringat hanyalah bahwa buku itu salah satu karya Liang Ie Shen yang mengambil setting di jaman dinasti Song, dan tokohnya ada yang punya hubungan dengan 108 pendekar Liang-San.
Dan bagaimana pengarang lainnya? Mungkin cuma Chin Yung (Jin Yong) saja, agaknya yang pernah, walau hanya dua kali saja menyebut kota ini. Itupun hanya menyebut saja. Jadi setting ceritanya pun tidak di kota KayHong. Yang pertama di pembukaan cerita SiaTiauw EngHiong dan yang kedua di pembukaan cerita Medali Wasiat.
Di awal cerita SiaTiauw-EngHiong, Chin Yung meratapinya Bahkan bukan KayHong, tetapi waktu itu masih disebut PianTjioe, itu pun hanya disebut saja. Inilah syair Lin Sheng, penyair dari jaman dinasti Song, yang dikutip ChinYung. Diluar gunung ada lagi gunung hijau.Hingga kota HangTjioe dianggapnya sebagai kota PianTjioe. (untuk lengkapnya baca SiaTiauw EngHiong, OKT, WLG atau Purnama Di Bukit Langit, Zhou Fu Yuan, Gramedia) Dan yang kedua ada di cerita Medali Wasiat, ceritanya dibuka di satu desa diluar kota KayHong.
Lantas apakah yang tersisa yang masih bisa diceritakan tentang kota KayHong (KaiFeng), kota yang pernah menjadi ibukota Song Utara? Kota yang waktu itu disebut PianTjioe (juga disebut BianJing atau PianKhia). Apa yang masih bisa ditulis dari kota KaiFeng? Mungkin tak banyak yang tahu inilah kota yang indah dulunya.
Kota yang araknya mengalir bagaikan sungai. Kota yang tariannya membikin iri dewa dewi. Kota yang pestanya baru bubar jam lima pagi. Kota yang penuh dengan hura hura. Kota yang akhirnya jatuh ke nestapa. Inilah kota yang pernah menyaksikan dua kaisarnya ditangkap oleh musuh? Kota yang kemudian hancur dan runtuh.
Inilah kota yang membuat William Edgar Gill, jauh2 dari Amerika Serikat datang mengunjungi di awal 1900’an, karena mendengar kota ini pernah dipujipuji di jaman yang telah silam, dan dikatakan indahnya hampir seperti surga. Kota yang dikenang oleh banyak sastrawan dan penyair. Tentu saja tak urung ia kecewa, karena yang ditemuinya adalah kota yang berdebu dan jalannya berlumpur. Kota yang sudah dibiarkan merana sejak diserbu oleh orang Kim di tahun 1126. Kota yang pernah menjadi bukota dinasti Song Utara hanya selama 166 tahun saja (960 – 1126). Dan beratus ratus kali kebanjiran kemudian, terutama setelah dan sejak tidak lagi menjadi ibukota.
Ya tapi inilah kota yang pernah digambar di lukisan gulung yang panjangnya 11 setengah meter. Ya sebelas setengah meter. Digambar oleh Zhang Zeduan (1085 – 1145), diberi judul Spring Festival On The River (ada juga yang menyebutnya qingming shanghe tu – along the river in qingming). Gambarnya begitu jelas, menceritakan kehidupan dan suasana satu hari di kota KaiFeng.
Satu gambar yang kemudian banyak ditiru pelukis2 berikutnya, baik dari dinasti ming maupun dinasti Qing. Melulu satu gambar inipun sudah memperlihatkan betapa kosmopolitan KaiFeng waktu itu. Seperti apa gambarnya sekarang bisa dilihat dengan mudah di internet melalui search machine google. Beberapa kontroversi juga bisa dibaca di keterangan yang mengikutinya.
Ya inilah kota yang dahulu disebut hampir seperti surga (almost paradise). Syair pendek Lin-Sheng, walau meratapi tingkah polah mereka yang di Hang-Cioe, tetapi memberi gambaran juga apa yang mereka lakukan di KaiFeng, nyanyi, tari dan mabok. Mungkin nyanyi dan menari adalah mewakili dari pencapaian puncak puncak rasa keindahan ber-kesenian, sedang mabok lebih sebagai anti klimaksnya. Beberapa orang mungkin mengatakan mabok sebagai ekstasi dari puncak rasa keindahan itu sendiri. Biarlah masing2 pendukungnya berdebat sendiri.
Kota Kai-Feng terletak di He-Nan (HoLam), 72 km di sebelah timur kota ZhengZhou. Hanya satu jam lebih sedikit yang dibutuhkan bis untuk menempuh jarak ini. Banyak pilihan kendaraan yang bisa mencapai kota ini, bisa dengan bis atau kereta api. Dan bahkan bisa kurang dari satu jam kalau menggunakan kendaraan pribadi atau taksi, dan lewat jalan tol.
Kebanyakan orang datang dari ZhengZhou, karena Zhengzhou memang ibukota propinsi HeNan. Selain memiliki airport, juga tempat persilangan kereta api yang ramai. Bahkan berada di persimpangan jalur2 utama kereta api di Tiongkok. Mau ke utara, selatan, timur, atau barat sangat mudah sekali. Juga memiliki bis antar kota dan antar propinsi yang banyak sekali. Dan berada di jalur utama jaringan jalan tol Tiongkok. Sehingga banyak orang dari banyak tempat turun dan pergi dari kota ini. Dari ZhengZhou ini orang bisa pergi ke ShaoLinSi, LuoYang (LokYang) dan juga ZhenJiaGou, KaiFeng dengan mudah sekali.
Perjalanan dari Zhengzhou ke KaiFeng melintasi wilayah yang subur di sepanjang sungai HongHo. Dari semua pilihan yang ada, mungkin yang paling asyik malahan naik bis umum yang biasa, yang lambat. Karena melalui jalan lama dan melewati desa2 sepanjang ZhengZhou dan KaiFeng.
Toh perjalanan tidak melelahkan dan tidak terlalu lama. Melalui jalan yang tak terlalu lebar, dibawah teduhnya naungan pepohonan yang rapi berjajar disepanjang jalan yang lurus2, dengan sedikit belokan. Sawah hijau sepanjang jalan. entah apa yang mereka tanam. Gandum kah itu yang masih hijau2? Seluas mata memandang, warna hijau menghiasi pelupuk mata. Sementara disana sini pohon pohon yang hijau menbagi bagi petak sawah. Pohon apakah itu yang rapi berjajar di kiri kanan jalan? Pemandangan manakah yang seperti ini?
Sayup sayup terdengar suara derap banyak kuda di belakang sana. Bus merayap memasuki desa kecil. Terlihat orang berpeci putih sedang menggoreng semacam kue dari terigu yang bundar pipih. Penggorengannya adalah wajan besi yang cukup datar, bukan yang cekung seperti biasa. Dengan susuknya kue bundar pipih di bolak balik di penggorengan. Apa isi kue bundar pipih ini? Terkadang semacam sayuran cacah seperti kucai, terkadang ada semacam daging cacahnya. Pembeli terakhir meninggalkan warung. Hanya ada bocah kecil, tampaknya pengemis yang tersisa. Tapi dia tidak antri, hanya berdiri sedikit agak jauh disana. Tangannya meraba ke sakunya. Agaknya belum yakin bahwa kantungnya benar2 kosong. Kepalanya menoleh ke penjual kemudian ke tong sampah. Mungkin menunggu ada yang dibuang.
Si penjual tetap asyik menggoreng. Suara derap kuda semakin keras. Dimanakah si pengemis kecil tadi. Si penjual seperti tidak peduli dengan dunia luar, tetap asyik dengan wajan penggorengannya. Sudahkah dia memasukkan medali wasiat itu di kuenya? Sudahkah dia melemparkan kuenya ke keranjang sampah. Ah itu dia, si pengemis kecil. Berjongkok menekan perutnya, mungkin supaya tidak terasa lapar
…………..
Ya inilah pemandangan dari pembukaan cerita Medali Wasiat, jangan2 ChinYung pernah berkunjung kesini? Kemungkinan besar tidak, sebelum menulis buku itu, kemungkinan besar pernah setelah menulis cerita itu.
Belum jam sepuluh pagi ketika bus memasuki kota KayHong. Segera menaiki taksi menuju ke LongTing, Dragon Pavillion. Ketika mendaki tangga, tak kuasa tak menoleh seorang ibu yang sedang menyemangati anaknya, mungkin baru berumur dua tahun, menaiki tangga, antara merayap dan melangkah. Belum cukup panas benar, tetapi sudah cukup melelahkan menaiki tangga ini. Inilah satu istana yang dibangun ulang untuk memberi gambaran kembali KaiFeng wkatu itu.
Berdiri di teras memandang ke selatan, KaiFeng terlihat tersebar dibawah sana. Melihat ke timur, terlihat pagoda besi. Ya di KaiFeng tidak ada bangunan tinggi berdiri, karena takut pondasi bangunan tinggi akan merusak kota PianTjioe yang lama, yang sekarang tidur dibawah tanah 9 meter. Apakah akan dibangunkan lagi? Benarkah kompleks taman ini dahulu adalah tempat istana dinasti Song Utara berdiri? Lihatlah begitu besar danau buatan mengelilingi istana. Lihatlah maket dibawah sana tadi. Alangkah indahnya kota ini dulu. Disinikah tempat tari dan nyanyi diadakan tanpa jeda?
Melihat ke tangga, melihat lagi anak kecil tadi yang menaiki tangga antara merayap dan melangkah. Bagaikan negeri Tiongkok yang sekarang merayap dan melangkah untuk mendaki supaya bisa maju dan sejajar dengan negeri2 yang sudah lebih dulu maju. Walaupun secara ekonomi, sekarang Tiongkok memiliki besar ekonomi yang lebih besar dibanding Jepang, tetapi masih dibawah Amerika, secara perkapita masih jauh di bawah Jepang, karena jumlah penduduknya yang jauh lebih besar.
Usaha pemerintah Tiongkok untuk menghidupkan kembali kotaraja2 masa lalu adalah termasuk usahanya untuk menyemangati kembali rakyatnya agar berani merayap dan melangkah menaiki anak tangga kehidupan internasional.
Menuruni kembali tangga, bertemu kembali dengan anak yang masih merayap dan melangkah menaiki tangga. Begitu riang wajahnya, tawanya, diikuti tepuk tangan dan semangat ibu dan kakeknya.
Bergegas menuju ke pagoda besi. Taman yang indah dan luas sekarang mengelilinginya. Entah kemana perkampungan yang padat penduduk dulu. Mungkin sudah dipindah ke apartemen di pinggir kota sana. Inilah pagoda yang disebut pagoda besi, bukan karena benar benar dari besi, tetapi karena bahannya. Dinding pagoda ini dari luar menggunakan tile yang berglazuur, dengan warna coklat,
maroon tua. Sehingga debut sepertinya tidak bisa melekat dan sekarang dari jauh terlihat seperti besi. Dan pagoda ini dibangun seribu tahun yang lalu, waktu banyak bagian dunia masih lebih terbelakang.
Masih banyak yang bisa dilihat, sinagogali Yahudi dan pasar yang dibangun ulang. satu pedestrian walk dengan rumah2 dari jaman diinasti Qing. Makanlah di salah satu restoran. Entah apa nama ikan seperti bandeng tadi, kalau tak salah ikan emas juga. Sungguh besar, hampir 40 cm. Di masak dengan bumbu lokal yang agak pedas tadi. Lezat. Ah jangan jangan inilah ikan yang sering dicari Coh LiuHiang di cerita Mayat Kesurupan Roh itu. Atau mau pia seperti yang ditulis di Medali wasiat? Lebih baik jangan.
KaiFeng masih melihat kembali tembok kotanya dibangun ulang. Dulu tembok kota diruntuhkan, apalagi pada pertengahan abad yang baru lalu. Tembok kota dianggap sebagai simbol keterbelakangan, ketidak majuan, keterkungkungan. Tembok kota lah yang dianggap membuat Tiongkok tidak maju, terkungkung dalam2 di falsafah kunonya. Lain dulu lain sekarang, belum seratus tahun tembok itu dirubuhkan, tembok kota dibangun lagi.
Di banyak kota di Tiongkok, terutama di tempat turis banyak berdatangan atau di tempat yang memang bersejarah, atau yang pemerintah daerah nya mampu, tembok2 kota di bangun lagi. Tembok kota sekarang dianggap sebagai mewakili Tiongkok yang kembali menemukan jati dirinya. Berani berdiri sejajar dengan negara maju lainnya di dunia. Berusaha mengejar ketertinggalan. Tembok kota dianggap mewakili masa lalu yang gemilang, dipakai untuk menyongsong masa depan yang cerah.
Oh tembok kota batumu sudah runtuh, tersebar, terserak, tergerus menjadi abu. Sampai berapa jauhkah angin sudah membawa debumu menghias, menjadi rabuk duka wilayah yang kau jaga? Sekarang terkumpul kembali dan bangkit, sedihkah engkau diperlakukan demikian, menangiskah engkau? Entah berapa banyak kenangan yang bisa terkumpul kembali dari debumu? Entah berapa banyak orang yang meratap melalui gerbangmu dulu. Berapa banyak prajurit yang berbaris melewati gerbangmu merayakan kemenangan? Berapa banyak prajurit yang berbaris hanya sekali melewati gerbangmu? Oh mereka prajurit2 yang terkubur di tanah perbatasan? Berapa banyak tangis yang kau dengar, tangis ibu dan isteri2 yang masih muda? Berapa jauhkah pedagang datang mengunjungi kotamu? Berapa jauhkah namamu disebut sebut orang? Berapa banyakkah orang yang sudah datang mengagumi kota di balik gerbangmu?. Berapa banyak pekerja seni yang berlindung di kotamu? Berapa banyak tari dan musik sudah digelar di balik gerbangmu? Berapa banyak raja yang bisa bermabukan di balik gerbangmu? Dan berapa tenaga kerja yang dibutuhkan untuk membangun kembali kemegahanmu?
Di masa depan, masihkah orang akan melihat kota2 besar dihancurkan karena perang untuk kemudian dibangun lagi? Masihkah umat manusia melakukan kebodohan yang sama? Berapa jiwakah telah gugur untuk mempertahankan kota ini? Berapa jiwakah yang pantas diangkat menjadi pahlawan? Apakah sebetulnya yang mereka pertahankan dulu? Hanya debu yang bisa menjawab.
Yang jelas sekarang ada jalan selebar 10 jalur membentang antara KaiFeng dan Zhengzhou. Walaupun ini bukan jalan tol (jalan bebas hambatan), tetapi jalan selebar 10 jalur ini bahkan lebih lebar dari runway, dan lurus berkilo kilo meter, dan cukup rata, tidak bergelombang atau naik turun.. Sudah pasti pesawatpun bisa mendarat disini, juga pesawat Jumbo, paling tidak untuk situasi darurat.
Dengan jalan selebar ini berapa menit yang dibutuhkan untuk menempuh 72 km jarak ZhengZhou dan KaiFeng? Sudah jelas jalan ini dibangun untuk menampung banyak bus wisata dari ZhengZhou ke KaiFeng di musim puncak wisata. Diluar dugaan begitu banyak kamera. dipasang sepanjang jalan ini, sehingga sopir taksipun tidak berani ngebut di jalan selebar ini. Agaknya semua rakyat dimanapun hanya patuh jika di amati. Inikah gambaran masa depan itu? Rakyat hanya patuh kalau di awasi? Dan negara menjadi ‘big brother’ dengan semua kameranya?
Kalau berangkat ke KaiFeng mungkin akan banyak yang bilang jangan lewat jalan itu, juga jangan lewat jalan tol. Karena apa yang lantas dilihat? Ya tentu saja, walaupun masih ada sawah, mana ada pemandangan orang menggoreng pia di pinggir jalan. Mana ada pemandangan seperti yang digambarkan oleh cerita Medali Wasiat. Tetapi kalau pulangnya boleh lah, agar ada kenangan melewati jalan selebar itu dan bisa menghitung jumlah kamera. Jangan lupa makan ikan masak asam pedas gaya Coh LiuHiang si Pendekar Harum, dan beli lukisan yang panjangnya sepuluh meter, qingming shanghe tu. Dan jangan menangis jika melewati gerbang tembok kotanya. Dulu dikatakan banyak yang menangis terharu biru, tercampur perasaan terkagum kagum dan bersyukur bisa melihat kotaraja yang disebut ‘almost paradise’ ini.
Salam,
Harry Alim