(Laporan wartawan Harian Qian Dao Ri Bao di Lumajang, Jawa Timur Yu Huayan)
Kota Lumajang di Jawa Timur adalah sebuah kota yang terletak di permukaan deretan gunung, di Selatan terdapat laut, merupakan sebuah kota Kabupaten berbentuk separuh ember yang dilintasi sungai. Karena terkenal sebagai penghasil buah pisang tanduk yang disebut ¡§Pisang Agung¡¨, sehingga dijuluki sebagai kota pisang. Bagian Barat berdiri Gunung Semeru yang sering dalam waktu tak tentu menyemburkan abunya, yang semenjak dahulu kala bermanfaat sebagai pupuk yang menyuburkan tanah. Karena hasil buminya melimpah, terutama beras, semenjak dahulu sudah dikenal sebagai gudang beras, juga sekaligus sebagai tempat munculnya orang-orang kosen. Sepanjang sejarah negeri kita banyak orang terkenal yang lahir di kota ini.
Seorang Panglima Perang termasyhur Kerajaan Mataram yang bernama Empu Sindok tercatat pernah melatih pasukannya di tempat ini. Abad ke-20 tahun 1930- 1940an penduduk sempat menemukan harta karun dari jaman dinasti Tang di Tiongkok, diantaranya mata uang koin tembaga serta tembikar dari dinasti Tang dan Sung, di sebelah Utara kota melintas sebuah sungai bernama ¡§Kali Bondoyudo¡¨, di wilayah kota lama yang disebut ¡§Beting¡¨ dimana terdapat bekas-bekas reruntuhan kerajaan masa lampau beberapa kali sempat ditemukan pecahan-pecahan keramik Tiongkok (banyak peninggalan sejarah yang sekarang tersimpan di museum Belanda),
pemerintah Hindia Belanda berdasarkan penemuan para antropolog bisa memastikan, jauh sekitar seribu tahun lebih yang lampau, sudah ada jejak-jejak peninggalan para pedagang asal Tiongkok di wilayah ini.
Orang Tionghoa pada masa itu kebanyakan datang dan pergi alias tidak menetap, ada juga beberapa yang tinggal menetap dan menjalin hubungan kekeluargaan dengan penduduk setempat, mereka membaktikan diri demi pembangunan budaya luhur di tempat ini, keturunan mereka kebanyakan tinggal di pedesaan, karena perjalanan waktu yang panjang, hanya tersisa sedikit jejak-jejak peninggalan orang Tionghoa ini.
Dewasa ini masyarakat Tionghoa di kota Lumajang ini kebanyakan merupakan keturunan dari leluhur pada masa akhir dinasti Qing (awal Republik Tiongkok) yang merantau ke Selatan dan menetap di sini. Selama ratusan tahun mereka hidup berdampingan secara harmonis dengan penduduk lokal, sama-sama mendapatkan manfaat masing-masing.
Pada masa penjajahan Jepang, maupun perjuangan merebut kemerdekaan RI, masyarakat Tionghoa bersama penduduk lokal saling bahu membahu dalam pertempuran bahkan sampai titik darah penghabisan, ada beberapa kisah legendaris tentang kepahlawanan ini. Mereka masih sangat mencintai budaya dan adat istiadat Tionghoa: saat Republik Indonesia baru berdiri dimana kondisi ekonomi belum semaju sekarang, mereka bisa membangun sekolah Tionghoa yang tidak tergolong kecil; dengan giat dan antusias mewariskan adat istiadat dan budaya Tionghoa kepada generasi berikutnya, setiap kali menginjak hari-hari besar / perayaan yang berhubungan dengan adat istiadat Tionghoa, selalu ada saling mengirim kue keranjang, jajan ronde, bakcang dsb.
Beberapa puluh tahun silam, setiap tanggal 1 Tahun Baru Imlek, setiap keluarga selalu menyampaikan ucapan Selamat Tahun Baru, Semoga Berbahagia Dan Banyak Rejeki; di setiap rumah, anak-anak
mengenakan pakaian baru yang telah disiapkan sebelumnya, sambil menyusuri jalanan dan gang-gang, sampai di rumah sahabat saling mengucapkan Selamat Tahun Baru, kebanyakan berarti ¡§Semoga Banyak Rejeki (Gong Xi Fa Cai), Mana Angpaonya (Hong Bao Na Lai)! Mana Angpaonya, Semua Berbahagia (Da Jia Tong Kuai)!¡¨
Sekitar 32 tahun masa Orba dimana budaya Tionghoa dilarang penguasa, setelah menginjak masa reformasi, pemandangan seperti diatas sulit ditemukan. Masyarakat Tionghoa di Lumajang yang mengalami tekanan
penguasa Orba 30-an tahun silam juga sangat memahami perlunya kesederhanaan dalam merayakan Tahun Baru Imlek. Kebanyakan jarang memasang lampion, asesoris, tidak menggelar kegiatan yang berlebihan. Semua anggota keluarga berkumpul di rumah, makan bersama sambil bersembahyang memohon berkah kepada Tuhan YME sambil melewatkan Malam Tahun Baru Imlek.
Tahun ini guna menyambut datangnya Tahun Baru Imlek 2557, seorang tokoh masyarakat Tionghoa di Lumajang yaitu Bapak Lo Kong Tjwan, dalam upayanya untuk mempererat hubungan persaudaraan masyarakat
Tionghoa dengan saudara/i sebangsa dari suku lain, guna memajukan persatuan bangsa, melalui satu stasiun radio swasta milik Beliau (Radio Central FM Lumajang), semenjak tanggal 15 Januari 2006 s/d 27 Januari 2006 diadakan lomba karaoke lagu-lagu Mandarin dengan peserta semua kalangan (tidak dibatasi etnis Tionghoa saja).
Ternyata respons masyarakat sangat baik dan banyak berbondong- bondong mengikuti lomba ini. Setelah melalui babak penyisihan akhirnya terpilih 15 finalis wanita dan 6 finalis pria. Menginjak tanggal 30 Januari 2006, kebetulan masih musim hujan, dan ternyata Gunung Semeru juga sedang mengeluarkan abunya. Air hujan, hujan abu mengiringi suasana Imlek hari itu, ini merupakan pertanda baik atau datangnya rejeki berlimpah untuk seluruh masyarakat. Final lomba karaoke dilaksanakan di rumah makan ¡§Warung New Yogya¡¨, serta disiarkan langsung oleh radio Central FM. Saat itu hadir ratusan pendengar ikut menyaksikan jalannya final, seorang peserta bernama Yusuf Masruri menyanyikan sebuah lagu berjudul ¡§Shang Xin Tai Ping Yang¡¨ sangat berkesan bagi penonton. Lagu ini aslinya dinyanyikan oleh artis Taiwan Richie Ren (Ren Xianqi) dan merupakan original soundtrack film ¡§The Legend Of Condor Lovers¡¨ (Pendekar Rajawali).
Setelah melalui penilaian para juri, Yusuf akhirnya dinobatkan sebagai juara pertama karaoke dan memperoleh piala serta bingkisan hadiah, seluruh penonton menyambut dengan tepuk tangan sangat meriah. Setelah para penonton mengetahui latar belakang Yusuf, tak henti-hentinya mereka melontarkan pujian baginya.
Ternyata Yusuf Masruri adalah seorang Jawa tulen, usianya 32 tahun, mempunyai seorang istri dan seorang anak. Latar belakang pendidikannya cuma SMP, kehidupan sehari-hari serba kekurangan, ia mencari nafkah dengan menarik becak. Karena Yusuf adalah seorang yang jujur, ramah tamah, mudah bergaul dengan siapapun, sehingga banyak mendapatkan pelanggan tetap orang-orang Tionghoa. Dari awal sampai akhir dia hidup berdampingan dengan masyarakat Tionghoa, sehingga ia dan masyarakat Tionghoa setempat menjalin hubungan persahabatan yang sangat erat. Selain itu dia juga hobi memelihara
burung, juga sangat berminat mempelajari bahasa dan lagu lagu Mandarin. Karena minatnya yang luar biasa, dia berupaya sekeras mungkin belajar otodidak bahasa dan lagu-lagu Mandarin, karena tak ada orang yang membimbing, banyak kendala yang dihadapinya.
Kemudian ia memohon bimbingan pengajaran dari seorang pelanggan yang sangat dikenalnya yaitu Guru Shi Jinquan (mantan guru sekolah Tionghoa), Guru Shi (Shi Laoshi) tanpa pamrih sedikitpun membantu membimbing
Yusuf agar bisa membawakan lagu Mandarin dengan intonasi yang tepat dan memperbaiki kekeliruan yang timbul akibat salah ucap dsb. Lebih daripada itu Guru Shi juga mendorong Yusuf agar mau mengikuti lomba
karaoke lagu-lagu Mandarin, dan ternyata hasilnya sangat mengejutkan banyak orang. Dia berhasil meraih juara pertama.
Saat Yusuf menerima hadiah, banyak penonton mengerubunginya, memberikan ucapan selamat kepadanya, menanyakan kepadanya, sulitkah belajar bahasa Mandarin, dia lantas menjawab: ¡§Saya sungguh
berterima-kasih atas bimbingan Guru Shi, sehingga saya bisa mencapai prestasi seperti hari ini. Belajar dan menarik becak mempunyai banyak persamaan, di dunia ini tidak ada jalan yang lurus-lurus saja; masalahnya terletak pada orangnya, meskipun banyak masalah menghadang, asal anda punya tekad bulat untuk berjuang, sesulit apapun pasti bisa terpecahkan!¡¨
Ada seorang penonton yang bertanya kepadanya untuk periode berikutnya apa rencana selanjutnya, dia dengan tegas menjawab: ¡§Saya akan terus berupaya keras, agar kelak bisa menjadi seorang penyanyi
lagu-lagu Mandarin, untuk menyanyikan suara hati berisi pesan bersatunya segenap komponen bangsa!¡¨, lantas dia membungkus piala dan hadiah yang diterimanya dengan selembar kain, kemudian beranjak pulang sambil mengayuh becaknya yang terdapat tulisan aksara Mandarin berukuran cukup besar di sandaran tempat duduk penumpang yang berbunyi ¡§Qing Zuo, Xie Xie¡¨ yang artinya ¡§Silakan Duduk, Terima Kasih¡¨. Dia masih sempat berucap salam kepada orang-orang di sekelilingnya ¡§Zai Jian¡¨ (Sampai Jumpa), sambil mengayuh becaknya dia masih sempat bersenandung ¡§Gong Xi, Gong Xi Ni, Xin Nian Kuai Le, Chun Jie Yu Kuai, Wan Shi Ru Yi¡¨.
Banyak orang menatap dia beranjak pergi sambil berkata: ¡§Imlek kita tahun ini sungguh sangat bermakna! Kemenangan Yusuf, tak pelak lagi akan melecut dan mendorong generasi muda Tionghoa yang selama ini terkesan santai, acuh, melempem untuk lebih giat lagi mempelajari bahasa Mandarin.¡¨
Dikutip dan diterjemahkan dari Harian Qian Dao Ri Bao terbitan
Surabaya edisi 9 Februari 2006.
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/17348