Budaya-Tionghoa.Net | Beberapa minggu ini dimilis-milis banyak ditulis mengenai orang Tionghoa di Indonesia. Disini saya tulis artikel yang sebetulnya sudah lama, tetapi belum saya publikasikan, karena saya anggap belum waktunya yang cocok. Tetapi karena adanya banyak tulisan-tuisan di milis-milis, maka saya anggap toch perlu untuk di muat, sebagai bahan pemikiran dan menerangkan arti yang sebetulnya apa yang dikatakan Peranakan (Hua Yi, Hua Ren) dan Totok (Hua Chiao), serta fungsi, pekerjaan mereka masing-masing dan terutama kerja sama antar mereka.Orang Tionghoa , Hua Yi (Peranakan) – Hua Chiao (Totok), kerja sama dan tiga pandangan politik dalam masyarakat Tionghoa (bagian pertama)
|
Kata Pendahuluan
Dalam artikel ini, saya pertama-tama ingin menceritakan latar belakang saya, dimana engkong dari garis ayah saya Han Wen Zhen datang ke Hindia Belanda dari Hok-Jia (Fu Qing) sebagai imigran. Kedua semua saudara-saudara saya sekolah Tionghoa, hanya saya sendiri sesudah lulus sekolah rendah Tionghoa lalu masuk ke sekolahan Belanda atas permintaan ibu saya. Ibu mempunyai keinginan agar salah satu anaknya kelak bisa menjadi dokter.
Ketiga kami tinggal di daerah Pecinan, didaerah yang banyak bertetangga dengan orang-orang Tionghoa Totok, dan setiap hari yang datang kerumah kami adalah teman-teman sekolah dari saudara-saudara saya, dan berkongkou-kongkou dengan mereka. Ditambah lagi ayah dan ibu istri saya adalah imigran dari Hok Jia seperti engkong saya. Di sekolah MULO dan Algemene Middelbare School dan di Universitas Airlangga saya berinteraksi dengan pemuda dan pemudi Peranakan.
Ayah dan ibu saya keduanya mendapatkan didikan sekolah Belanda, dirumah kami berinteraksi terutama dalam bahasa Melajoe-Tionghoa, kadang-kadang bahasa mandarin.
Dapat dikatakan lingkungan dimana saya hidup adalah dalam suasana budaya setengah Baba setengah Totok tetapi ayah saya semangatnya kuat nasionalisme Tiongkok. Karena itu atas tindakan dan anjuran ayah semua anak-anaknya “diharuskan “ berwarga negara RRT. Demikian pula keluarga istri saya, yang semua mendapatkan didikan sekolah Tionghoa. Baik diantara saudara-saudara saya maupun dari saudara istri saya masing-masing pada tahun 1954 ada yang pulang ke negara leluhur (Wei-Guo).
Demikian pula dengan saya sekeluarga juga Wei-Guo pada tahun 1966 dan tinggal di Shanghai selama 6 tahun lalu tinggal di Hong Kong setahun sebelum kami berimigrasi ke Nederland. Karena perkembangan politik dan kepentingan hidup, maka semua famili kami berdua, kemudian seperti halnya dengan masyarakat Tionghoa umumnya menjadi warga negara Indonesia. Generasi mudanya berorientasi pada Indonesia, berinteraksi dengan orang-orang Indonesia dan ada yang menika dengan orang Indonesia. Mereka semua bangga sebagai orang Indonesia.
Pada jaman sebelum Perang Dunia kedua teori-teori politik masih belum berkembang menyampai puncak seperti sekarang ini. Lagi pula karena kebudayaan masih belum merata, maka pandangan politik orang jaman dulu terutama terpengaruh oleh tiga unsur seperti, cinta kepada negara leluhur Tiongkok, cinta pada negara dimana mereka lahir dan dibesarkan dan cari nafkah yaitu Indonesia dan achirnya adalah unsur mendukung dan kerja sama dengan peguasah yaitu Pemerintah Hindia Belanda.
Orientasi mereka ini tentunya mempunyai tujuan-tujuan yang tertentu yaitu untuk kepentingan hari depan bagi pribadi, keluarganya dan terutama bagi golongannya. Tujuan yang dimaksud ialah berjuang untuk mendapatkan kedudukan yang sama, tidak dibedahkan dengan bangsa Belanda atau dengan mayoritas, mempunyai hak-hak dan kuajiban yang sama. Bagaimanapun perbedaan politik dan pandangan antara berbagai golongan Tionghoa, karena perobahan waktu dan kesadaran politik, kehidupan dan hari depan, umumnya hampir semuanya baik yang peranakan baik yang totok, menjadi Warga Negara Indonesia dan bekerja sama dengan rakyat mayoritas menuju negara Indonesia yang demokratis, aman dan sejahtera.
Dari golongan Totok umumnya mereka berorientasi ke negara leluhur yaitu ke Republik Rakyat Tiongkok didaratan Tiongkok atau ke Republik Tiongkok dipulau Taiwan. Juga semua sekolahan Tionghoa yang ada di Indonesia dapat digolongkan antara dua pandangan politik Republik Rakyat Tiongkok dan Republik Tiongkok, yang pertama jumblahnya lebih banyak daripada yang terachir. Bicara tentang Hua Yi dan Hua Chiao, banyak orang yang tidak mengerti, terutama generasi muda dari keturunan Tionghoa di Indonesia. Karena pembicaraan tentang kedua golongan ini sudah jarang didengar, akibat terjadinya proses “Peranakanisasi atau Babanisasi” dari apa yang dulu dikatakan Totok atau Hua Chiao. Mengenai arti dari kedua terminologi ini, telah saya bicarakan dalam artikel saya yang sudah dimuat dimilis-milis: “Orang Tionghoa di Indonesia, The Chinese Roots, Provinsialisme, Peranakan, Totok dan kerjasama dalam tubuh Hua Yi.”
Dalam hal kedua terminologi ini perlu diterangkan lebih lanjut karena bagi saya ada dua arti dari istilah tersebut yaitu:
- Menurut hukum Tiongkok, istilah yang dipakai di daratan Tiongkok dan Taiwan, istilah Hua Chiao, atau Overseas Chinese adalah mereka yang memegang passport Tiongkok, jelasnya adalah orang Tionghoa yang berkewarga-negaraan Tiongkok yang tinggal diluar negeri, jaman Tempo Doeloe dipakai istilah Hokkian “Hwa Kiauw”. Di RRT sewaktu saya tinggal di Shanghai, Hua Chiao yang pulang ke Tiongkok diberi nama “Gui Guo Hua Chiao”, yang berarti Hua Chiao yang pulang ke Negara asalnya, seperti saya dan keluarga saya itu waktu.
- Hua Yi adalah keturunan Tionghoa yang tidak berkewarga-negaraan Tiongkok, ada pula yang mengatakan Hua Ren.
Berlakunya kedua istilah ini jelaslah timbul sesudah berlakunya perjanjian antara Tiongkok-Indonesia mengenai dihapuskannya Dwi kewarga-negaraan bagi rakyat Tiongkok ( orang Tionghoa ) di Indonesia, dan kemudian berlaku diseluruh dunia. Kalau kedua istilah tersebut dilihat dari optik budaya dan berlaku terutama bagi keturunan Tionghoa diluar negeri, demi kepentingan sosiologi untuk membedakan antara kedua golongan ini ialah:
- Hua Chiao, tidak memandang kewarga-negaraannya, adalah mereka yang berkomunikasi dirumaah dengan bahasa Mandarin, atau dengan bahasa dialek kota atau desa asal mereka datang dari Tiongkok. Mereka masih mempunyai famili di Tiongkok dan orientasi sosial dan politik juga masih kuat kenegara asalnya. Jumlah orang-orang ini sekarang di Asia Tenggra, khususnya di Indonesia sudah jauh berkurang, dan terutama masih kita lihat pada generasi tuanya.
- Huayi adalah mereka yang sudah tidak bisa bicara bahasa mandarin, atau bahasa lokal asal provinsinya. Orientasi sosial-politik mereka terutama pada Negara dimana mereka tinggal. Mereka tidak tahu lagi asal propvinsi leluhurnya di Tiongkok. Di Indonesia karena pada periode pemerintahan Orde Baru, semua yang berbau Tiongkok dan Tionghoa dilarang, sekolah Tionghoa ditutup, pesta tradisional Tiongkok tidak diperbolehkan dipertunjukkan dimuka umum, nama Tionghoa pun harus diganti dengan nama Indonesia atau nama yang berbau Barat, juga nama toko-toko harus pakai nama yang kedengaran Indonesia . Karena peraturan-peraturan tersebut terjadilah Huayinisasi (peranakanisasi) dari Hua Chiao (orang-orang totok) ke masyarakat Hua Yi (Peranakan).
Pada umumnya yang dinamakan Tionghoa Peranakan pada masa muda saya ialah apa yang dikenal sebagai Babah , merekalah yang datang ke Nan-Yang (South-East Asia) terlebih dulu, sebelum wanita Tiongkok diperbolehkan keluar negeri, maka mereka dididik oleh ibunya yang orang Indonesia, karenanya mereka mengambil banyak identitas negara dimana mereka tinggal.
Tetapi mereka sekolah kesekolahan Tionghoa, pertama-tama dalam bahasa Hokkian lalu sesudah didirikan sekolahan-sekolahan oleh perkumpulan Tiong Hoa Hwee Kuan ( sebuah sekolahan yang berbahasa pengantar mandarin) , menurut kurikulum modern pada masa itu. Jadi pada umumnya hampir semua orang Tionghoa pada masa itu bisa berbicara bahasa Hokkian atau Mandarin.
Tiong Hoa Hwee Kuan , adalah salah satu perkumpulan yang termaju dalam sejarah orang Tionghoa di Hindia Belanda, diketuai oleh seorang Babah kaya bernama Phoa Keng Hek, aktifis dan kritikus terhadap pemerintah Hindia Belanda yang diskriminatif. Perkumpulan ini adalah perkumpulan pertama bagi semua golongan Tionghoa baik Peranakan maupun Totok, dari berbagai provinsi atau kota di Tiongkok. Di Tiong Hoa Hwee Kuan landscape panitianya menunjukkan tujuan dari Tiong Hoa Hwee Kuan , ada Babah maupun Totok, pokoknya mereka ini aktif berbuat bagi masyarakat Tionghoa. Phoa tetap menjabat sebagai ketua selama 20 tahun lebih. Perlu diterangkan disini bahwa Phoa mendapatkan pendidikan sekolahan partikulir Belanda.
Tujuan dari Tiong Hoa Hwee Kuan ialah mempertinggi derajat kebudayaan masyarakat Tionghoa. Orang Tionghoa yang berpendidikan diperlukan untuk membantu perusahan-perusahan kepunyaan orang Tionghoa yang berkembang, memberantas Madat ( menghisap candu ), Pelacuran, dan Pemborosan uang waktu pesta pernikahan dan kematian. Pendirian Tiong Hoa Hwee Kuan pernah saya katakan adalah sebuah periode renaissance (Fu Xin, membangun kembali) dari kebudayaan orang Tionghoa di Hindia Belanda. Renaissance yang kedua dari masyarakat Tionghoa adalah periode dengan didirikannya ormas Baperki dalam bidang budaya dan politik. Kerja sama antara dua golongan Babah dan Totok berjalan dengan baik di perkumpulan Tiong Hoa Hwee Kuan dan Baperki.
Kerja sama ini seperti di masa kecil/muda saya, dapat dilihat pula dikoran Sin Po, dimana ada Sin Po berbahasa Mandarin dan berbahasa Melajoe-Tionghoa. Diberbagai bidang sosial kerja sama ini saya alami dalam pendirian, perkembangan dan managemen rumah-sakit rumah- sakit Tionghoa di Surabaya, dan juga diseluruh Hindia Belanda dan kemudian Indonesia.
Belakangan juga dengan adanya pendirian sekolahan-sekolahan dan universitas-universitas swasta, didalam Organisasi Baperki ada juga pimpinan dari unsur Totok, dan di Chung Hua Chung Hui, yang notabene adalah perkumpulan Tionghoa Totok yang terbesar di Indonesia, ada beberapa orang Tionghoa Peranakan yang menjabat sebagai panitianya kalau ada kerja sama dalam bidang sosial, diantaranya Dr. Kwa Tjoan Sioe.
Dr. Kwa adalah pendiri dari Rumah Sakit Yang Seng Ie dan menjabat sebagai direktur dari rumah sakit tersebut. Meskipun beliau digolongkan dalam politik Sin Po yang bernasionalis Tiongkok, beliau tetap tinggal di Indonesia dan mendukung kemerdekaan Indonesia.
Waktu saya diundang Perayaan 1 Oktober di Beijing pada tahun 1966, kami bertemu dengan Nyonya Kwa- Lie Mei anggota aktif dari Chung Chiao Lian (Pusat Perkumpulan Hua Chiao yang pulang ke RRT) beliau menyambangi kami dan bercakap-cakap di hotel Hua Chiao Fu Wu Shi, hotel chusus kepunyaan dari ” Kantor Pusat Urusan Hua Chiao”.
Kerja sama yang baik ini juga tampak dengan baik dalam bidang olahraga, atletik, berenang, bola basket dsb. Contoh lain lagi yang saya tahu di Surabaya ialah diperkumpulan Totok Ta Chung Shi di Surabaya, Tjoo Tik Tjoen seorang Tionghoa Peranakan pernah menjabat sebagai ketua dari cabang kepemudaan nya.
Demikian pula Dr. Loe Ping Kian, pendiri dari rumah sakit Sin Ming Hui yang tergolong dalam Sin Po, dekat dengan Dr. Kwa Tjoan Sioe, tetap tinggal di Indonesia sehingga beliau meninggal dunia. Dr. Loe pernah menjabat sebagai ketua Chung Hwa Hui di Belanda dan Ketua HCTNH di Indonesia, juga dekat dengan golongan Totok.
Tiong Hoa Hwee Kuan , adalah salah satu perkumpulan yang termaju dalam sejarah orang Tionghoa di Hindia Belanda, diketuai oleh seorang Babah kaya bernama Phoa Keng Hek, aktifis dan kritikus terhadap pemerintah Hindia Belanda yang diskriminatif. Perkumpulan ini adalah perkumpulan pertama bagi semua golongan Tionghoa baik Peranakan maupun Totok, dari berbagai provinsi atau kota di Tiongkok. Di Tiong Hoa Hwee Kuan landscape panitianya menunjukkan tujuan dari Tiong Hoa Hwee Kuan , ada Babah maupun Totok, pokoknya mereka ini aktif berbuat bagi masyarakat Tionghoa. Phoa tetap menjabat sebagai ketua selama 20 tahun lebih. Perlu diterangkan disini bahwa Phoa mendapatkan pendidikan sekolahan partikulir Belanda.
Tujuan dari Tiong Hoa Hwee Kuan ialah mempertinggi derajat kebudayaan masyarakat Tionghoa. Orang Tionghoa yang berpendidikan diperlukan untuk membantu perusahan-perusahan kepunyaan orang Tionghoa yang berkembang, memberantas Madat ( menghisap candu ), Pelacuran, dan Pemborosan uang waktu pesta pernikahan dan kematian. Pendirian Tiong Hoa Hwee Kuan pernah saya katakan adalah sebuah periode renaissance (Fu Xin, membangun kembali) dari kebudayaan orang Tionghoa di Hindia Belanda. Renaissance yang kedua dari masyarakat Tionghoa adalah periode dengan didirikannya ormas Baperki dalam bidang budaya dan politik. Kerja sama antara dua golongan Babah dan Totok berjalan dengan baik di perkumpulan Tiong Hoa Hwee Kuan dan Baperki.
Kerja sama ini seperti di masa kecil/muda saya, dapat dilihat pula dikoran Sin Po, dimana ada Sin Po berbahasa Mandarin dan berbahasa Melajoe-Tionghoa. Diberbagai bidang sosial kerja sama ini saya alami dalam pendirian, perkembangan dan managemen rumah-sakit rumah- sakit Tionghoa di Surabaya, dan juga diseluruh Hindia Belanda dan kemudian Indonesia. Belakangan juga dengan adanya pendirian sekolahan-sekolahan dan universitas-universitas swasta, didalam Organisasi Baperki ada juga pimpinan dari unsur Totok, dan di Chung Hua Chung Hui, yang notabene adalah perkumpulan Tionghoa Totok yang terbesar di Indonesia, ada beberapa orang Tionghoa Peranakan yang menjabat sebagai panitianya kalau ada kerja sama dalam bidang sosial, diantaranya Dr. Kwa Tjoan Sioe. Dr. Kwa adalah pendiri dari Rumah Sakit Yang Seng Ie dan menjabat sebagai direktur dari rumah sakit tersebut. Meskipun beliau digolongkan dalam politik Sin Po yang bernasionalis Tiongkok, beliau tetap tinggal di Indonesia dan mendukung kemerdekaan Indonesia.
Waktu saya diundang Perayaan 1 Oktober di Beijing pada tahun 1966, kami bertemu dengan Nyonya Kwa- Lie Mei anggota aktif dari Chung Chiao Lian (Pusat Perkumpulan Hua Chiao yang pulang ke RRT) beliau menyambangi kami dan bercakap-cakap di hotel Hua Chiao Fu Wu Shi, hotel chusus kepunyaan dari ” Kantor Pusat Urusan Hua Chiao”. Kerja sama yang baik ini juga tampak dengan baik dalam bidang olahraga, atletik, berenang, bola basket dsb. Contoh lain lagi yang saya tahu di Surabaya ialah diperkumpulan Totok Ta Chung Shi di Surabaya, Tjoo Tik Tjoen seorang Tionghoa Peranakan pernah menjabat sebagai ketua dari cabang kepemudaan nya. Demikian pula Dr. Loe Ping Kian, pendiri dari rumah sakit Sin Ming Hui yang tergolong dalam Sin Po, dekat dengan Dr. Kwa Tjoan Sioe, tetap tinggal di Indonesia sehingga beliau meninggal dunia. Dr. Loe pernah menjabat sebagai ketua Chung Hwa Hui di Belanda dan Ketua HCTNH di Indonesia, juga dekat dengan golongan Totok.[Bersambung]
Dr. Han Hwie-Song
Breda, 27- 5-2009 The Netherlands
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua