Budaya-Tionghoa.Net| Tatacara upacara kematian orang Tionghoa di Indonesia berbeda-beda tergantung agama dan sukunya.Langkah untuk pemakaman/kremasi pada umumnya adalah : [1] Tentukan apakah jenasah akan disemayamkan di rumah atau di rumah duka. Sekarang ini, umumnya jenasah disemayamkan di rumah duka. [2] Mencetak foto ukuran besar untuk meja sembahyang.[3] Pintu dan jendela rumah disilang dengan menempelkan kertas putih panjang. (orang2 ‘modern’, mungkin tidak melakukan hal ini).[4] Tentukan jenasah akan dikubur atau dikremasi, biasanya disesuaikan dengan keinginan almarhum. Hal ini menentukan jenis peti mati yang dipilih, kalau jenasah dikremasi peti yang dipilih tidak usah terbuat dari kayu bagus dan tidak terlalu tebal.[5] Kalau jenasah akan dikubur, lebih baik dilakukan survey ke lokasi kuburan. Kalau percaya hongshui, sekalian diperiksa hongshuinya bagus atau tidak.[6]Menyiapkan pakaian (lengkap) dan barang pribadi almarhum untuk dimasukkan dalam peti mati.
|
[7] (Untuk yang percaya) Memilih hari untuk mengubur/mengkremasi. Cara memilih hari adalah dengan melihat Tongshu/Nongli. Juga dipilih jam baik untuk JipBok (masuk peti), tutup peti, dan pemberangkatan jenasah dari rumah duka.[8] Booking krematorium/tanah, mobil jenasah, mobil/bis pelayat, motor pengawal/pembuka jalan, dan polisi pengawal biasanya sudah dikoordinasi oleh rumah duka. Tetapi, pihak keluarga tetap perlu menyediakan tip/duit untuk para sopir, tukang gali dan angkut peti, pengawal dan polisi, dan juga preman di lokasi. [9] Memasang berita duka cita di koran, yang diperlukan pasfoto dan daftar nama anggota keluarga. [10] Menyiapkan makanan kecil dan minum untuk para pelayat.[11] Membuat ucapan terima kasih untuk para pelayat. Biasanya terbuat dari karton putih (yang bertuliskan nama almarhum dan keluarganya) dan disertakan benang merah (biasanya benang wool merah). Karton putih untuk menunjukkan suasana berkabung, sedangkan benang merah (yang melambangkan kebahagiaan) untuk menolak pengaruh negatif dari kematian ini. [12] Memilih upacara/ritual yang cocok dengan almarhum. Diusahakan ritual yang dipilih adalah yang sudah dikenal oleh almarhum, sehingga pelaksanaan ritual/pembacaan doa/keng/paritta dapat membantu menenangkan kesadaran/batin almarhum.[13] Melakukan pelimpahan jasa atas nama almarhum. -> Keluarga melakukan perbuatan baik dan jasa kebaikan perbuatan ini dilimpahkan kepada almarhum. Pelimpahan jasa ini bisa dilakukan dengan pencetakan buku atau pemberian dana/sedekah.
Dari berbagai poin di atas yang perlu dibahas lebih lanjut adalah point no 12 yaitu memilih upacara/ritual yang cocok. Kalau pihak keluarga tidak begitu memahami upacara atau ritual kematian, dapat menghubungi dan meminta bantuan dari kelenteng/vihara/gereja/mesjid/yayasan sosial Tionghua/rumah duka. Mereka dapat mengatur bagaimana sebaiknya upacara / ritual dijalankan.
Masalahnya, sekarang ini sebagian besar (oknum) pengurus yayasan/tempat ibadah lebih melihat ke arah duit. Kalau yang meninggal orang kaya (baca: angpao-nya gede), mereka berbondong-bondong sibuk membantu ini itu. Kalau orang miskin, mereka pura-pura sibuk ada urusan lain. Jadi, tidaklah salah kalau kita ini disebut sebagai yipansha (SEPIRING PASIR).
TATA CARA ORANG TIONGHOA
Orang Tionghoa jaman dulu menyediakan peti mati di rumah untuk persiapan penguburannya. Peti mati disebut Siu Pan atau Shouban(=peti panjang umur). Selain itu juga dibuat Siu Yi atau Shou Yi (=baju panjang umur) yang akan dipakai pada jenasah dalam peti. Siu Yi ini dibuat pada waktu baik, biasanya bulan LunGue atau RunYue(=bulan kabisat) yang dianggap waktu baik untuk membuat Siu Yi ini.
Waktu di rumah duka, anak dari almarhum harus membakar Gun Cua atau Yin Zhi) (=kertas perak) di atas baskom pembakaran. Pembakaran ini dilakukan terus menerus di samping peti jenasah. Sementara itu, di kolong peti jenasah dinyalakan pelita minyak,
Meja sembahyang ditempatkan di depan jenasah (dekat kaki jenasah). Pada meja sembahyang dipasang lilin putih dan hio lo (tempat hio). Kalau peti sudah ditutup juga dipasang foto almarhum. Hio yang dipakai adalah hio bertangkai hijau. Ada juga yang mengatakan jika almarhum meninggal lebih dari 60 tahun, hio yang dipakai bisa yang berwarna merah. Sesaji meja sembahyang adalah teliao (=teh dan manisan seperti permen), nasi, sawi, dan lima macam buah ngo ko atau wu guo antara lain pisang, jeruk, semangka, dan lain-lain sesuai musim buah. Tidak harus menggunakan sam-seng (daging, ikan, ayam) apalagi ngo-seng.
Anggota keluarga membuat dan memakai baju putih yang terbuat dari blacu (dan karung goni). Baju putih ini dipakai terbalik (jahitannya di luar). Anggota keluarga lelaki diikat kepalanya, anggota keluarga perempuan menggunakan kerudung. Ikat kepala dan kerudung ini diberi warna sesuai dengan hubungannya dengan almarhum. Untuk suku Hokkian (yang saya ingat waktu nenek saya meninggal): anak dan menantu berwarna hitam, cucu dalam : biru, cucu luar: merah, buyut dalam: kuning. Waktu ada tamu yang bersembayang/menghormat ke jenasah, anggota keluarga juga ikut sembahyang di sisi kanan (kalau dilihat dari depan) peti jenasah. Lalu menghormat atau paichiu kepada tamu tersebut.
Kegiatan yang perlu dilakukan dengan pembacaan doa/keng/paritta adalah:
1. Jip Bok atau Rumu(=masuk peti)
2. Sembahyang malam terakhir (malam kembang)
3. Pemberangkatan jenasah
4. Saat menjelang penguburan/kremasi
5. upacara kihok (setelah kembali dari kuburan atau krematorium)
6. upacara 3 hari, 7 hari, 49 hari, dan 100 hari
7. upacara siao siang 1 tahun dan tai siang 3 tahun.
Pada saat pemberangkatan jenasah, semangka yang dipakai di meja sembahyang dibanting hingga hancur ketika peti akan diangkat ke mobil jenasah. Ada cerita tentang kaisar Li Shimin yang mengunjungi neraka. Buah semangka yang dihancurkan ini adalah untuk para penghuni neraka yang sangat kehausan. Hiolo dan potret almarhum dibawa oleh anak lelakinya dengan diikat di badannya menggunakan kain blacu, serta ikut di mobil jenasah, sepanjang perjalanan ke pemakaman atau krematorium, [gincua] disebar di jalan. Jaman dahulu, peti jenasah digotong ke kuburan, dan anggota keluarga berlutut [paikui] di tiap jembatan yang dilalui.
Setelah pemakaman, anggota keluarga menjalani masa berkabung (memakai putih) TuaHa atau TuaPeq. Masa berkabung ini berbeda-beda sesuai dengan hubungan dengan almarhum. Untuk anak biasanya diambil 1 atau 3 tahun. Khonghucu mengatakan seorang anak bergantung kepada orang tuanya, setidaknya sampai berusia 3 tahun, maka ketika orang tuanya meninggal, ia harus melakukan masa perkabungan selama 3 tahun (3 X 10 bulan) . Untuk cucu dan buyut, masa berkabungnya bisa diambil waktu yang lebih pendek, misalnya 1 tahun atau 100 atau 49 atau 7 hari
King Hian
Budaya-Tionghoa.Net|Mailing-List Budaya Tionghua