Budaya-Tionghoa.Net| Melihat banyaknya postingan yang berkaitan dengan Imlek dan pernik-pernik budaya serta adanya pertentangan budaya-budaya yang didasarkan agama. Disini kita harus berbesar hati dan jujur mengatakan bahwa memang pernah ada dan mungkin sampai sekarang masih ada benturan atau pertentangan budaya yang didasarkan agama terhadap budaya Tionghoa dalam hal ini adalah Imlek.
|
Dalam postingan saya ini, saya tidak berkeinginan memicu polemik berkelanjutan tapi seyogyanya sebagai bahan pertimbangan dan pemikiran. Bahwasanya sejak berdirinya ORBA sudah ada tangan-tangan yang mendeskriditkan budaya Tionghoa melalui jalur agama, jujur saja lembaga-lembaga keagamaan seperti beberapa aliran Kristen dan Buddha turut mendeskriditkan budaya Tionghoa, dalam hal ini adalah perayaan Imlek.
Kita tidak atau jangan mencoba menutupi kenyataan bahwa hal ini memang ada dan pernah terjadi. Bagi beberapa orang bisa dikatakan mungkin karena faktor politik, tapi bagi saya sebenarnya hal itu berdasarkan faktor benturan budaya. Sebagai contoh misalnya pada saat agama Kristen berkembang di Tiongkok pada masa dinasti Qing itu sendiri sudah jelas terlihat faktor benturan budayanya dan puncaknya adalah perang Boxer yang merupakan perlawanan terhadap agresi Barat dan pelecehan budaya Tiongkok.
Sejak Matteo Ricci datang ke Tiongkok, beliau menyadari bahwa ada perbedaan budaya yang menonjol dan beliau mengusulkan agar Roma mau melakukan adaptasi budaya tapi sayangnya ditolak mentah-mentah, bahkan paus Clement ke 11 melarang segala bentuk ritual penghormatan leluhur, penyebutan Tian sebagai Tuhan diganti dengan kata Tian Zhu atau Empunya Langit. Bagi dinasti Qing, hal ini adalah penghinaan besar. Disisi lain,Katolik memiliki kekuasaan atau pengaruh terhadap raja-raja Eropa dan hal ini tidak berlaku di Tiongkok. Lembaga agama berada dibawah kerajaan bukan di atas kerajaan. Pelarangan atau benturan budaya ini baru dicabut pada sekitar tahun 1930an oleh Roma, dus berarti sekitar 400an tahun kemudian baru dicabut oleh Gereja Katolik.
Masuknya Kristen Protestan ke Tiongkok juga dengan pemikiran yang sama, yaitu Tiongkok terutama rakyatnya dibelenggu oleh cengkraman iblis yang berjubah budaya.
Bagi saya, ini karena euforia kebablasan dari pihak barat terutama sejak mereka berhasil berjaya di dunia pada abad ke 18, 19 dan 20. Dari sudut mata mereka memandang, bahwasanya budaya atau agama diluar agama mereka adalah sesat. Ini karena tidak adanya keterbukaan dalam mengkaji budaya bangsa lain serta mau menghargai secara seimbang, semua dilihat melalui kacamata mereka. Pandangan ini berlaku sejak berabad-abad dan mulai berkurang karena banyaknya interaksi dengan kebudayaan lain dan ada beberapa umat Kristiani yang mau membuka mata mereka. Sebenarnya ini adalah pandangan umum bagi manusia, kerajaan Tiongkok sendiri juga sempat terjebak dalam pandangan ini. Pandangan salah ini membuat Tiongkok terlena dan terkejut melihat kenyataan yang ada.
Benturan budaya yang terjadi biasanya pada 3 pilar budaya Tiongkok, yaitu budaya leluhur, budaya makan dan budaya keluarga. Budaya penghormatan leluhur merupakan salah satu dari pilar utama budaya Tiongkok, bisa kita lihat bahwa orang Tionghoa mementingkan budaya penghormatan leluhur bahkan dari sejak jaman purba, ada istilah Jing TianDi Pai ZhuXian, penghormatan kepada Langit dan Bumi serta para leluhur dalam hal ini adalah Shang Di sebagai leluhur dari kaisar. Ini sudah menjadi pilar kokoh yang beribu-ribu tahun lamanya, bahkan Buddhism Mahayana juga mengadopsi hal ini dengan pernik-pernik budayanya. Contoh yang paling umum terjadi misalnya pada saat upacara kematian, dimana ada budaya yang menggunakan bunga dan budaya yang menggunakan makanan.
Disini terlihat adanya ketidak mengertian mengenai budaya makan dan penghormatan leluhur, jadi terlihat seolah-olah mereka memberikan makanan kepada setan, melakukan hal yang tidak berguna, sesat, adhamma dan macam-macam istilah berbau keagamaan yang distempel oleh beberapa lembaga keagamaan. Lembaga agama Katolik menyadari bahwa pilar budaya makanan dan penghormatan leluhur merupakan salah satu pilar budaya Tionghoa, karena itu larangan itu dicabut pada awal abad ke 20.
Pengertian konsep dewa-dewa, yang juga menjadi rancu dan merupakan kesalahan pihak mayoritas Tionghoa juga. Sebagai contohnya adalah fungsi bio atau miao yang merupakan community center dan tempat penghormatan tokoh pahlawan yang berjasa bagi masyarakat maupun negara. Banyak yang salah mengerti dan ini juga berkaitan dengan kendala bahasa pula serta pengertian yang salah. Bahwasanya istilah shen memang diartikan dewa,semangat tapi juga bisa mengacu kepada orang yang berbudi baik dan ketika meninggal, ia menjadi shen. Kerancuan pengertian ini menjadi penghormatan kepada tokoh yang berjasa dan patut dijadikan panutan menjadi berlebihan dan mereduksi makna penghormatan para pahlawan itu sendiri serta menghancurkan fungsi community center itu pula. Hal ini ditambah lagi dengan komentar-komentar negatif dari beberapa pihak yang mengatasnamakan institusi keagamaan atau juga bersifat pribadi.
Benturan budaya itu tidak hanya dengan Kristen yang memiliki landasan budaya barat juga dengan Theravada terutama sekte Dhammayut yang memiliki landasan budaya Thai. Hal ini memperparah benturan budaya dan pada masa ORBA kita bisa melihat betapa parahnya hal itu dan juga merupakan fakta yang harus diakui dan jangan ditutupi.
Pada masa Reformasi ini terjadi beberapa hal yang penting bagi etnis Tionghoa, salah satunya adalah kebebasan berbudaya dan adat. Hal ini menjadi hal penting dan berbondong-bondong mereka mengakui Imlek sebagai identitas budaya etnis mereka, tanpa perduli label agama apa yang melekat. Disini kita bisa melihat bahwa apapun agama mereka, identitas budaya tetap penting dan seyogyanya kita melihat unsur tradisi dan budaya itu secara benar dan netral.
Bagi para netters, coba kita kaji lebih mendalam makna Imlek tanpa perlu hura-hura yang berlebihan. Karena hari Imlek itu bukan hari penuh hura-hura tapi hari dimana keluarga bersatu dan mensyukuri hasil perjuangan mereka selama satu tahun dan melakukan penghormatan kepada leluhur, mengunjungi kerabat, berkumpul makan bersama. Jadi pada hari Imlek inilah 3 pilar budaya itu dilakukan dan ingat pada malam Imlek, mereka yang mampu harus membeli Dewa Rejeki dari mereka yang tidak mampu. Agar mereka yang mampu sadar bahwa rejeki mereka sebenarnya berasal dari kaum tidak mampu itu dan jangan beranggapan bahwa dewa rejeki itu datang dari langit, tapi sebenarnya datang dari rakyat kebanyakan yang tidak mampu,jadi berilah mereka yang tidak mampu itu kesempatan juga kemampuan untuk merayakan Imlek.
Sekarang ini perayaan Imlek sudah menjadi milik masyarakat internasional, banyak etnis lain turut merayakan. Hal ini sudah seperti tahun baru Masehi yang dirayakan oleh beragama etnis dan agama. Padahal dalam sejarahnya perayaan Masehi itu awalnya hanya milik orang Eropa dan mayoritas beragama Kristen.
Akhir kata, coba kita belajar menggali nilai budaya bukan hanya sekedar euforia yang nantinya kebablasan dan mengikis nilai-nilai itu sendiri. Jika ada kata-kata yang salah dan menyinggung perasaan beberapa rekan, sebelumnya saya mohon maaf sebesar-besarnya.
Hormat saya,
Xuan Tong