Budaya-Tionghoa.Net | Saya mendapat pertanyaan dari beberapa rekan, terutama mengenai Zheng He yang disebut penjajah dan memiliki ambisi perluasan teritori Dinasti Ming. Dalam hal ini, pendapat seperti itu bukan pendapat yang usang. Sekitar tahun 70an sudah ada tulisan mengenai hal itu dan dibuat oleh orang Russia yang bernama Dr.Bokhawan dengan judul “A Chinese Empire In Nearly 15th Century”.
Mungkin buku itu adalah buku pertama yang membahas hal itu. Sedangkan yang diperkirakan dikutip oleh beberapa orang belakangan ini, menurut saya mungkin dari seminar Dr.Geoffrey Wade di Institute of South East Asian Studies ( ISEAS ) dan dikutip oleh Straits Times pada tanggal 11 november 2004.
Selain itu adalah tulisan beliau yang berjudul “Ming China and Southeast Asian in the 15th Century : A Reppraisal, Asia Research Institute, Working Paper no.28, July 2004”.
Dan sayangnya banyak kolega beliau yang juga tidak setuju dengan pandangannya, walau demikian beliau adalah dosen tamu di National University Singapore yang perlu kita hargai. Sah-sah saja jika dalam berdiskusi ada perbedaan pendapat tapi seyogyanya harus didukung dengan data yang sahih bukan sekedar prejudice saja.
Sayangnya walau Wade mengatakan didukung dengan data yang sahih, tapi data itu tidak pernah disebutkan darimana kecuali mungkin merupakan perkiraannya saja. Sehingga tulisannya tidak menimbulkan pemikiran baru dalam penelitian ekspedisi Zheng He.
Misalnya dengan mengatakan bahwa mayoritas kapal dalam armada Zheng He adalah kapal perang. Data itu didapat darimana ?
Tidak pernah disebutkan kecuali merupakan opini saja.Dalam banyak catatan sejarah, disebutkan bahwa kapal yang ikut dalam ekspedisi Zheng He adalah kapal pusaka, kapal kargo, kapal penumpang, kapal pengangkut, kapal dagang, kapal perang.
Tapi tidak ada satupun yang menyebutkan bahwa mayoritas adalah kapal perang. Kapal pusaka dipergunakan sebagai kapal untuk melayani para utusan dari negara-negara yang dikunjungi, duta besar dan para tamu agung lainnya.
Bisa kita bayangkan bahwa 300 hingga 400 kapal yang berangkat pada setiap ekskpedisi itu jika isinya mayoritas kapal perang, maka bukan perdagangan yang terjadi tapi perampasan tanah atau wilayah kerajaan yang ada pada setiap muhibah Zheng He.
Kapal perang serta militer diperlukan untuk mengatasi masalah perompak, seperti misalnya perompak yang bernama Chen ZhuYi. Jika tidak dilindungi oleh kapal perang, bisa jadi armada Zheng He yang dihancurkan oleh Chen ZhuYi. Pada masa itu bisa dikatakan tidak ada negara yang memiliki kekuatan laut yang bisa melindungi jalur perdagangan via laut.
Bahkan seorang perompak bernama Chen ZhuYi bisa mengangkangi kekuasaan Sriwijaya terutama kekuasaan di perairan, dan Sriwijaya tidak bisa berbuat apapun hingga kedatangan Zheng He bisa menumpas habis kekuatan Chen yang mengganggu perdagangan internasional kala itu.
Selain hal itu, sejak awal berdirinya Dinasti Ming sudah melarang perdagangan swasta, semua perdagangan dikontrol oleh pemerintah, karena itu Ming ChengZhu perlu membangun armada dagang, diplomatik yang besar menurut ukuran jaman tersebut, untuk menggantikan para pedagang swasta yang dilarang melakukan pelayaran ke luar negri.
Pola politik pada masa Dinasti Ming, terutama sejak diperintah oleh kaisar Ming ChengZhu adalah pola perluasan negara vassal serta menunjukkan kemajuan dan kejayaan dinasti Ming setelah berhasil meruntuhkan dinasti Yuan dan runtuhnya kekuasaan Mongol dimana-mana.
Kegiatan yang dianggap perluasan wilayah, terutama pada wilayah Yunnan, XinJiang, tidak dapat disebut perluasan wilayah, karena dinasti Ming beranggapan bahwa yang dilakukan adalah reunifikasi, seperti yang dilakuan PRC sekarang ini terhadap wilayah Tibet, Hongkong, Macao, dan yang ditujukan terakhir adalah Taiwan.
Perang perbatasan antara India dengan PRC lebih disebabkan masalah garis perbatasan, dimana garis perbatasan India dengan PRC, yaitu Mac Mohan line dibuat oleh Inggris ketika Inggris berhasil mengalahkan Dinasti Qing.
Dalam sejarah Dinasti Qing, terjadi berkali-kali perampasan wilayah oleh kekuatan barat dan Jepang dan akhirnya berdampak pada jaman modern ini.
Perang Sino India, membuat Nehru berpaling ke Chiang Kai Sek dan mengajaknya untuk bersekutu menyerbu PRC, awalnya diterima dengan baik tapi kemudian ditolak Chiang, konon alasan penolakan Chiang, Chiang sadar bahwa perang Sino India adalah perang masalah Mac Mohan Line dan Chiang sendiri tidak mau mengakui keabsahan Mac Mohan Line buatan Inggris pada masa kolonialisme.
Tuduhan invasi lebih mengarah kepada perang saudara di Jawa, dimana Zheng He mendarat pada tempat dan waktu yang salah sehingga mengakibatkan 170 anggota ekspedisinya tewas ditengah ajang pertempuran.
Karena hal itu, raja Wirakramawardhana merasa bersalah dan bersedia memberikan ganti rugi sebesar 60.000 tail emas. Utusan Wirakramawardhana membawa 10.000 tael dan sisanya dihapuskan oleh kaisar ChengZhu.
Masalah Srilanka, menurut catatan Dinasti Ming, raja Alakeswara mencoba merampok isi muatan kapal-kapal ekspedisi Zheng He.
Hanya bermodalkan 2.000 pasukan, Zheng He berhasil menguasai kota dan menangkap raja Alakeswara dan seluruh keluarganya.
Mereka semua dibawa ke ibukota Dinasti Ming dan diberi amnesti serta dikembalikan ke Srilanka. Jika hanya dengan 2.000 pasukan saja berhasil menguasai Ceylon atau Srilanka, maka betapa mudahnya Zheng He menjajah dimana-mana.
Hal ini yang tidak terdengar, kontras dengan ekspedisi barat. Bandingkan Zheng He dengan Cortez, Pizzaro, Colombus dan banyak lainnya. Zheng He namanya selalu harum dimana-mana.
Ada yang mengatakan bahwa Zheng He bukan seorang Muslim atau diragukan kadar Islamnya, diragukan kesolehannya, argumen yang digunakan sangat sederhana, yaitu kasim. Saya sendiri mendengar cerita ini dari rekan saya, merasa lucu dan tersenyum. Masalah soleh atau tidaknya, bukan hak kita menjawab, itu adalah hak Allah SWT.
Pertama harus kita ingat, Zheng He adalah suku Hui, artinya beliau beragama Islam. Tapi beliau pada umur sekitar 12-13 tahun ditangkap oleh tentara Zhu YuanZhang dan dikebiri kemudian ditugaskan untuk melayani Zhu Di ( cat: nanti menjadi kaisar Cheng Zhu ).
Dalam perjalanan beliau berkali-kali, beliau tidak sempat menunaikan ibadah haji seperti ayahnya dan kakeknya. Tapi beliau meminta Ma Huan untuk melakukan ibadah haji untuknya ( cat: cara ini disebut Badal Haji).
Banyak kondisi yang membuat beliau tidak memungkinkan melakukan ibadah haji, terutama karena beliau memimpin ekspedisi dan mayoritas anggota ekspedisi bukan umat Islam.
Pada saat beliau meninggal dalam perjalanan, beliau dikuburkan secara Islam dan jenazahnya dikuburkan kelaut langsung hari itu juga.
Upacara penguburan kenegaraan yang dilakukan dinasti Ming hanya menguburkan sepotong rambut dan baju kebesaran beliau. Tuduhan beliau bukan muslim tentunya harus didukung argumen yang kuat bukan sekedar menyatakan bahwa seorang kasim itu artinya bukan muslim.
Buku-buku barat yang membahas Zheng He juga mulai banyak, misalnya “When China Ruled The Seas”, “Image Across the Age,” Chinese Potraits”, “China’s Discovery of Africa” dan masih banyak lainnya.
Dan semuanya bukan orang Tionghoa yang menjadi pengarang. qinRichard von Glahn, seorang ahli sejarah Tiongkok di UCLA sendiri mengakui sumbangsih besar Zheng He.
Salah satu sumbangsih dari ekspedisi Zheng He adalah mencatat kehidupan banyak negara serta budaya mereka. Sudah merupakan hal yang umum, catatan Ma Huan digunakan sebagai salah satu acuan untuk melihat kondisi dan situasi pada masa itu.
Tentunya tidak bisa dibandingkan dengan catatan Yi Jing dan Fa Xian yang mencatat masa yang berbeda serta kondisi yang berbeda. Satu tambahan dari saya, sekarang ini sudah diteliti catatan Ge Hong yang menjelajah Asia Tenggara sebelum Yi Jing dan Fa Xian.
Catatan-catatan sejarah masa lampau diperlukan untuk membuat suatu kerangka dan tentunya bukan dibuat berdasarkan opini saja. Misalnya untuk membuat kerangka sejarah Indonesia pada masa lampau, diperlukan catatan dari Tiongkok. Salah satunya adalah Sung Hui Yao Ti Kao.
Hormat saya,
Xuan Tong
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing List Budaya Tionghoa
- Dr.Bokhawan, “A Chinese empire in nearly 15th century“
- Dr.Geoffrey Wade di Institute of South East Asian Studies ( ISEAS ) dan dikutip oleh Straits Times pada tanggal 11 november 2004
- Dr.Geoffrey Wade, “Ming China and Southeast Asian in the 15th Century : A Reppraisal“
Photo Credit
- hassan saeed “Monument of admiral Zheng He. located in the Stadthuys, Melaka”