Budaya-Tionghoa.Net | Anak saya Nit, bicara sebagai tuanrumah dan keluarga dan sebagai pengundang, antaranya mengatakan bahwa sebenarnya ayah saya tidak terbiasa merayakan hari ulangtahun dirinya. Tetapi karena angkanya sekali ini agak khusus dan mau bersyukur dan berterimakasih kepada Tuhan dan teman-temannya, maka hari ultah yang kali ini kami rayakan dan peringati. Tapi ka- rena rumah kami tidak besar, sedangkan tamunya tidak sedikit, maka kami bagi dua rombongan.
Rombongan pertama yang massanya mayoritas Perki, lengkap dengan upacara ibadah – doa dan persembahan – yang dipimpin langsung oleh bunda Serani kami, Pendeta Ida R Patti- nama, juga dari vokal grup Perki kami di Almere. Rombongan kedua, massa bebas – campuran dari mana-mana. Termasuk yang dari Jerman Dr Purbo dan Rusdi Harmain dari Swedia, bersama adik saya Asahan Alham. Semua ini saya kenal. Dengan Rusdi sudah 40 tahun lebih kami tidak bertemu.
|
Yang saya merasa sangat senang, karena pertemuan – perayaan dan peringatan itu, dapat dan terjadilah pertemuan beberapa teman yang sudah bertahun-tahun – bahkan belasan dan puluhan tahun, tidak bertemu. Dan ketika hari itu, dipertemukan dan saling melepaskan keka- ngenan. Jadi saya merasa ada gunanya – ada faedahnya. Misalnya saja, dari rumpun langsung ke- luarga saya, kami bertemu lengkap = dengan dua anak saya dan dua mantu saya, dan lima cucu saya, dan adik kandung saya, Asahan Alham. Dalam hati saya, inilah semua keluarga rumpun lang- sung darah kekeluargaan saya. Inilah “sisa-sisa laskar Pajang yang
terkocar-kacir” akibat gempuran – siksaan dan aniaya yang dikenakan kepada keluarga kami oleh si Kaisar pandita ratu yang sudah di- lengserkan itu, tapi yang kini masih segarbugar dan selamat-selamat saja. Inilah seorang diktator yang paling beruntung di dunia – nggak diapa-apain – nggak tersentuh samasekali!
Saya sangat gembira berada di tengah teman-teman saya. Ada para penyair seperti Chalik Hamid, Mawi – Asahan sendiri yang juga sebagai novelis baru – dan radioman – Mas Tossy yang sangat njowo dan laut yang tenang itu, tapi kalau sudah menulis dan mengulas, minta ampun hebat dan trampilnya! Mas Tossy dari Radio Hilversum. Lalu orang yang dulu pernah membantu keluarga kami ketika kami mendapat musibah serius, Dr Nico dan istrinya Dr Cara Ella, dua-duanya akhli Indonesai dan pernah menjadi dosen di GM dan Satya Wacana Salatiga. Dr Nico membawa kami bermobil pagi-pagi buta menuju pantai Inggris – Hoover, dari Holland – lewat Belgia dan sedikit Perancis, lalu menyeberang selat dan ke pantai Inggris pada Juni seperti sekarang ini tahun 1998.-
Dan massa lainnya, seperti guru-masak kami yang pertama ketika kami mendirikan restoran Indonesia di Paris, bunda Elsye, istri Dubes RI buat Republik Mali di Afirka. Saya kira para hadirin yang ada ketika itu, bunda Elsye yang tertua, menuju angka kepala 8,- Total jenderal tamu kami ketika itu sekira seratus orang dengan dua rombongan, Dan kami mengadakannya secara agak tradisional. Tidak ada kue taart, tetapi yang ada Nasi Tumpeng yang dipinggirnya, ditaburi sambal-teri-kacang – urap – perkedel – empal – emping dan kerupuk – lalu sambal-goreng hati. Lalu ada sop kepala kambing – gulai kambing – gado-gado perpaduan antara anak saya dan Fifi yang jago masak di antara kami semua. Anak saya si Nita itu juga pernah menjadi koki – tukangmasak di Resto kami di Paris, dibawah bimbingan chefkok bunda Rosni. Semua teman yang dekat kami, komunite gereja di mana kami berhimpun di sekitar Perki, sangat membantu – sangat mencurahkan perhatian kepada kami. Ketika hari itu, ada empat pendeta yang hadir. Dan seorang pendeta dari Timor atau Flores, menyumbangkan suaranya – menyanyi buat ultah saya ini, demikian katanya.
Ternyata bunda Nolce, sang pendeta kami itu, bukan main bagus suaranya – merdu dan mengasyikkan! Dan audience, para hadirin mem-bis-nya agar lagi-lagi menyanyi. Dan atas permintaan “floor – rakyat” maka bunda pendeta Nolce memenuhinya. Suara bunda pendeta Nolce luarbiasa bagus dan mempesona. Di antara kami ada gurauan – mungkin bunda pendeta Nolce ini salah jurusan – salah ambil jalan – semestinya menjadi penyanyi bukan pendeta!
Ketika rombongan kedua, ternyata orang yang selama ini saya kagumi – Mang Ucup dengan istrinya Mbak Wied, juga hadir. Kami baru bertemu ketika itulah – yang padahal sudah bertahun-tahun bersuratan – dan tinggal sama-sama di Holland. Dan, nah, ini yang hebatnya, ternyata Mang Ucup yang sama-sama suka nulis di berbagai milis ini, sama juga dengan saya,- orangnya ketika itu menjadi bintang pertemuan. Tadinya sulit kami bayangkan bahwa Mang Ucup ini ternyata sangat trampil berdansa rock and roll, dan dengan istrinya mbak Wied yang kecil-mungil – mignon kata orang Perancis.
Betapa gelak-tertawa kami melihat dan memandangi suami istri yang sangat lincah – sangat menyenangkan – dengan gerakan anak-anak muda. Tapi dansa rock and roll, Mang Ucup dan Mbak Wied hampir-hampir tak ada cacatnya! Indah – bagus – dan sedap dipandang mata. Apakah salah mata saya? Lalu masuk gelanggang dan menari dan berdansalah dua anak saya, Wita dan Nita. Kalau Nita, okeylah – memang dia setengah orang panggung. Tetapi Wita, kakaknya betul-betul ibu rumah tangga dengan tiga anak. Ketika Wita sedang asyik menari dan berdansa, anaknya Pauline sepertinya merasa cemas dan aneh, melihat mamanya menari begitu ligat bagaikan gasing yang kami lempar-putar di tanah ketika tahun-tahun 1940-an.
Pokoknya perayaan itu, sangat sukses – menyenangkan semua orang – saling mencurahkan kekangenan – kerinduan. Dalam hati saya terharu bangat. Begitu banyak tenaga dan pikiran dicurahkan, hanya buat ultah saya ini. Dan saya sangat berterimakasih kepada semua keluarga – teman dan sahabat yang telah sama-sama mensukseskan angka 70 saya ini. Coba apa nggak gila-gilaan, semua keluarga saya di rumah, pada hari Jumatnya – tidak ada yang tidur sebelum jam 24.00.
Laura cucu pertama saya, kami berdua dapat tugas menusuki sate! Dan ini sangat tidak sederhana. Ada beberapa macam sate. Ada sate kambing – ada sate-ayam – ada sate udang dan ada sate kerang. Total jenderal ada 600 tusuk dan makan waktu 8 jam duduk terus-menerus sambil tangan harus hati-hati. Dan Berry rajaperang kecil yang berusia 8 tahun itu, turut memotong buncis buat sayuran gado-gado – urap dan Nasi Tumpeng. Dan ibunya, anak saya Nita itu, adalah tenaga pokok. Dia yang menggoreng kerupuk – emping – empal – tahu dan beberapa lagi. Dia yang masak-masak yang begitu banyak dan beragam.
Lalu Bregas, dia juga tenaga pokok. Dia memasang tenda di kebun belakang – hanya sendirian! Hanya sendirian, tenda yang begitu besar yang mampu menaungi 30 sampai 40 orang. Dan dia pula yang jadi tukangkipasi arang buat bakar sate – berbagai sate. Insinyur lapangan komunikasi kami ini, hari itu jadi tukang api-arang-sate. Malam itu, Jumat malam ke malam Sabtunya, semua kami barulah pada jam 02.00 dapat istirahat buat tidur sebentar,- termasuk si rajaperang kecil kami itu, Berry. Bagaimana saya tidak sangat terharu – sangat berterimakasih, semua anak-mantu-cucu saya membantu dengan semangat cinta kakek! Rasanya saya masuk sorga ketika itu. Dan benar-benar saya ingat akan Tuhan. Pada ultah saya ini, benar-benar saya menerima begitu banyak kebaikan – rakhmat Tuhan – limpahan kasih dari semua yang ada di sekeliling saya, termasuk dari banyak teman – sahabat dan kenalan lama dan baru. Utuh dan menyeluruh. Terimakasih dan sangat terimakasih atas semua itu,-
—————————————————————
Holland,- 6 juni 04,- sampai bertemu di Jakarta pada tgg 8 juni dan 19 juni
di Gedung Bakmi Gajah Mada di Jakarta. Semoga Tuhan berkenan dan
memberkati,-
Budaya-Tionghoa.Net |