Budaya-Tionghoa.Net | Apakah hal sebenarnya yang begitu mendorong saya buat datang ke Indonesia sampai dua kali dalam tahun ini? Ada dua hal. Pertama ada harapan banyak teman agar saya mau menghadiri pertemuan – perayaan kangen-kangenan ketika sambil-lalu memperingati ultah saya yang ke 70,- Tentu saja saya siap – mau dan rela. Lalu yang kedua, beberapa penerbit buku saya, mau membayar – menyerahkan uang honor atau royaltinya – yang buku-buku itu sudah beredar di beberapa toko-buku tetapi uang honor-royaltinya belum saya terima satu senpun. Tentu saja semua ini bukan salah mereka – ada kesulitan buat mengirimkannya. Saya katakan, biarlah saya yang datang ke sana ( maksudnya ke Jakarta dan Bandung ). Karena saya ini belum biasa dan belum pernah merasakan dapat honor-royalti semenjak dari tahun 1965 sampai tahun 2002, jadi banyak salah hitung dan salah duga.
|
Dalam perhitungan saya, karena ada tiga buku yang sekaligus mau dibayar honor-royaktinya, pastilah saya akan dapat banyak uang. Betapa halnya, tiga buku akan dibayar dalam satu waktu. Buku dan Penerbit yang mau membayar buku-buku saya itu adalah 1. Nuansa-Cendekia dari Bandung yang telah menerbitkan dengan judul A I D I T,- sebuah memoire kami berdua bang Amat, terbit 2004. Lalu yang kedua dari penerbit Grasindo, dengan judul Surat Kepada Tuhan yang terbit tahun 2003. Lalu yang ketiga dari penerbit Gramedia, dengan judul Razia Agustus yang terbit tahun 2004, kumpulan cerpen. Dalam batin saya,- ini dia – panenlah saya! Jangan kuatir kalau saya harus membayar pertemuan kangenan itu – saya kaya sekarang! Ini menandakan saya tidak mengerti – tidak memahami selukbeluk bayaran honor-royalti selama ini – selama saya terpisah dengan Indonesia selama hampir 40 tahun ini. Sudah begitu banyak perubahan yang saya tidak tahu – tidak ada di dalam negeri sendiri!
Ternyata dari tiga penerbit itu, yang berarti dari tiga buku saya itu, saya menerima sekira 4 juta rupiah. Ini semua benar secara perhitungan. Sebab Penebit hanya membayar yang sudah laku dulu dan dibagi dua, dibayar setiap bulan Januari dan bulan Juli. Jadi yang dibayar itu adalah yang sudah laku dan terjual sampai bulan Januari 2004. Ini yang saya belum tahu. Dulu rasanya kami selalu dibayar berapa jumlah eksemplar buku dengan plus harga buku lalu kami dapat sekian persen. Ini dulu. Tapi sekarang, akan dibayar berapa yang sudah terjual. Buku saya yang terbit di Garba – Garda Budaya di TUK ( Teater Utan Kayu ) yang berjdul Kisah Intel dan Sebuah Warung,- dibayar komplit- lengkap, walaupun bukunya satupun belum terjual. Yah, saya baru mengerti persoalannya sekarang. Dan saya semuanya memahami setiap cara Penerbitan, bahwa ada yang menggunakan cara begini dan ada yang menmggunakan cara begitu. Semuanya menurut keadaan kongkrit masing-masing situasi yang berlainan. Saya sendiripun akan membenarkan seandainya ada Penerbit yang menggunakan cara, akan mebayar honor-royalti berdasarkan berapa yang sudah laku antara enam bulan dalam setiap tahun itu. Penerbit kan mencari keuntungan – kalau tidak, bagaimana dia mau mengedarkan modalnya dan mensirkulasikan perputaran modal dan barang dagangannya!
Hal ini yang saya tidak kira – tidak memperhitungkan dan salah-hitung – salah duga. Saya terlalu berpikir bahwa saya akan banyak uang karena ada tiga penerbit yang akan membayah honor-royalti saya dalam satu waktu. Nilai empat jiuta rupiah itu kira-kira ya empat ratus euro. Dan benar-benar saya ini bukan dan tidak berdarah dagang. Setelah saya berhitung dan membayar semua perbelanjaan pertemuan gembira kami itu,- dan menerima semua pemasukan – ternyata saya harus nombok sekian juta rupiah lagi! Tetapi dalam batin saya, memang secara keuangan, saya harus mengeduk kocek lagi dari kantong sendiri,- tetapi yang saya dapatkan amat banyak – luarbiasa besar dan
berharga serta mulianya! Saya menerima banyak rasa persahabatan – rasa keakraban dan rasa setiakawan dan rasa kekeluargaan. Saya menerima penuh keharuan – menerima kemesraan yang sangat mengesankan. Dan saya sangat kaya akan rasa keakraban dan persahabatan. Dan bagian ini samasekali tak ternilai harganya. Ini adalah harga kemanusiaan yang tak dapat dinilai dengan uang dan barang. Pada waktunya nanti – akan saya ceritakan nilai yang tak tepermanai itu,-
Ada bahkan banyak hal yang diluar dugaan saya ketika Pertemuan Kangenan itu. Begitu banyak teman-teman saya datang buat menyampaikan selamat ultah kepada saya. Seorang Syamsulbahri – kalau dia tidak menyebutkan namanya dan memperkenalkan diri – saya samasekali tidak tahu – tidak kenal lagi – katanya juga dia kepada saya. Selama lebih 40 tahun, baru malam itulah kami bertemu kembali,- betapa kami saling gembiranya. Seorang Ayu Ratih yang saya pernah katakan kepadanya, sangat sulit dapat bertemu dengannya – lebih sulit bertemu dengan Ayu daripada bertemu dengan Megawati presiden RI itu!
Dapatklah dibayangkan, abang saya Murad yang usianya sudah 77 tahun, masih mau mengucapkan kata sambutan dan pidato menceritakan adiknya ( saya ) ketika remajanya ( usia 14 tahun ) pada saat bertemu dengan Chairil Anwar pujangga angkatan 45 itu. Murad ini selama 13 tahun ngendon dalam penjara Tanggerang dan Pulau Buru, dan ketika itu dia dengan bersemangat menceritakan adiknya – pidato di depan para tamu. Lalu Mahyuddin yang berusia 73 tahun yang selama 11 tahun hidup dalam penjara – masih sempat sambil bergurau – berkawan dengan Sobron dengang sangat akrab – telah dibayar dengan masuk penjara selama itu! Saya sudah lama minta maaf kepadanya. Dan nama Mahyuddin saya pakai sebagai nama samaran saya ketika dalam pengasingan – salah satu nama samaran saya di antara 25 nama samaran itu – dulunya,-
Keke – Rieke Diah Pitaloka – yang pernah amat saya benci dan dongkoli secara berat, karena membiarkan surat saya – yang padahal nggak ada isinya yang dapat dicurigai – semua soal bersastra – dan berpuisi. Lama saya “memendam kebencian saya” kepada Keke ini. Si Oneng ini malam itu berdeklmasi amat bagusnya – dengan gaya menyanyi – bagi kami yang hidup di tanah-rantau puluhan tahun ini, gaya yang seperti Keke itu, sangat mempesona! Keke sudah memperkenalkan gaya begini sejak bertemu dengan kami di Amsterdam beberapa tahun yang lalu. Asmaralda yang tepat berusia 60 tahunketika itu, turut berdeklamasi buat Oomnya, termasuk Ilham Aidit juga buat Oomnya. Dan Jajang, barangkali bisa juga saya sebutkan, dia berdeklamasi buat orang yang pernah begitu dekat dengannya walaupun secara ekspress – sacara kilat – hanya beberapa bulan di mana ternyata bisa juga kasmaran itu hinggap dan terbang lagi begitu sudah ada rasa bosan dan benci!
Fira Basuki dengan putrinya yang sangat cantik – bermata besar – hitam dengan rambut ikal – gadis kecil berusia 6 atau 7 tahun – meniru mamanya yang juga cantik. Seorang pengarang yang selalu melahirkan buku-bukui best-seller dan menjadi mesin-cetak uang bagi penerbit Grasindo dan Gramedia. Dan banyak teman-teman saya dari “generasi 65” sebuah generasi yang selalu dipinggirkan hidupnya. Termasuk orang yang paling tua di antara kami. mbak Titik SBKA ( Subronto K. Atmojo ) yang berusia 82 tahun! Ada imbangannya, seorang bayi yang ketika itu baru berumur 40 hari tepat – jadi berulang-hari bukan berulang tahun! Saya lupa namanya. Pada tulisan yang lalu, saya salah tulis – bukannya empat bulan tetapi 40 hari! Yang paling kecil dan paling muda di antara para tamu saya!
Saya sangat bahagia telah memberikan sepotong kue ultah kepada mbah Sri – yang suaminya dulu mas Bayi telah menculik saya pada tahun 1949 yang nyaris saya keesokan harinya berangkat ke Amerika Serikat dengan kapal SMN – Stoomvart Maatschappeij Nederland,- Tetapi keduluan ditangkap bang Amat dan dibawa ke Sunter – jauh di padang-buang-anak pinggiran Jakarta – masih berhutan. Kalau bukan ditangkap dan diculik mas Bayi-Gandi suami mbah Sri ini – alamat saya tidak jadi begini,- akan sangat lain ceritanya. Mau lebih terperinci, baca buku RAZIA AGUSTUS terbitan Gramedia awal tahun ini – 2004,-
Malam itu mas Asvi Warman pakar sejarah yang jujur dan berani itu, telah memberi kata sambutan. Betapa senang dan bangganya saya – mas Asvi seorang pakar yang sangat saya kagumi – karena jujurnya – karena keberpihakannya kepada yang benar dan adil,-
Akh, banyak teman – banyak sahabat – rasanya lebih bahagia daripada hanya banyak uang dan harta! Banyak keluarga yang dekat dan akrab, rasanya itulah kekayaan yang sebenarnya. Tuhan semoga selalu bersama saya dan teman-teman serta keluarga saya,- Amien,-
Paris,- 30 juni 04,-