Budaya-Tionghoa.Net | Generasi muda masa kini besar kemungkinan bertanya-tanya “makhluk” apa kiranya yang disebut kesastraan Melayu Tionghoa, sampai didiskusikan di forum-forum internasional? Penuturan Myra Sidharta, kolektor sekaligus pengamat, membuka mata kita akan kehadiran satu genre kesastraan, yang sampai masa belum lama ini dan bagi sebagian besar masyarakat kita, telah terabaikan.
Cerita ini dimulai ketika almarhum MAW Brouwer (seorang rohaniwan dan kolumnis yang tinggal di Bandung – Red.) berkunjung ke rumah saya dan minta agar saya menulis sebuah karangan mengenai wanita peranakan Tionghoa. Saya menolak karena saya bukan sosiolog atau sejarawan, lagi pula tidak tahu banyak tentang masyarakat peranakan Tionghoa. Tapi, MAW bersikeras dan kami pun “bertengkar”.
Dia merasa, sudah waktunya ada orang yang menyelidiki wanita Indonesia Tionghoa secara mendalam karena studi-studi yang telah ada merupakan studi mengenai seluruh masyarakat, tidak khusus mengenai wanitanya. Saya tetap menolak sehingga dia marah dan “mengancam” akan melapor kepada Jiang Jing, istri Mao Tse Tung, salah satu anggota Gang of Four yang ketika itu baru ditangkap di RRC.
Ketika MAW telah pulang, saya berpikir lagi dan merasa tidak ada salahnya kalau saya menulis esai itu. Maka mulailah suatu perjalanan yang berlangsung sampai hari ini; jadi sudah kurang lebih 20 tahun. Suatu keputusan yang sangat penting karena saya telah menemukan tujuan hidup saya.
Biasanya kalau MAW datang ke Jakarta ia mengajak saya jalan-jalan untuk melihat perkembangan kota Jakarta, atau meminjam buku-buku saya agar dapat ilham untuk menulis di Kompas. Dalam perjalanan selanjutnya, saya tidak ditemaninya secara fisik, tetapi ingatan kepada anjurannya selalu menyertai saya.
Saya mulai dengan mempelajari bahan-bahan tulisan beberapa pakar seperti Leo Suryadinata, Charles Coppel, Mary Heidhues-Somers, dan menuangkan pengetahuan itu dalam sebuah tulisan yang kemudian bersama tulisan-tulisan lain dimuat dalam buku Kepribadian dan Perubahannya yang disunting oleh MAW dan diterbitkan pada 1979. Meskipun buku itu cukup laris dan mengalami cetak ulang beberapa kali, saya sendiri tidak puas. Saya ingin menulis sesuatu yang lebih baik dan mendalam mengenai perempuan Indonesia Tionghoa.