Budaya-Tionghoa.Net | Tahun baru imlek sudah berlalu beberapa bulan lalu. Itulah dimulainya rengkuhan waktu dan juga dipercaya sebagai lembaran “nasib” baru bagi kalangan Tionghoa, terutama yang merayakan dan siapa pun yang memercayai hajatan besar ini. Tahun Baru Imlek di Indonesia sudah diakui pemerintah dan menjadi hari libur nasional.
Jelas pengakuan ini bukan semata memberikan legitimasi ulang atas sebuah eksistensi kultural kaum Tionghoa di Indonesia. Lebih dari itu, merupakan transformasi budaya nasional Indonesia terhadap subkultur Tionghoa yang selama ini sebagai bangsa telah keliru dalam menyikapinya. Fobia kultural Tionghoa oleh rezim terdahulu sangat ditekankan karena dikhawatirkan jika kultur Tionghoa eksis bakal menjadi kultur yang setara dengan kultur lokal. Ia bisa menjadi pemicu ketidakamanan, padahal hal itu menjadi prasyarat mutlak pembangunan ekonomi dan status quo rezim politik.
|
FOBIA KULTURAL
Begitulah jika kita memutar ingatan hingga ke beberapa waktu lampau. Sejumlah pemimpin pemerintahan daerah misalnya menjelang Tahun Baru Imlek selalu mengingatkan masyarakat Tionghoa untuk tidak merayakan
secara mencolok dan cukup merayakannya di dalam rumah, di antara keluarga dan kerabat belaka. Ada strategi budaya yang “banci”, bagaimana mungkin sebuah kultur yang dipercaya dan menghidupi masyarakatnya khususnya Tionghoa diperlakukan secara represif yang tanggung.
Kaum Tionghoa tidak mungkin menafikkan keberadaan kulturnya, walau dalam strategi kebudayaan politik Orde Baru dianggap SARA. Padahal, justru kultur itulah bagi banyak kalangan Tionghoa yang bisa mengantarkan mereka dan keturunannya merengkuh kehidupan. Bahkan, membuat mereka terpandang dalam segi ekonomi dan kewirausahaan. Mereka sulit menolak kultur yang membesarkannya meski mereka tidak anti terhadap kultur mayoritas yang melingkupinya. Oleh karena itu, pendekatan politik atas kultur yang sudah ribuan tahun itu justru antiproduktif terhadap pembangunan kebudayaan nasional.
Padahal, sebuah kultur adalah dinamika mereka yang merasa dihidupi dan menghidupinya. Beruntung Orde Reformasi mengambil jalan yang lebih memihak pada hak asasi manusia sehingga asimilasi budaya mendapat tandingan dengan integrasi budaya yang dulu sempat ditinggalkan. Ketionghoaan dalam aspek kultural, ekonomi, politik, sosial menjadi subbudaya nasional yang setara dengan budaya lokal lain, bersinggung, berakulturasi alamiah bukan politis dan berintegrasi harmonis dengan tetap eksis mengembangkan jati dirinya.
Imlek dengan demikian seharusnya disikapi positif menjadi upaya membongkar “bungker budaya” ketionghoaan yang selama ini terkubur dan dimumikan oleh rezim budaya. Para “arkeolog Tionghoa muda” kini mencoba mengorek satu demi satu pernik dan kronik kulturnya.
Tak heran dalam menyambut Imlek kita sudah terbiasa dengan ekspresi liong dan barongsai keluar dari sarangnya dan meliuk di jalan-jalan atau mal. Berbagai ekspresi budaya menjadi demikian marak, dari amplop angpao, lampion sampai wayang potehi menggeliat keluar untuk menampilkan wajah budaya utuhnya yang selama ini bopeng tak keruan.
Namun, apakah Imlek hanya akan menjadi euforia tahunan kalangan Tionghoa dan siapa pun mereka yang sibuk terlibat di dalamnya? Tentu tidak. Sama halnya ketika kita tidak ingin Lebaran hanya menjadi euforia tahunan
makan enak setelah puasa yang seharusnya mengembalikan fitrah manusia. Natal adalah pesta kemewahan dan sinterklas, yang seharusnya cermin untuk mensyukuri diri atas keselamatan dari dosa yang berujung maut dan merefleksikan itu kepada Allah dan sesama secara setara.
Begitu juga Imlek adalah akses, gerbang dari serpihan masa lalu yang akan menjadi gambar besar yang dirangkai kembali menjadi wajah kultur yang mengayomi pemeluknya dan siapa pun mereka yang berada dalam wilayah
budaya itu dengan berbagai manfaat yang ditimbulkannya. Itulah yang seharusnya kita kejar dari Imlek ke Imlek. Bukan semata perpindahan waktu lama ke waktu baru, atau mengupas fenomena shio, itu boleh menjadi pelengkap, tetapi bagaimana Imlek sebagai gerbang masuk ke wilayah kultural ketionghoaan bisa mengayomi siapa saja yang langsung atau tidak langsung terpengaruh olehnya.
ANGPAO SOSIAL
Ini berarti Imlek membawa misi untuk memberi wadah dan kesempatan sebesar-besarnya bagi kultur ketionghoaan yang tidak hanya terfokus di Imlek untuk memberikan kontribusi bagi masyarakat baik yang merayakan atau tidak. Sebuah kultur pasti akan memberikan manfaatnya karena kultur itu sendiri ingin eksis dan dilestarikan. Memang komersialisasi Imlek persis sama yang terjadi pada Lebaran dan Natal. Namun, diharapkan prosesi budaya seperti wayang potehi, pemberian angpao, sembahyangan di altar leluhur tidak berhenti di situ saja. Wayang potehi misalnya, yang memang sudah jarang tetapi masih mungkin dikembangkan, dimodernkan dengan teknologi informasi.
Begitu pula dengan angpao sebagai pemberian bisa menjadi gerakan kesetiakawanan sosial yang tidak berbau politis seperti yang sudah-sudah. Angpao bisa menjadi gerakan komunitas Tionghoa paling tidak seperti pemberian zakat di Islam, yakni gerakan angpao bisa memberdayakan masyarakat sekitarnya. Dengan demikian, Tionghoa lebih lugas berlindung dalam rumah budayanya sendiri yang berkembang atas dasar kebutuhan mereka yang berada di dalamnya dan bersinggungan dengan kultur yang melingkupinya. Selama ini ketionghoaan berlindung dalam kedok kesetiakawanan sosial “prasetya mulya” atau gerakan konglomerat ke Tapos dengan Pak Harto dulu yang menjadi tampak dipaksakan secara kultural.
Jika saja Imlek sudah dirayakan dengan ekspresi budaya yang lugas sejak negara kita berdiri dan tidak mengalamai penciutan budaya, mungkin Imlek menjadi “Festival Budaya” yang meski hanya pada waktu tertentu akan menjadi point of cultural. Makin besar noktah budaya, makin besar kultur dan masyarakat sekitarnya yang terimbas pengaruh-memengaruhi. Imlek diharapkan bisa menjadikan pelaku budaya nasional yakni kita semua bertumbuh dalam budaya lokalnya masing-masing, entah itu Jawa, Sunda, Batak, dst. tetapi tidak menjadikan itu semua menjadi satu-satunya harga mati dalam cultural expression and performance-nya.
Setiap pengaktualan budaya akan mendorong tumbuhnya multikulralisme pada masyarakat dan lebih jauh membiasakan dan membuat masyarakat tersebut betah dan merasakan manfaatnya dari setiap subkultur dengan mana ia langsung atau tidak melestarikannya dan bukan antipati terhadapnya. Imlek yang menjadi gerbang keberuntungan kaum Tionghoa harus disikapi dengan menarik internalisasi budaya ketionghoaan untuk “keluar” bak liong atau barongsai. Jika kedua tontonan ini dilihat banyak orang siapa pun dia dan semua senang, mungkinkah bahwa ketionghoaan ekonomi, kemasyarakatan seperti kekerabatan marga Tionghoa, ekspresi budaya membagikan angpao dan sebagainya bisa ditarik keluar dan menjadi “hoki” (untung) bagi masyarakat siapa pun dia.
KETIONGHOAAN BARU ?
Imlek dengan begitu menjadi kesempatan untuk membentuk stereotype baru tentang Tionghoa dan kulturnya. Tidak seperti dulu kita berkutat pada bentuk-bentuk prasangka negatif yang tunggal dan kekal seperti pelit dan rendahnya nasionalisme. Padahal, keberanekaragaman ketionghoaan, sama halnya dengan keberanekaragaman kejawanaan, kesundaan dst. Semua ini untuk memberikan penilaian yang lebih seimbang sehingga ekspresi budaya yang positif bisa ditampung dan yang buruk bisa diketahui lebih dini untuk kemudian dibuang.
Pendidikan multikultural melalui efektivitas perayaan hari besar yang berbasis budaya yang berbeda akan mudah diserap karena itu terjadi dalam tataran sosial. Apalagi justru dalam tataran sosial, setiap ekspresi budaya apalagi yang minoritas harus memberikan minimal tontonan atau hiburan, kalau bukan manfaat ekonomi (angpao sosial komunitas Tionghoa untuk panti asuhan, masyarakat miskin, dst.).
Apalagi, jika ekspresi budaya itu seperti angpao sosial pasti akan terekam dalam integrasi budaya dan memperkokoh kecenderungan ke arah mana kebudayaan nasional hendak dikembangkan. Multikultural yang tak seimbang atau dominasi budaya dengan banyak subordinan budaya-subordinan budaya tertentu tampaknya menjadi pelengkap atau sekadar objek penderita. Jika ini yang terjadi, benar saja konflik laten mungkin terjadi karena tidak ada pro-kontra atas kultur tersebut. Multikultural dianggap sebagai kompetisi budaya yang harus dimenangkan oleh satu budaya mayoritas/lokal dan yang lain, seperti ketionghoaan harus dikalahkan. Selamat Imlek 2555.***
Penulis peneliti pada Center for National Urgency Studies Jakarta. Anggota Kekerabatan Tionghoa Marga “Bhe”
Budaya-Tionghoa.Net |
TAUTAN INTERNAL :
Pihak yang ingin mempublikasi ulang tulisan dalam web ini diharapkan untuk menyertakan link aktif : www.budaya-tionghoa.net , NAMA PENULIS dan link aktif yang berada didalam tulisan atau membaca lebih jauh tentang syarat dan kondisi . Mempublikasi ulang tanpa menyertakan tautan internal didalamnya termasuk tautan luar , tautan dalam , catatan kaki , referensi , video , picture , sama dengan mengurangi konten dalam tulisan ini.