Bila saya perhatikan, ibadah Buddha di Srilangka, India maupun di Europa agak berbeda dengan di Vihara2 di Indonesia. [D Hadinoto]
Budaya-Tionghoa.Net | Karena pak Hadi sering traveling ke berbagai negara, tentu dengan mata kepala sendiri dapat menyaksikan perbedaan tersebut. Namun yang perlu dicatat adalah jika kata “ibadah” yang ditekankan, berarti
kita hanya berbicara mengenai bentuk luarnya saja. Dan makna dari kata “ibadah” ini sendiri tentunya berbeda, tergantung
paradigma “agama” yang dipeluk masing-masing.
|
Bagi Buddhis, ibadah menyiratkan ritual dan ritual ini berbeda dari satu negara ke negara lain. Walaupun hal ini tidak banyak diketahui oleh orang-orang yang merasa dan mengaku dirinya sebagai Buddhis. Fenomena Abangan juga ada di dalam komunitas Buddhis, di negara mana pun. Ini adalah sesuatu yang alami sekali.
Ibadah Buddhis bukanlah untuk memuja suatu “Agensi atau Otoritas yang berada di luar diri kita sendiri,” melainkan suatu cara atau the means yang bertujuan untuk meningkatkan Saddha (keyakinan atau dengan sangat terpaksa, “iman,” kendati makna iman itu sendiri memiliki perbedaan yang fundamental sekali dengan iman di tradisi lain). Keyakinan merupakan salah satu dari Lima Kekuatan (Panca Bala) yang mutlak dibutuhkan dalam menelusuri Jalur menuju Pencerahan yang diajarkan Buddha. Lima Kekuatan ini adalah:
- Kekuatan keyakinan (saddhabala) yang dapat diibaratkan seperti motivasiawal untuk bergerak menelusuri Jalan menuju Kebangkitan yang tentunya semakin lama akan semakin kuat keyakinan tersebut seiring dengan meningkatnya pengetahuan intelektual dan yang jauh lebih penting pengetahuan spiritual sang praktisi;
- Kekuatan upaya yang dicurahkan untuk mempraktikkan ajaran (viriyabala);
- Kekuatan kesadaran atau perhatian penuh (satibala). Kata eling dan waspodo dalam tradisi Jawa dapat ditelusuri berasal dari pengembangan kesadaranm penuh atau perhatian penuh ini. Ada Empat Landasan Pengembangan Kesadaran atau Perhatian Penuh, yang tidak boleh melibatkan proses berpikir, hanya mengamati saja, yaitu: Perenungan terhadap badan jasmani (yang paling kasar dan paling mudah diamati), perenungan terhadap berbagai perasaan yang muncul dan berkecamuk di dalam diri, perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran kita sendiri, dan perenungan terhadap segala fenomena yang berkondisi atau dharma (ini yang tersulit dan paling halus, konsep-konsep termasuk dalam kategori ini.)
- Kekuatan semadi (samadhibala) yang menandakan kekuatan daya konsentrasi yang dibutuhkan untuk menunjang kekuatan perhatian penuh yang disorotkan untuk mengamati tubuh, perasaan, pikiran, dan segala fenomena guna tercapainya penembusan akan hakikat sifat dasar ketidakkekalan, kesalingtergantungan, dan tanpa diri.
- Kekuatan kebijaksanaan (pannabala). Yang dimaksud di sini lebih merupakan kebijaksanaan sejati yang muncul dari pengetahuan meditatif bukan kebijaksanaan yang diperoleh dari pengetahuan intelek yang sampai tahapan tertentu merupakan penghalang pencerahan itu sendiri.
Jadi, di masa kehidupan Buddha historis, yaitu Buddha Gotama atau Sakyamuni, ritual belumlah serumit sekarang. Bahkan kemelekatan terhadap ritual-ritual dan berbagai macam upacara merupakan salah satu dari sepuluh belenggu yang menghalangi tercapainya kesucian. Praktisi yang mencapai tingkat kesucian pertama telah berhasil mematahkan tiga belenggu, yaitu: pandangan keliru mengenai “aku” (sakkayaditthi), keraguan terhadap Guru dan ajaran sejati (vicikiccha), dan kepercayaan akan tahayul bahwa upacara saja dapat mengakhiri penderitaan (silabbataparamassa). Dan ini bisa diverifikasi, tentunya oleh yang telah mencapai tingkat kesucian pertama dan tingkat kesucian yang lebih tinggi lagi.
Perlu dicatat, tercapainya Penerangan Sempurna Siddhartha Gotama yang kemudian disebut Buddha (Yang Telah Bangkit atau Tercerahkan secara sempurna) mengguncang sendi-sendi tatanan masyarakat India kuno yang kala itu dibelenggu oleh sistem kasta yang masih dapat kita lihat berlaku sampai sekarang. Di mana penguasa tertinggi adalah kasta Brahmana yang diyakini
dapat berkontak langsung dan memegang otoritas yang legitimate dari Brahma sang pencipta. Penyalahgunaan kekuasaan oleh kaum Brahmana ini diporakporandakan oleh kemunculan Buddha dengan kata lain Buddha adalah seorang social reformer yang berusaha mereform masyarakat dengan pesan dan metode Transformasi Diri Transformasi Sosial. Salah satu wujudnya adalah dibentuknya Sangha (komunitas) para biku dan bikuni serta upasaka (umat awam pria) dan upasika (umat awam wanita).
Konsep dan kepercayaan bahwa hanya kaum Brahmanalah yang merupakan satu-satunya yang berhak untuk mengurus hal-hal spiritual mendapatkan tantangan. Sangha para biku merupakan wadah yang menampung orang-orang dari kasta manapun yang beraspirasi untuk mengikuti jejak langkah Buddha secara full time dan Sangha para bikuni merupakan organisasi spiritual pertama yang menampung para wanita. Sangha para biku dan bikuni masih eksis sampai sekarang, jadi umurnya sudah 2500 tahun.
Sayangnya, fenomena terciptanya kembali kaum Brahmana di dalam komunitas Buddhis sendiri juga dapat terlihat dengan jelas dan ini merupakan agenda utama para Buddhis kontemporer yang berusaha mengembalikan spirit awal ajaran Buddha. Gerakan ini sudah berlangsung 40 tahunan. Tentunya, ini merupakan masalah internal komunitas Buddhis sendiri.
Jadi, berbicara mengenai “ibadah” dalam tradisi Buddhis, bentuk luar ibadah bisa berbeda-beda namun tujuan maupun prinsip-prinsip yang mendasarinya adalah sama.
Salam sejahtera
TAUTAN INTERNAL :
Pihak yang ingin mempublikasi ulang tulisan dalam web ini diharapkan untuk menyertakan link aktif : www.budaya-tionghoa.net , NAMA PENULIS dan LINK aktif yang berada didalam tulisan atau membaca lebih jauh tentang syarat dan kondisi . Mempublikasi ulang tanpa menyertakan tautan internal didalamnya termasuk tautan luar , tautan dalam , catatan kaki , referensi , video , picture , sama dengan mengurangi konten dalam tulisan ini.